x

Film Trilogi Merah Putih salah satu film perjuangan yang epik (sumber: Tempo)

Iklan

Dewi puspa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 6 September 2023 08:06 WIB

Maju dan Bertumbuh dengan Komunitas, dari Belajar Nulis Artikel Film hingga Bikin Buku Bahas Film Indonesia

Karena rasa kagum dan salutku terhadap film-film bertema perjuangan, aku kemudian akan membuat antologi buku khusus membahas film perjuangan dan yang mengandung unsur sejarah bersama para anggota komunitas film.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Film Janur Kuning (1979) dan Tjoet Nja' Dhien (1988) adalah dua film bertema perjuangan yang membekas dalam ingatanku. Aku menyaksikannya di televisi saat masih kecil ditemani kedua orang tuaku. Film ini memberiku gambaran betapa beratnya hidup memperjuangkan kemerdekaan, film yang membuat bangga akan semangat para pejuang yang gagah berani  namun juga menyisakan rasa sesak dan haru. 

Di antara beragam tema film Indonesia, film bertemakan perjuangan memiliki tempat tersendiri di hatiku. Ada kalanya aku memilih menontonnya sendirian di bioskop ataupun di platform streaming, karena aku bakal sulit menyembunyikan rasa haruku. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Film Janur Kuning dirilis 1979 (sumber gambar:IMDb)

Film perjuangan yang kusambut hangat dan kutonton di bioskop dengan semangat adalah Trilogi Merah Putih. Film ini menggambarkan era agresi militer di beberapa tempat, dari Jawa hingga Bali. Keberagaman suku para karakter utamanya ditonjolkan sebagai wujud Bhineka Tunggal Ika yang menjadi ruh negeri ini. Setelah Trilogi Merah Putih disusul dengan berbagai film perjuangan lainnya seperti Perburuan dan Bumi Manusia, sepertinya belum ada lagi niatan dari rumah produksi nasional untuk memproduksi lagi film bertemakan sejarah dan mengandung unsur sejarah. 

Karena rasa kagum dan salutku terhadap film-film bertema perjuangan dan mengandung unsur sejarah, aku kemudian menggagas proyek untuk membuat antologi buku yang khusus membahas film perjuangan dan film yang mengandung unsur sejarah bersama para anggota komunitas film. Ada beberapa hal yang dibahas, dari film-film perjuangan dan yang mengandung unsur sejarah yang pernah ditonton, tokoh sejarah yang difilmkan, serta momen bersejarah apa yang kiranya ingin difilmkan. 

Ini adalah proyek buku ketiga yang kami buat bersama-sama dalam sebuah komunitas pecinta film yang bernama KOMiK. Buku pertama membahas secara umum opini dan pengalaman penulis tentang film Indonesia. Buku tersebut berjudul Sinema Indonesia Apa Kabar. Sedangkan buku kedua membuat kami berlatih membuat naskah skenario film pendek lewat buku antologi berjudul Kumpulan Naskah Film Pendek. 

Aku sendiri telah menjelajah berbagai komunitas film, dari yang hanya mengajak nonton bareng, yang membuat majalah film digital cuma-cuma, yang fokus berdiskusi membahas film-film yang baru tayang, hingga yang anggotanya berwarna-warni dari berbagai daerah di Indonesia. Semua keterlibatanku di komunitas film tersebut memberiku wawasan, membuatku belajar, dan memberiku inspirasi. 

Bersama komunitas film, aku kemudian terdorong untuk belajar menulis review film dan artikel film. Awalnya tulisanku sungguh buruk dan terasa amatiran. Lambat laun aku belajar tentang istilah-istilah khusus dalam perfilman dan juga teknik dalam membuat film. 

Lewat komunitas film, aku kemudian mendapatkan informasi tempat belajar hal yang lebih tentang perfilman. Aku kemudian mengikuti workshop tentang mendesain kostum dan make up di film, dapat wawasan seputar efek spesial di film, belajar dari divisi sound, dan juga belajar membuat naskah film. 

Dari ilmu yang kutimba tentang cara menulis review film, artikel film, dan naskah film, aku kemudian mengajak teman-teman yang tergabung dalam komunitas film KOMiK untuk membuat buku khusus perfilman nasional. Buku yang membahas tentang film Indonesia belum banyak, sehingga kami bisa ikut berkontribusi mencurahkan kritik dan saran demi perkembangan positif ekosistem perfilman nasional. 

Buku ketiga kami, Sejarah dan Perjuangan Bangsa dalam Bingkai Sinema, kemudian menjadi salah satu momen penting bagi kami. Ada penulis yang membahas tentang pengalaman nobar dua film perjuangan yang kami tonton bersama-sama dalam satu hari sekaligus, Perburuan dan Bumi Manusia. Sama-sama lahir dari seorang penulis besar, Pramoedya Ananta Toer, tapi memiliki nuansa yang berbeda. Ada juga penulis yang membahas film Kartini berbagai era, dari era Yenny Rachman hingga era Dian Sastro. 

Buku sejarah dan perjuangan bangsa dalam bingkai sinema (dokpri)

Gara-gara buku tersebut, komunitas kami diajak untuk berkolaborasi dalam rangka hari Perfilman Nasional di Museum Penerangan. Ada putra dan cucu bapak perfilman nasional, Usmar Ismail, yang menjadi narasumber. Kami juga diajak nonton film pertama Indonesia, Darah dan Doa. Sebuah film perjuangan yang getir dan apa adanya. 

Dari mengingat momen tersebut, aku jadi terpacu untuk menggagas kembali proyek-proyek membuat buku tentang perfilman nasional. Mungkin itu yang baru bisa kubuat sebagai wujud kontribusi rasa cinta tanah air dan juga kepedulian terhadap ekosistem film nasional. 
Saat ini komunitas kami juga mulai memproduksi film pendek. Ada kalanya aku bermimpi apakah suatu ketika kami bisa membuat skenario film perjuangan atau film yang memiliki unsur sejarah, lalu mengangkatnya dalam bentuk film. Aku bermimpi ingin mengangkat kisah epos Panji. Tak apa-apa kan bermimpi, siapa tahu suatu ketika terealisasi.

Buku-buku film yang kami buat ramai-ramai bersama komunitas film (dokpri)

Ikuti tulisan menarik Dewi puspa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

16 jam lalu

Terpopuler