x

Elite Politik

Iklan

Jessica Cornelia Ivanny

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Selasa, 12 September 2023 09:13 WIB

Bendung Polarisasi, Wujudkan Demokrasi Substantif pada 2024

Pengalaman kepemiluan Indonesia telah memotret bagaimana implikasi serius yang bisa dibawa oleh fenomena polarisasi politik. Jika tidak segera ditangani, polarisasi juga akan berdampak negatif pada kontestasi politik elektoral serentak di tahun 2024 yang akhirnya malah mendegradasi kualitas demokrasi itu sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun 2024, pesta demokrasi elektoral dihelat. Tidak seperti pengalaman kepemiluan sebelumnya, perhelatan kali ini akan dilangsungkan lebih meriah. Pasalnya, penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) telah didesain serentak oleh penyelenggara pemilu pada tahun 2024. Artinya, akan ada rotasi kepemimpinan besar-besaran, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pemilu sendiri dipahami sebagai mekanisme prosedural demokrasi yang dapat mewujudkan dua hal: kedaulatan di tangan rakyat seperti termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 dan sebagai sumber legitimasi bagi pemerintahan baru yang terpilih untuk memerintah rakyat (konstituen). Karena itu, tahun 2024 akan menjadi tantangan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk saling berbagi peran menyukseskan pesta demokrasi elektoral.

Salah satu tantangan yang kentara dirasakan sejak Pilpres 2014 hingga pemilihan di tahun setelahnya dan 2024 adalah polarisasi politik. Gejala peningkatan polarisasi politik berlangsung cepat, hanya dalam hitungan bulan semenjak Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai kedua pasangan capres dan cawapres pada 31 Mei 2014 (Karim, 2019). Hal itu terjadi selain karena faktor afiliasi sosial yang menggarap basis dukungan yang berbeda, juga karena tema yang dibawa oleh kedua paslon pun cukup diametral. Polarisasi lalu dimatangkan lewat kejadian yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada tahun 2016 dan 2017. Kasus Ahok menimbulkan konflik politik di DKI yang berpola sama dengan lingkup nasional. Polarisasi terus menguat pada Pilpres 2019 dan kian diperparah dengan peran beberapa media yang cenderung menghadirkan isu dan narasi negatif.

Polarisasi politik sendiri pada intinya merupakan fenomena dimana masyarakat terbagi menjadi dua kubu berbeda dan berseberangan dalam pandangan dan kebijakan politik hingga dapat menuju ekstrem ideologis. Adanya keterbelahan masyarakat pada tingkat ekstrem akan menghambat proses demokratisasi (mendegradasi demokrasi) dan menurunkan tingkat kredibilitas partai politik dan lembaga-lembaga negara yang diisi oleh para kader partai. Kehilangan kepercayaan publik akhirnya melemahkan proses pengambilan keputusan pemangku kebijakan dan meningkatkan resistensi publik terhadap kebijakan dan hukumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akar Persoalan

Penguatan polarisasi politik ditengarai karena beberapa hal. Pertama, maraknya praktik politik identitas yang berbasis pada pemahaman sempit tentang identitas sehingga cenderung menjadi diksi politik yang negatif. Dalam konteks politik dan negara demokrasi modern, politik identitas tidak terlepas dari pertautan antara kekuasaan, kepentingan, dan relasi antara mayoritas-minoritas (Machlis, 2022). Politik identitas menjadi negatif karena normalisasi budaya partisan atau keberpihakan yang kuat hingga cenderung buta, keterlibatan aktor politik dan pemuka agama dalam melegitimasi dan menyebarkan politik identitas yang negatif, konstruksi marjinalisasi dalam ruang perasaan melalui narasi-narasi pro-rakyat kecil atau pribumi tertindas, serta pemanfaatan ekosistem keterbukaan untuk menyebarkan paham ekstremisme dan antagonisme untuk memengaruhi opini publik. Berdasarkan pengalaman politik elektoral Indonesia, tanda-tanda politik identitas berada di arah yang negatif adalah: a) fenomena konservatisme dan populisme agama, ditandai dengan banyaknya mobilisasi massa dan sentimen berbasis etno-religius selama masa pemilu serentak, b) weaponized identity melalui konstruksi perbedaan yang menjelekkan/menakuti, gagasan eksklusif tentang identitas diri dalam kelompok yang membenarkan permusuhan, dan konsistensi pembatasan terhadap diskursus tentang budaya, simbol, dan narasi, serta c) siberbalkanisasi, yakni segregasi dan fragmentasi yang diciptakan melalui internet (Abadi, Alung, Permadi, & Schova, 2023).

Selain politik identitas, tajamnya polarisasi juga diakibatkan oleh ketentuan tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold yang tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Adanya batas minimal dukungan/suara yang mesti dimiliki untuk memperoleh hak tertentu dalam pemilu ini berkonsekuensi pada pengurangan jumlah peserta pemilu, jumlah partai di lembaga perwakilan, dan jumlah partai/kelompok partai dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Maka umumnya, partai-partai yang perolehan kursi atau suaranya tidak memenuhi ambang batas akan berkoalisi menjelang pemilu. Hasilnya, selain umumnya hanya muncul dua pasang kandidat yang akan berkontestasi (sehingga mempertajam polarisasi dan keterbelahan), namun juga rentan terhadap politik transaksional dan politik bagi-bagi jabatan.

