x

Ilustrasi Semesta. Gambar oleh Beate Bachmann dari Pixabay.com\xd

Iklan

Abil Arqam

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 Oktober 2023

Jumat, 20 Oktober 2023 07:13 WIB

Apa Pentingnya Tanda Tanya? Sebuah Ulasan atas Buku yang Penuh Pertanyaan

Pada abad ke-6 sebelum masehi seorang saudagar dari Miletus bernama Thales, mengajukan beberapa pertanyaan mendasar soal alam semesta? Siapa sangka deretan pertanyaannya mengawali sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Pertanyaan dia juga membentuk peradaban besar yang dikenal sebagai tempat lahir dan berkembangnya ilmu filsafat, yakni peradaban Yunani.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul                   : Hilangnya Tanda Tanya

Penulis                : Yusuf Habibi Harahap

Penerbit             : Quanta

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun                 : 2023 cet. I

Tebal                   : 186 hal.

Pada abad ke-6 sebelum masehi, seorang saudagar dari Miletus bernama Thales, mengajukan sebuah pertanyaan yang unik, “Apakah unsur pembentuk dari semesta?”, “Bagaimanakah asal mula terjadinya alam semesta?”, “Apakah yang dimaksud dengan jiwa dan dimanakah ia terletak?” Di masa itu, pertanyaan semacam ini barangkali sangat mengawang-ngawang dan sepele. Namun, siapa sangka bahwa deretan pertanyaan tersebut akan mengawali sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Lebih lagi, pertanyaan-pertanyaan ini kemudian akan membentuk suatu peradaban besar yang dikenal sebagai tempat lahir dan berkembangnya ilmu filsafat, yakni peradaban Yunani.

Seringkali sebenarnya, ide dan gagasan yang besar muncul dari pertanyaan yang remeh. Kita terkadang malah menyepelekan pertanyaan-pertanyaan naif yang keluar dari mulut anak kecil. Di masyarakat kita sendiri, banyak tanya dianggap suatu sikap yang buruk.  Ia malah dikonotasikan sebagai sikap penolakan, keberatan, dan penyangkalan. Maka tak heran, banyak sekolah yang-dengan dungunya-masih mendoktrin siswanya dengan adagium “Diam itu Emas”.

Inilah persoalan yang kiranya ingin diangkat oleh penulis buku Hilangnya Tanda Tanya. Seberapa pentingkah ‘tanda tanya’ bagi kehidupan kita?

Adalah pemikiran Abdul Karim Bakkar yang agaknya menjadi titik berangkat sang penulis dalam menyusun karyanya ini. Bagi Bakkar, problem kemunduran umat Islam hari ini ialah hilangnya tradis bertanya-khususnya pertanyaan kritis dan skeptis-dalam wacana keilmuan umat Islam sendiri. Umat Islam hari lebih gemar menerima apa-apa yang mereka terima dan pelajari, ketimbang merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang sistematis dan kritis.

Walhasil, mereka terjebak dalam sikap yang disebut oleh ulama-ulama terdahulu sebagai taklid buta. Semua diserap dan diterima mentah-mentah tanpa melakukan peninjauan ataupun verivikasi.

Pada dasarnya, pertanyaan bisa jadi lebih penting dari jawaban. Memberikan jawaban yang benar adalah hal yang mungkin sulit, namun merumuskan sebuah pertanyaan yang baik dan tepat jauh lebih sulit lagi. Untuk mengemukakan suatu pertanyaan, seseorang perlu memahami secara baik dan sistematis mengenai apa yang ia ingin tanyakan dan dimana letak ketidakpahamannya.

Karenanya, bertanya adalah hal yang begitu krusial. Pertanyaan yang baik akan memberikan semacam sikap sadar diri atas kekurangan dan ketidakpahaman. Pada akhirnya, seseorang akan mencoba membangun dan menyempurnakan lagi pemahamannya melalui pengetahuan baru yang ia terima melalui pertanyaan yang diajukan.

Buku ini seakan ingin menumbuhkan lagi sikap kuriositas dalam pikiran setiap umat Islam. Sebuah sikap yang agaknya pernah menjadi tradisi keilmuan di era keemasan umat Islam, utamanya pada era kekhalifahan Abbasiyah. Sikap yang hari ini agaknya sudah jarang ditemukan pada pemuda-pemuda muslim.

Di samping itu, penulis ingin mengajak pembacanya untuk lebih peka terhadap persoalan-persoalan sederhana yang ada di sekitar kita. Saya terkesan ketika membaca pengalaman pribadi sang penulis ketika sedang mengenyam pendidikan di Madinah.  Suatu waktu, ia ingin mencetak diktat kepenulisan dengan halaman yang lumayan tebal (ditaksir sekitar 90 Riyal atau 270 ribu Rupiah) di salah satu fotocopy. Namun, atas kebesaran hati seorang syekh (baca: orang tua) yang memiliki usaha tersebut, ia menolak bayaran cetaknya, karena tahu bahwa sang penulis adalah seorang mahasiswa yang sedang menuntut ilmu. Betapa orang tua sederhana tersebut sangat menghormati penuntut ilmu.

Fahruddin Faiz dalam satu kesempatan pada Ngaji Filsafat, menyampaikan bahwa pertanyaan mengandung nilai perhatian dan tanggung jawab. Sederhana sekali, ketika guru misalnya menguji pemahaman muridnya melalui pertanyaan. Pertanyaan ini bukanlah suatu bentuk ketidaktahuan. Namun, adalah sikap perhatian guru terhadap kepahaman muridnya.

Di lain sisi, saya mengira bahwa penulis akan mengulik secara mendalam akar permasalahan hilangnya ‘tanda tanya’ dari akal dan tradisi keilmuan umat Islam. Namun, buku ini lebih banyak menceritakan kisah-kisah hikmah, baik melalui pengalaman pribadi maupun tokoh dan ulama mashur. Kendati demikian, buku ini dapat memantik kesadaran pemuda untuk menerapkan kembali kebiasaan bertanya, baik dalam belajar maupun dalam menjalani kegiatan sehari-hari serta lebih peka terhadap hal-hal kecil yang ada di sekitar.

Untuk menutup saya mengutip sebuah ungkapan filosofis yang diutarakan oleh seorang filosof Perancis bernama Voltaire, “Judge a man by his question rather than his answer” (nilailah seseorang melalui pertanyaannya daripada jawabannya).

 

Ikuti tulisan menarik Abil Arqam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler