x

Iklan

Cak Daus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Juli 2021

Senin, 16 Oktober 2023 15:10 WIB

Power Up Indonesia, Kala Orang Muda Muak dengan Bohir Industri Fosil di Pemilu 2024

Sama seperti pola di negara-negara lain, ketidakpedulian elite politik di Indonsia terhadap krisis iklim berbanding lurus dengan meningkatnya laba industri-industri fosil. Gerakan ‘Power Up’ di Indonsia harus diarahkan mendesak elite-elite politik untuk lebih serius mengatasi krisis iklim dan transisi energi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Krisis iklim telah menghampiri penduduk bumi. Berbagai bencana akibat krisis itu telah terjadi di berbagai penjuru dunia. Menurut Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva, kerugian ekonomi secara umum di dunia akibat bencana krisis iklim iklim menembus angka US$ 100 miliar atau Rp 1.532 triliun per tahun

Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, menurut ESG Specialist East Ventures Aghnia Dima Rochmawati, seperti ditulis di media online pertengahan tahun ini, pada tahun 2021 saja, kerugian ekonomi akibat bencana krisis iklim telah menembus angka US$35,6 miliar.

Kerugian ekonomi akibat krisis iklim juga harus dialami Indonesia. Perkiraan Bappenas kerugian ekonomi yang ditelan Indonesia bisa mencapai Rp 544 triliun untuk kurun waktu 2020-2024 mendatang. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun bencana krisis iklim beserta kerugian ekonominya telah menjadi keniscayaan, namun para elite politik di dunia masih nampak belum serius mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim.

Elite-elite dunia dari negara industri maju, yang rakus terhadap energi fosil, memang selalu membicarakan krisis iklim di forum-forum internasional. Di depan kamera jurnalis internasional, mereka berkotbah pentingnya mengakhiri penggunaan energi fosil dan segera berpindah ke energi terbarukan. Namun, jika ditelusuri, kotbah mereka akan berujung pada kesepakatan dagang dan jebakan utang untuk negara-negara berkembang, seperti Indonesia melalui mekanisme JETP (Just Energy Transition Partnership) yang diluncurkan di KTT G20 tahun 2022 silam.

Ketidakseriusan elite politik dari negara-negara industri maju itu berbanding lurus dengan akumulasi laba dari industri-industri fosil penyebab krisis iklim. Menurut globalpowerup.org, sebuah organisasi lingkungan hidup internasional, laba Exxon, Shell, Total dan Chevron hanya di triwulan satu 2023 sebesar 33,2 miliar USD. Laba sebesar itu diperkirakan dapat melistriki secara penuh sekitar 55 juta rumah pedesaan tanpa akses energi dan jaringan listrik.

Sedangkan laba Shell pada 2022, hanya dari kenaikan harga energi saja sebesar 22,4
miliar USD. Laba itu dapat menutup kesenjangan pembayaran semua rumah di Inggris Raya, yang mengalami kekurangan energi selama setahun.

Ketidakseriusan elite-elite politik negara-negara maju dan keserakahan industri fosil di penjuru dunia yang masih bermain-main di tengah krisis iklim itu membangkitkan aksi iklim kolektif masyarakat sipil global. Pada 29 Oktober hingga 4 November, masyarakat sipil di berbagai penjuru dunia berencana turun ke jalan-jalan raya mendesak para elite politik global untuk segera membuat kebijakan untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan dan menghentikan energi fosil kotor. Gerakan aksi iklim kolektif masyarakat sipil dunia itu diberi nama ‘Power Up’.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah aksi iklim kolektif ‘Power Up’ itu relevan dilakukan pula di Indonesia? Di Indonesia, skema pembiayaan transisi energi JETP berjalan mundur. Sekretariat JETP menunda peluncuran rencana investasinya hingga akhir tahun 2023. Artinya, upaya pensiun dini pembangkit listrik batu bara dan pengembangan energi terbarukan akan ikut tertunda.

Di tengah kesulitan pembiayaan transisi energi tersebut, bank-bank milik negara terus mengucurkan uangnya untuk membiayai batu bara, penyebab krisis iklim. Bank-bank BUMN itu (Mandiri, BNI dan BRI) selalu mengklaim sebagai green banking di berbagai kesempatan, namun tetap menyalurkan dana yang diperoleh dari nasabahnya ke pembiayaan kotor batu bara.

Sementara elite-elite politik di Indonesia pun begitu cuek dengan krisis iklim apalagi transisi energi. Hasil penelitian Yayasan Indonesia Cerah mengungkapkan, sebagian besar partai politik, khususnya partai yang lolos ambang batas Pemilu 2019 hingga 2023, belum menempatkan isu perubahan iklim dan transisi energi dalam perangkat partainya.

Di Indonesia, perusahaan energi fosil bukan hanya telah meraup laba, namun juga menghancurkan sumber-sumber kehidupan masyarakat sekitar. Luapan lumpur di Sidoarjo adalah sejarah kelam industri energi fosil di Indonesia. Belum lagi kerusakan alam akibat tambang dan pembangkit listrik batu bara di berbagai penjuru Indonesia.

Sama seperti pola di negara-negara lain, ketidakpedulian elite politik di Indonsia terhadap krisis iklim berbanding lurus dengan meningkatnya laba industri-industri fosil. Gerakan ‘Power Up’ di Indonsia harus diarahkan mendesak elite-elite politik untuk lebih serius mengatasi krisis iklim dan transisi energi.

Desakan gerakan ‘Power Up’ di Indoensia itu menjadi relevan di menjelang pemilu legislatif dan presiden di 2024. Bukan tidak mungkin para cukong di industri fosil membiayai kampanye elite politik di pemilu legislatif dan presiden. Gerakan ‘Power Up’ dalam konteks Indonesia harus memastikan uang di industri energi fosil tidak mengotori pesta demokrasi di negeri ini.

Jika para pemilik modal di industri fosil dibiarkan mengotori proses demokrasi Indonesia, maka para elite politik yang dihasilkan hampir dapat dipastikan akan tetap cuek dengan isu krisis iklim dan transisi energi. Jika itu terjadi, transisi energi di Indonesia akan tetap menemui jalan buntu.

Jika Gerakan ‘Power Up’ di Indonsia mampu membongkar jalan buntu transisi energi, hampir dapat dipastikan gerakan ini akan menjadi anti-thesis koalisi-koalisi parpol menjelang pemilu dan pilpres. Koalisi-koalisi parpol itu hanya berbicara tentang kepentingan mereka sendiri dan mengabaikan keselamatan warga yang makin rentan menjadi korban bencana krisis iklim.

 

 

Ikuti tulisan menarik Cak Daus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB