Singa bertumbuh di dalam hutan yang lebat, bersama penghuni lainnya. Singa terlatih dan terpilih untuk menjadi raja hutan. Singa tetaplah singa, meski hidup membaur dengan gerombolan kucing hutan, kodratnya ia tetap mengaum, bukan mengeong. Bahkan, jika ia tumbuh bersanding dengan kawanan monyet, ia pun tetap menapaki bumi dengan empat kaki, bukan bergelantungan dengan dua tangan. Sendiri ia tampil di depan, meski bahaya mengancam, bukan bergerombol karena ingin perlindungan. Menjadi raja hutan adalah kodratnya, menjaga ekosistem dan memanajemen alam adalah tugas yang diembannya.
Hiduplah kita di dalam negeri gemah ripah loh jinawi, batas teritorialnya dari Sabang sampai Merauke. Alam mempesona, Sumber Daya Alam melimpah, beragam suku bangsa dan budaya, beraneka aksara dan bahasa daerah, dengan bangga kita menyebutnya Indonesia. Pernah seorang Multatuli berkata, “Beruntunglah Kerajaan Insulinde (Indonesia), ia berada di untaian Zamrud Khatulistiwa, berlimpah kekayaan alam dan sangat memukau panoramanya. Sungguh beruntung garis ekuator melewatinya.”
Jika ada pertanyaan, dari manakah datangnya sumber pangan di kios-kios pasar, di rak-rak etalase supermarket, tersaji di deretan piring warung makan pinggir jalan hingga restoran, bahkan terpampang di daftar menu sistem pesan antar? Jawabannya, dari desalah sumber pangan itu ditanam, dipupuk, dipanen, lalu dipasok ke penjuru negeri, bahkan ekspor pun dilayani. Olehnya, dari dulu negeri ini dikenal berkedaulatan pangan, menjadi sentralnya lumbung pangan.
Jika masih ada pertanyaan, dari manakah ketersediaan bahan sandhang yang kita pakai sehari-hari, dari pakaian yang ditumpuk di emperan toko, busana yang dipajang di maneken-maneken butik dan distro, hingga gambarnya tertera di toko-toko online yang tak mengenal batas pemasaran? Jawabannya, dari desalah bahan sandhang ditumbuhkan dan diciptakan, diproses menjadi karya kearifan lokal, hingga diperdagangan para saudagar. Olehnya, dari dulu negeri ini dikenal sebagai sentral batik, tenun, dan sutera berkualitas super yang cantik menawan.
Dan, jika masih ada yang mencari jawaban, dari manakah ketersediaan material papan yang kita gunakan untuk membangun rumah, gedung, dan bangunan pencakar langit lainnya? Jawabannya, dari desa pulalah segala jenis bambu dan kayu tumbuh, pasir dan batuan gunung melimpah, hingga batu kapur pun tersedia. Olehnya, sejak era Borobudur – Prambanan negeri ini dikenal dengan arsitektur bangunannya yang agung dan megah.
Jangan lupakan pula, bahwa minyak bumi, batu bara, nikel, emas, dan Sumber Daya Alam lainnya adalah potensi kekayaan luar biasa, penyumbang income terbesar Indonesia. Dari manakah asalnya? Jawabannya masih sama, yaitu dari tanah-tanah desalah aset-aset bangsa itu dititipkan, dihasilkan, dan diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat negerinya.
Hutan dengan segala isinya, ibarat desa dengan segala Sumber Daya Alamnya. Sementara itu, singalah yang tampil menjadi raja, ibarat negara hadir sebagai pengayom dan pengatur tata kehidupan rakyatnya. Desa terlahir lebih dulu daripada negara. Desa adalah tanah air sekaligus tumpah darah, tempat lahir dan bertumbuh menjadi manusia-manusia dewasa. Wilayah desa bersentuhan dengan alam, sementara wilayah negara berkaitan dengan sistem aturan. Desa hadir sebagai pondasi negara, maka diperlukan desa-desa kuat untuk negara yang adidaya. Desa hadir sebagai penopang negara, maka dibutuhkan desa-desa kaya untuk negara maju dan jaya.
Belajar dari asal-usul peristiwa, jika kita akan membuka dan menggarap sawah, maka belajarlah dulu susunan ekosistem di dalam hutannya. Jika kita akan membangun suatu negara maju dan berjaya, maka bergurulah pada tata kehidupan desa-desanya. Oleh karenanya, “Negara dan desa berhubungan erat seperti singa dan hutannya. Jika desa rusak, maka lemahlah negaranya. Jika desa damai, maka sejahteralah negaranya. Desa ibarat pondasi dan penopang negara. Jika pondasi dan penopang lemah dan mudah goyah, maka negara pun akan porak-poranda dan mudah dijajah negara lainnya. Akan tetapi, jika pondasi dan penopang kuat dan kaya raya, maka negara pun akan maju, jaya, dan adidaya. Oleh karenanya, peliharalah keduanya, itulah perintah saya”, sabda pandhita ratu seorang Prabu Hayam Wuruk, sang raja Majapahit, dalam kutipan Kitab Negarakertagama.
Ikuti tulisan menarik Agustin Ariani lainnya di sini.