Pentingnya Demokrasi Substantif

Politik elektoral selama ini cenderung dimaknai sebagai proses demokrasi prosedural semata. Seringkali Indonesia sebagai negara hukum demokrasi hanya diukur dari ada atau tidaknya pemilu setiap lima tahun sekali. Proseduralisme demokrasi tentu mengandung bahaya laten karena proses demokrasi dapat mudah dibajak dengan berbagai kecurangan pemilu yang melanggar prinsip free and fair (Huda, 2011). Untuk itu, diperlukan pemahaman ulang terhadap politik elektoral di Indonesia untuk mendorong terjadinya transformasi kultural ke arah demokratisasi yang lebih substansial. Hal itu dapat dilakukan dengan memperluas dimensi yang digunakan dalam memandang dan memahami politik elektoral, yaitu dengan tidak hanya menyandarkan pemilu pada dimensi politik saja, namun melihat lebih jauh bagaimana relasi fungsi, dan tujuannya terhadap dimensi sosial, ekonomi, budaya, dan yang bersifat strategis dalam realita hidup masyarakat. Dengan demikian, politik elektoral bukan lagi soal proses teknis penyelenggaraan demokrasi semata, tetapi lebih menyentuh tataran yang lebih substantif dan fundamental. Ketika cara pandang itu diikuti dengan aksi perwujudan nilai-nilai demokrasi yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945, baik dalam tataran implementasi pemilu maupun setelah pemerintahan baru telah terbentuk, maka bisa dikatakan prioritas demokrasi telah mengarah ke arah substantif.

Bendung Polarisasi untuk Wujudkan Demokrasi Substantif 2024

Sama seperti demokrasi prosedural, demokrasi substantif juga tidak akan berhasil terwujudkan apabila polarisasi dan keterbelahan masyarakat masih menjadi persoalan utama yang dihadapi selama proses politik elektoral. Pasalnya, polarisasi masyarakat sejauh ini terjadi bersamaan dengan ambisi partai “untuk memenangkan pemilu dengan menghalalkan segala cara”, yang dalam konteks ini, seringkali menjauhi nilai-nilai keadilan dan demokrasi substantif yang hendak dikonstruksi. Untuk itu, diperlukan strategi mitigasi polarisasi untuk membantu mewujudkan demokrasi yang lebih substansial (demokrasi substantif).

Strategi pertama, para penyelenggara pemilu, pemerintah, dan aktor politik harus menekankan kampanye berbasis ide yang mengandung hal-hal esensial. Selama ini, polarisasi kian menguat lantaran kampanye yang disasarkan kepada publik bersifat menghancurkan karakter dan reputasi seseorang, biasa melalui propaganda negatif berbasis data tak sahih dan mengarah kepada tindak pidana (black campaign). Pada proses ini, politik identitas dan isu-isu sensitif terkait perbedaan biasanya banyak ditonjolkan sehingga melahirkan polarisasi dan friksi. Maka dari itu, sudah seharusnya kampanye pada pemilu serentak 2024 lebih mengedepankan gagasan, misalnya terkait visi, misi, dan program kerja apa yang diusung oleh kandidat kontestasi. Ini membutuhkan kesadaran hukum dan demokrasi yang tinggi dari masyarakat, partai dan para kandidat yang bermain di arena kontestasi, juga keberanian penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum untuk menindak tegas praktik kampanye hitam. Dalam konteks ini, media pun mesti mengambil peran dalam mencegah polarisasi dan disintegrasi bangsa dengan menjaga netralitasnya dalam menyebarkan informasi (media tidak boleh terafiliasi dan berpihak pada kandidat elektoral tertentu pada pemilu 2024).

Strategi kedua, perlunya dukungan terhadap wacana dan narasi-narasi yang melawan polarisasi dan politik identitas dari seluruh lapisan masyarakat. Ini bisa dilakukan dengan gerakan-gerakan kemahasiswaan dan orang muda, serta gerakan keagamaan dan dakwah-dakwah kultural dan kontekstual oleh para pemuka agama. Ini juga merupakan bagian dari pendidikan/literasi politik terhadap masyarakat. Selain lewat dukungan, paradigma politik juga harus diubah berbasis etika, moral, dan kritisisme. Pemahaman ini ingin agar masyarakat dan aktor politik lebih berani menarik kesetiaan diri dari figur atau gerakan politik yang berpotensi menimbulkan polarisasi dan disintegrasi bangsa (cross-cutting royalty).

Selain strategi-strategi di atas, kita pun berharap agar Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai the guardian of democracy dapat turut berkontribusi meminimalkan polarisasi dan mewujudkan demokrasi substantif melalui peranannya sebagai pintu gerbang terakhir untuk menentukan kualitas pemilu dalam hal kewenangannya untuk menguji undang-undang dan menyelesaikan sengketa hasil pemilu. Apalagi, MK lewat kewenangannya itu terbukti telah beberapa kali melakukan teroboson hukum tertulis guna mencapai keadilan substantif, seperti saat MK merumuskan teori pelanggaran pemilu (terstruktur, sistematis, masif). Ini adalah bentuk penerapan hukum progresif dalam putusan MK. Tidak berlebihan kemudian jika kita menaruh ekspektasi yang sama agar MK melalui putusan-putusannya dapat mengakomodir keadilan substantif untuk mewujudkan demokrasi substantif pada pemilu serentak tahun 2024 mendatang.

Ikuti tulisan menarik Jessica Cornelia Ivanny lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB