x

perjuangan kaum perempuan

Iklan

Seftyana Nisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 September 2023

Selasa, 12 September 2023 16:28 WIB

Mengapa Kita Hampir Tidak Pernah Mendengar Kepala Desa atau Lurah Perempuan

Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di level desa masih cenderung rendah. Padahal, perempuan menjadi salah satu kunci penting dalam pembangunan desa sekaligus kepemimpinannya dapat menghasilkan kebijakan yang berpihak kepada perempuan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika membicarakan soal pemimpin desa atau kelurahan, dalam benak banyak orang sosok yang akan muncul pertama adalah seorang lelaki. Rasanya hampir-hampir tidak pernah terdengar kepala desa atau lurah perempuan, pun jika iya barangkali hanya satu atau dua.

Bahkan menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), presentae jumlah perempuan yang menduduki sebagai kepala desa dan lurah boleh dikatakan masih relatif rendah. Survei tahun 2021 menyebutkan bahwa presentase kepala desa perempuan di Indonesia hanya sebesar 5,76 persen, yang artinya kepala desa laki-laki banyaknya hingga mencapai 94,24 persen.

Hingga saat ini, posisi sebagai kepala desa atau lurah yang ditempati oleh perempuan masih dianggap sebagai hal yang tidak biasa, sesuatu yang berada di luar umum. Padahal, perempuan juga bisa memiliki andil besar dalam pembangunan dan pengambilan keputusan di level desa. Perempuan pun juga bisa sama terampil dan mampu menjadi kades atau lurah sebagaimana seorang lelaki.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Patriarki yang sulit dikikis

Patriarki yang masih mengakar kuat terutama di level pedesaan menjadi penghalang utama mengapa perempuan sulit untuk menjadi pemimpin. Budaya patriarki menempatkan laki-laki menjadi makhluk yang lebih unggul, sedangkan posisi perempuan berada di bawahnya. Laki-laki pun dianggap mampu melakukan banyak hal secara lebih baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun bermasyarakat sehingga lebih layak diberi peran sebagai pemimpin.

Sementara itu, perempuan semakin terpinggirkan dan dibebankan hanya untuk mengurus urusan-urusan privat atau domestik. Dalam patriarki, perempuan adalah sosok yang sepatutnya dipimpin alih-alih memimpin. Oleh karena itu, partisipasi perempuan untuk terlibat dalam beragam aktivitas publik termasuk salah satunya dalam politik menjadi sesuatu yang sulit. Akhirnya, pemimpin perempuan pun dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan tidak umum.

Belum lagi soal bagaimana patriarki bisa membatasi akses perempuan ke berbagai hal seperti pendidikan. Perempuan bisa dianggap semakin tidak kompeten dan tidak cocok untuk memegang jabatan sepenting kepala desa. Pun jika mencalonkan diri, perempuan bisa lebih banyak menghadapi penolakan dan sulit mengumpulkan dukungan. Akibatnya, kepercayaan diri perempuan pun semakin ciut untuk terlibat dalam arena politik baik selevel desa sekalipun.

Ketika perempuan memimpin

Dalam konteks pembangunan di level desa, perempuan pun sebetulnya memiliki peranan yang penting. Perempuan di desa dapat menjadi kontributor dalam produksi pertanian, ketahanan pangan, hingga menjaga sumber daya alam. Dalam laporan VOA yang sama juga dituliskan bahwa perempuan menajdi kunci penting untuk mencapai SDGs, seperti yang telah dilakukan UN Women bahwa kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki dapat meningkatkan produksi pertanian dan mengatasi kekurangan gizi.

Ada banyak penelitian yang berusaha melihat bagaimana kepemimpinan perempuan sebagai kepala desa. Dalam studi yang dilakukan di salah satu desa di Madura, pendekatan feminin yang dimiliki oleh kades mampu mengantarkan desa tersebut menjadi desa swakarya dan swasembada. Masih di Madura namun di desa yang berbeda, kepala desa perempuan berperan besar dalam memutus budaya pernikahan dini di desa tersebut hingga model pencegahannya dijadikan model oleh KEMENPPPA. Sementara itu, penelitian lain di Jambi menemukan bahwa kepala desa perempuan mampu melakukan realisasi berbagai program pembangunan dan pemberdayaan ibu rumah tangga.

Tentu saja, keberhasilan pemimpin perempuan dalam membangun dan inovasi kebijakan di desa belum tentu terjadi secara merata di semua wilayah. Dalam salah satu penelitian di Lebak misalnya, adanya kepala desa perempuan pun tidak serta merta memberi perubahan yang signifikan terhadap isu pemberdayaan perempuan. (Namun perlu digarisbawahi juga bahwa dalam penelitian ini, perempuan dapat terpilih menjadi kepala desa juga karena memanfaatkan peran patriarki dalam menggalang kekuatan politik.)

Namun demikian, beberapa penelitian di atas setidaknya turut membuktikan bahwa perempuan pun sama kompetennya dengan laki-laki untuk menjadi seorang kepala desa. Bahkan lebih baik lagi, kepemimpinan yang ditempati oleh perempuan tentunya juga dapat menuntun pada kebijakan-kebijakan yang berpihak pada perempuan sehingga mampu mengeluarkan mereka dari keterpinggiran atau keterbasan akses.

Oleh karena itu, menjadi penting untuk mulai meruntuhkan sistem patriarki yang telah lama mengekang perempuan dan membiarkan mereka untuk terlibat lebih dalam di ranah publik. Dengan begitu, partisipasi perempuan dalam pembangunan atau pembuatan kebijakan dapat terbuka semakin lebar.

Ikuti tulisan menarik Seftyana Nisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB