x

Sumber foto: pixabay.com, desain dengan PowerPoint.

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Minggu, 15 Oktober 2023 09:01 WIB

Romeo Bukan Jodoh Juliet

Mengapa Juliet tidak berjodoh dengan Romeo?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berjingkat langkah Juliet memasuki teras rumahnya. Memasukkan anak kunci ke lubangnya, pelan-pelan, agar tidak menimbulkan suara berisik. Pintu terbuka, gadis berambut panjang itu menyelinap hati-hati, lalu menutup kembali daun pintu, perlahan.

Juliet melangkah menuju kamarnya, masih berjingkat, dalam gelap ruangan. Bertahun-tahun dia tinggal di rumah berlantai dua itu, sehingga mampu berjalan dalam gelap sekalipun, tanpa menabrak perabot.

“Kamu terlambat satu jam, Juliet,” sebuah suara berbarengan dengan nyala lampu ruang tamu, mengagetkan Juliet, membuatnya tergagap sesaat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Maaf, Ma. Acaranya molor. Sebenarnya Juliet sudah hendak pulang, namun teman-teman menahan,” ujar Juliet tentang alasan keterlambatannya pulang dari pesta ulang tahun teman, malam itu.

Mama yang berdiri di dinding dekat saklar lampu ruang tamu, tak bereaksi. Wanita paroh baya itu melirik jam dinding.

“Pukul 12 malam lebih. Dengan siapa kamu pulang?” tanya Mama datar.

“Diantar teman, Ma.”

“Romeo?”

Juliet tercekat. Beberapa saat hanya diam, matanya gelisah menyimpan cemas.

“Ya, Ma,” jawab Juliet, lirih, menundukkan kepala. Bisa saja dia berbohong, namun Mama pasti tahu.

Dahulu, Juliet pernah berbohong dan Mama mempercayainya. Namun, seorang tetangga lapor pada Mama kalau sering melihat Juliet pulang diantar mobil sampai di mulut gang, oleh seorang pemuda tampan dan gagah. Ciri-cirinya sama persis dengan cowok yang pernah diajak Juliet main ke rumah, sampai akhirnya Mama tahu siapa cowok tersebut; Romeo!

“Kamu masih pacaran sama Romeo?” tanya Mama, bersedekap dan menatap lekat Juliet.

Gadis berkulit putih itu hanya tertunduk dan menggigit bibirnya yang tipis.

“Berapa kali Mama peringatkan? Silakan kamu pacaran, namun bukan dengan Romeo!”

Juliet masih diam, memainkan tali tas kecilnya, gelisah.

“Sampai kapanpun kamu tak akan dapat bersatu dengan Romeo! Tak akan!” tegas Mama seakan menjatuhkan vonis.

“Ma ...” Suara Juliet tercekat dan terputus. Mama melangkah gegas ke lantai dua, menuju kamarnya.

“Jangan lupa matikan lampu!” teriak Mama dari lantai dua.

***

Juliet berbaring resah di tempat tidur, memikirkan ucapan dan sikap Mama yang membenci Romeo. Mengapa Mama tidak memberikan penjelasan, apa yang salah pada diri Romeo? Sepengetahuan Juliet, kekasihnya itu baik, pengertian, dan tidak berbuat macam-macam pada dirinya.

Selama ini Juliet selalu kucing-kucingan bila hendak kencan dengan Romeo. Saat pulang dari kencan pun, Juliet selalu minta diantar sampai di mulut gang, agar tidak ketahuan Mama. Namun, lama-lama Mama tahu juga, lantas mulai mengatur-atur gerak Juliet.

Mungkin Mama ingin melindungi Juliet. Sebagai single parent dengan seorang anak gadis menginjak dewasa, memang berat tugas mama. Namun, yang terjadi kemudian Mama menjadi over protected pada Juliet.

Ada yang mengherankan, mengapa Mama tidak pernah marah kalau ada cowok lain yang main ke rumah. Bahkan, Mama memberi penilaian yang baik pada beberapa cowok.

“Kayaknya dia cowok yang baik. Bagaimana menurutmu, Juliet?”

Juliet hanya menganggap sebagai teman biasa pada semua cowok yang mengunjunginya di rumah. Tapi kalau Romeo yang datang?

“Sebagai teman atau saudara, bolehlah. Jangan sebagai pacar,” kata Mama setelah beberapa kali Romeo datang, mengobrol, sampai akhirnya Mama bisa menilai dan bersikap pada cowok jangkung itu.

Pada saat gelisah seperti ini selalu muncul kerinduan Juliet pada sosok Papa. Ingin curhat pada beliau. Di manakah Papa? Sampai usia 19 tahun ini Juliet belum pernah melihat wajah Papa, dalam foto sekalipun, atau ke makamnya. 

Kata Mama, Papa meninggal ketika Juliet masih dalam kandungan. Kapal yang ditumpangi Papa tenggelam, jenazah Papa hilang di laut, jadi tak ada makam.

Biarlah foto pengantin Mama dan Papa, yang penting Juliet bisa membayangkan wajah Papa. 

“Papa selalu membawa album foto ke manapun pergi. Semua ikut tenggelam di laut,” kata Mama berdalih.

Buku nikah?

“Sudah, jangan membangkitkan kenangan tentang Papa. Mama jadi sedih,” kata Mama memohon, sesenggukan, membuat Juliet tak tega untuk bertanya lebih lanjut.

Sejak itu Juliet berhenti bertanya tentang Papa. Lagi pula Kakek, Nenek, Paman, dan semua saudara Mama yang lain memberikan keterangan yang sama.

Untuk apa bersedih? Juliet bersyukur masih punya Mama yang sayang padanya. Untuk Papa, Juliet selalu berdoa untuk kebahagiaan Papa di alam sana.

***

Pukul 17.00. Juliet membantu bersih-bersih di salon Mama. Mama mengelola salon kecantikan di sebelah ruang tamu, dibantu  dua orang karyawati, untuk menghidupi keluarga. Dari usaha salon itulah Mama mampu bertahan hidup.

Selesai beberes, Mama berpesan kepada pembantu di rumah untuk mengunci pintu, jangan terima tamu siapapun sampai Mama dan Juliet pulang. Kemudian Mama dan Juliet pergi ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan hidup seminggu ke depan.

Di supermarket, Juliet dan Mama mencari apa-apa saja yang mereka butuhkan. Sampai kemudian Mama berpapasan dengan seorang lelaki sebaya dengannya. Sejenak, mereka berpandangan.

“Jeng Indri?” tanya lelaki itu.

“Mas Wondo?” sahut Mama juga kaget.

Mereka masih bertatapan seperti menyimpan kenangan.

“Dia anakmu?” tanya lelaki itu yang sudah begitu dikenal Juliet. Lelaki itu Om Wondo alias Papa Romeo.

Om Wondo masih menatap Mama.

“Suamimu mana?” tanya Om Wondo, terdengar hati-hati.

Mama tertegun, lalu menoleh pada Juliet.

“Juliet, biarkan Mama bicara sama Om Wondo,” ujar Mama halus.

Juliet mengangguk mengerti, lalu menyingkir. Dari balik rak parfum, Juliet mengintip. Dia tidak bisa mendengar apa yang Mama dan Om Wondo perbincangkan. Hanya gestur dan mimik mereka yang menunjukkan suasana haru mewarnai pertemuan itu.

Om Wondo menyentuh bahu Mama, ketika wanita yang masih cantik itu tampak sesenggukan. Kemudian lelaki itu menyodorkan sapu tangan, yang segera diraih oleh Mama untuk menyeka matanya. Mama menghela napas dan segera menguasai keadaan, ketika ada pengunjung yang mendekat.

Dari tempat persembunyian, Juliet bertanya-tanya dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Mama dan Om Wondo tampak mencari-cari sesuatu. Juliet segera menampakkan diri.

“Om Wondo mau pamit, Juliet,” kata Mama, suaranya agak parau.

“Kok buru-buru, Om? Nggak mampir ke rumah kami dulu, Om?” sapa Juliet.

“Mungkin kali lain. Sebentar lagi Om ada janji dengan relasi,” sahut Om Wondo, lalu pamit. Mama melepas kepergian Om Wondo dengan pandangan sayu.

“Mama menangis?”

Mama buru-buru mengusap sisa air matanya dengan jemari dan punggung tangan.

“Mama tidak apa-apa. Sudah dapat semuanya?”

“Kurang keju, Ma.”

***

Dini hari Juliet terbangun ketika mendengar suara tangis dari kamar Mama. Juliet melihat Mama duduk menundukkan kepala di tepi ranjang, menyeka hidungnya, memandang sebuah foto yang dipegangnya. Juliet perlahan mendekat, duduk di sisi Mama.

“Foto siapa, Ma?”

Mama memperlihatkan foto sepasang muda-mudi sedang berangkulan di pantai. Juliet segera tahu wajah-wajah dalam foto itu; Mama sewaktu muda, dan ....

“Om Wondo?” gumam Juliet tercekat.

Mama menatap Juliet.

“Sudah saat bagi kamu untuk tahu,” kata Mama, lirih.

Mama mengatur duduknya, menghela napas, lalu bercerita.

“Mama dan Om Wondo menjalin kasih saat kuliah. Kami saling mencintai. Tapi Om Wondo sudah dijodohkan oleh orangtuanya. Om Wondo tidak mampu menentang adat. Kami berpisah, meski saat itu Mama sedang mengandung kamu, Juliet.”

Mama kembali menarik napas, seakan merasa lega telah membuka rahasia yang selama ini dipendamnya.

Juliet terpaku dalam duduknya. Jiwanya seperti mengambang oleh kenyataan yang memukul hatinya itu.

“Jadi, Juliet dan Romeo ....,” ucapan Juliet terhenti, karena tak kuasa menerima kenyataan yang menggunjangkan jiwa itu. Bibir gadis itu gemetar, matanya berkilau oleh butir-butir kristal yang kemudian bergulir di pipinya. Dalam sekejap, wajah cantik Juliet basah oleh air mata.

“Ya, Juliet. Kamu dan Romeo bersaudara,” ujar Mama, dengan berurai air mata pula.

“Tidak mungkin! Mustahil!” Tanpa sadar Juliet histeris. Tubuhnya terasa tiada bertulang, lalu rubuh terkulai di ranjang.

***

Sinar kuning keemasan mentari senja tampak indah. Namun, bagi Juliet keindahan sunset kali ini terasa hampa. Dia hanya menatap kosong pada kejauhan, pada cakrawala yang perlahan mulai menelan mentari.

Juliet duduk di batu karang di pantai itu. Sudah seharian dia di sana. Dia bolos kuliah, memilih melabuhkan kegalauannya di pantai. Rasa lapar tak dihiraukannya. Dia duduk seperti batu, rambut panjangnya berkibar diterpa angin pantai yang kencang, namun tak dipedulikannya. 

Beberapa pengunjung pantai memandang heran pada Juliet. Beberapa pengunjung, bahkan, memberi kode dengan menyilangkan jari di kening.

“Gadis sinting,” ujar seorang pengunjung pantai.

“Aku mencarimu,” ujar sebuah suara yang begitu dikenal Juliet. Gadis itu menoleh sejenak memandang arah suara. Romeo!

“Mamamu bilang kalau sedang sedih atau ada masalah, kamu pasti ke pantai,” kata Romeo.

Tentu saja Mama dan Romeo cemas mengetahui Juliet tidak ada di rumah dan di kampus. Namun, Juliet masa bodoh, dia ingin meresapi kesedihannya di pantai, sendirian.

“Mari pulang, Juliet. Kamu tentu lelah. Kamu sudah makan?” kata Romeo, menyentuh bahu Juliet, membujuk gadis itu untuk pulang.

Juliet menatap nanar pada Romeo.

“Mama tentu sudah cerita, dan kamu tidak sedih?” tanya Juliet, seakan menyesali sikap kekasihnya itu, yang seolah tidak merasa sedih sedikit pun.

“Aku juga sedih, Juliet. Aku sempat tak percaya dan tak terima semua ini, tapi ini kenyataan,” sahut Romeo, tersenyum bijak, menatap lembut Juliet, seakan ingin membelai lembut kalbu gadis itu.

Juliet tertegun, merenungi kata-kata Romeo. Sejenak kemudian dia mengarahkan pandangan pada mentari yang tinggal separoh di cakrawala sana. Tidakkah mentari masih ingin menyinari bumi, namun karena kehendak Tuhan, ia harus tenggelam dalam garis cakrawala?

Juliet menarik napas, berusaha menguatkan hatinya untuk menghadapi kehidupan yang di luar harapannya.

“Mari pulang, Kakak,” ajak Romeo, mengejutkan Juliet. Gadis itu kembali tertegun. Kakak? Kata itu terasa aneh, namun menggetarkan jantung Juliet. Gadis itu sadar, dia lebih tua enam bulan dari Romeo.

Ada hawa sejuk mengalir dalam jiwa Juliet ketika mendengar panggilan itu, seiring kebahagiaan yang datang tiba-tiba pula. Dirinya seorang kakak?

“Mari pulang, Adik,” kata Juliet, tersenyum damai.

Langkah Juliet gemetar. Bukan saja oleh lapar, namun juga gugup harus memasuki kehidupan baru sebagai kakak.

Romeo membimbing langkah Juliet menuju mobil di dekat pondok bambu. Di sana telah menanti Mama Juliet, serta Papa dan Mama Romeo, yang kemudian menyambut sepasang remaja itu dengan senyum kebahagiaan.

Juliet terpana memandang mereka. Air matanya jatuh, setetes. 

Di kejauhan, mentari telah benar-benar masuk ke peraduannya.

***SELESAI***

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler