x

Iklan

Diana Mustika

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 April 2023

Rabu, 8 November 2023 06:39 WIB

Budaya Chinmoku dan Silent Treatment dalam Komunikasi antar Manusia

Chinmoku dan silent treatment memiliki banyak kesamaaan dan sulit untuk membedakannya. Keduanya sama-sama digunakan saat seseorang ingin mengungkapkan sebuah penolakan, ketidakpuasan atau kekesalan. Penolakan itu diungkapan secara tidak langsung (indirect), ambigu, dan terkadang tanpa respon atau bahkan diam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain. Menurut Aristoteles, hubungan manusia dapat dijelaskan dengan istilah zoon politicon. Berangkat dari pernyataan tersebut, dapat diartikan bahwa manusia tidak bisa hidup hanya dengan kemampuannya sendiri tapi manusia hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan manusia lain.

Meskipun disebut dengan makhluk sosial, manusia sejatinya merupakan seorang individu yang memiliki ide-ide atau pemikirannya sendiri. Setiap manusia memiliki keunikannya masing-masing yang membedakan satu dengan lainnya. Dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat dan berkelompok, tentunya akan terjadi proses pertukaran ide, pemikiran, informasi yang ingin disampaikan dari satu individu ke individu lainnya. Proses ini disebut dengan komunikasi.

Moore (1993, dalam Awi, Mewengkang, & Golung, 2016) menyebutkan bahwa komunikasi adalah proses menyampaikan pemahaman antar individu sehingga sampai pada pemahaman tertentu. Berdasarkan cara penyampaian pemahaman, komunikasi antara manusia dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata- kata, entah lisan maupun tulisan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bersamaan dengan komunikasi verbal, terjadi komunikasi non verbal secara sadar maupun tidak sadar. Komunikasi non verbal tersebut contohnya adalah gestur, sorot mata, ekspresi wajah, nada bicara, dan postur tubuh. Selain yang telah disebutkan, ada juga diam atau jarak antara kata sebagai salah satu bentuk komunikasi nonverbal. Di Jepang, sikap diam tersebut lebih dikenal dengan istilah chinmoku.

Apa itu Chinmoku?

Pertama-tama, kata “Chinmoku (沈黙) tersusun dari dua abjad kanji, yaitu kanji “沈” yang artinya tenggelam, dan tertekan, dengan kanji “黙” yang artinya hening, (menjadi) diam, dan menerima begitu saja. Chinmoku merupakan budaya yang dikenalkan dari Jepang, yang bisa diartikan sebagai diam, senyap, keheningan, kesunyian, dan ketenangan. Chinmoku dapat dipandang sebagai keterampilan komunikatif, salah satu budaya, dan bukan hanya bentuk kekosongan (間, dibaca: ma) di antara kata-kata yang diucapkan.

Chinmoku merupakan salah satu budaya yang dinilai sebagai high-context culture. Hall dalam bukunya yang berjudul, The Silent Language (1959) menjelaskan bahwa high-context culture adalah budaya yang lebih mengutamakan keharmonisan dan kesejahteraan bersama daripada kepentingan individu. Ketika dihadapkan dengan situasi dimana terdapat hal-hal yang sulit untuk diucapkan secara terang-terangan (verbal), orang Jepang mengkomunikasikan pesan yang ingin disampaikan melalui gestur, nada bicara, sorot mata. Orang Jepang diketahui lebih mengutamakan keharmonisan (和, dibaca: wa) dalam berkomunikasi dan bersosialisasi. Daripada mengucapkan kata-kata dan pemikiran yang memiliki kemungkinan untuk menyinggung lawan bicara atau membuat suasana menjadi tidak nyaman, lebih baik diam. Dalam hal ini, Chinmoku juga termasuk sebagai salah satu cara berkomunikasi secara nonverbal.

Chinmoku juga telah lama dihargai sebagai suatu bentuk kebajikan yang serupa dengan "kejujuran" oleh orang Jepang. Menurut Lebra (1987),  “Orang Jepang percaya bahwa kejujuran, ketulusan, keterusterangan, atau keandalan dikaitkan dengan sikap pendiam. Oleh karena itu, orang yang sedikit bicara lebih dipercaya daripada orang yang banyak bicara.”

Budaya Chinmoku telah memegang peranan yang sangat penting dalam menciptakan keharmonisan dan dalam menghindari sebuah konflik secara langsung dalam kehidupan sosial di Jepang. Menurut Naotsuka dalam bukunya yang berjudul, "Ohbeijin Ga Chinmoku Suru Toki"(Ketika Orang Barat Diam) menyebutkan, "Seseorang yang bersikeras dengan pemikiran dan ide-idenya sendiri sebelum mayoritas mencapai kesepakatan, dipandang sebagai orang yang egois dan mendahului (Naotsuka, 1996). Dan sebaliknya, orang yang diam, menurut, tidak banyak bersuara, menahan diri atau sungkan (遠慮, dibaca: enryo) dipandang sebagai seseorang yang sopan, dewasa, memahami norma sosial, dan dapat dipercaya.

Diam adalah Emas

Meskipun Chinmoku bertujuan untuk menciptakan dan melindungi keharmonisan, terkadang ada kalanya malah menjadi penyebab kesalahpahaman. Katakan, ada seorang pebisnis dari Amerika yang mengajukan tawaran kerjasama dengan pebisnis Jepang. Anggap saja si pebisnis Jepang menolak halus tawaran nya dengan menjawab, "検討します" (Akan saya pertimbangkan) kemudian menghilang tanpa memberi kabar lanjut. Pebisnis Amerika, yang tidak memahami pesan penolakan halus tersebut, tentunya akan merasa kebingungan karena ketidakterusterangan tersebut. Menurut Naotsuka (1996), banyak orang dari negara lain yang menganggap gaya komunikasi orang Jepang, yang dicirikan oleh keheningan dan ketidaklangsungan, sebagai "membuang-buang waktu".

Seorang lawan bicara yang gagal memahami sikap diam, chinmoku, tidak jarang untuk memaknainya sebagai kenihilan respon, keengganan untuk memberi tanggapan, menghindari permasalahan (jika terjadi konflik), ketidakjelasan, hingga dalam kasus ekstrim, pengasingan. Tidak sedikit yang merasa berkecil hati setelah menerima perlakuan tersebut. Dampak yang dialami oleh pihak penerima senada dengan dampak dari silent treatment.

Silent Treatment

Silent treatment merupakan istilah untuk mewakili suatu sikap diam atau perilaku tak acuh yang disengaja sebagai metode untuk mengungkapkan perasaan seperti kekesalan, ketidakpuasan, hingga kebencian. Silent treatment menghindari sebuah konfrontasi secara langsung dan tidak mengutarakan dengan jelas alasan atas sebuah ketidakpuasan. Label “Keambiguitasan strategik” oleh Williams (2001, dalam Eisenberg 1984) mengenai silent treatment, merujuk kepada pengabaian petunjuk-petunjuk kontekstual yang disengaja sehingga memungkinkan terjadinya berbagai interpretasi atau pemaknaan atas suatu pesan (Eisenberg, 1984).

Mereka yang mengaku pernah melakukan silent treatment, mengungkapkan adanya rasa kontrol yang lebih kuat (Williams, Shore, & Grahe, 1998). Hasil dari eksperimen role-play oleh Zadro, Williams, dan Richardson (2005) di antara orang-orang asing, mengungkapkan bahwa kebutuhan pihak penyampai pesan lebih mudah dipenuhi melalui cara mendiamkan dan menghindar, dibandingkan dengan argumen secara langsung.

Hasil dari pengamatan tersebut menegaskan bahwa silent treatment memberi efek negatif yang berpotensi untuk merendahkan posisi bahkan menghancurkan harga diri pihak yang menerima perlakuan tersebut. Perlakuan semacam ini menimbulkan rasa frustasi bagi pihak penerima, yang sering kali mengakhiri suatu hubungan (Sommer et al., 2001). Selain itu, silent treatment juga sering digunakan sebagai taktik dalam manipulasi. Menurut Falbo & Peplau (1980) hal tersebut digunakan sebagai bentuk penegasan kekuasaan atau taktik manipulasi (Buss et al., 1987) yang, relatif terhadap bentuk pengaruh lainnya, dirasakan tidak langsung dan sepihak (Falbo & Peplau, 1980). Hal ini menunjukkan bagaimana silent treatment dapat digunakan untuk tujuan meninggikan posisi pihak pelaku (penyampai) dan merendahkan orang lain (pihak penerima).

Kesimpulan

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa Chinmoku dan Silent Treatment memiliki banyak kesamaaan dan sulit untuk membedakannya. Keduanya sama sama digunakan saat seseorang ingin mengungkapkan sebuah penolakan, ketidakpuasan, kekesalan, melalui ungkapan yang tidak langsung (indirect), ambigu, dan terkadang tanpa respon atau bahkan diam. Alasan di baliknya juga beragam. Chinmoku alasannya karena menahan diri untuk tidak menyakiti lawan bicara atau membuat situasi menjadi tidak nyaman. Orang Jepang lebih mendahulukan kepentingan kelompok daripada mengedepankan pendapat pribadi. Sedangkan Silent Treatment motifnya lebih egois, karena ingin menghindar, menganggap tidak ada,  mengasingkan, bahkan sering digunakan sebagai taktik untuk manipulasi.

Komunikasi antara manusia baru dianggap berhasil apabila informasi, ide, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pihak pertama dapat dipahami oleh pihak lainnya. Untuk itu, diperlukan tingkat pemahaman yang setara antara kedua pihak. Supaya Chinmoku tidak disalahpahami sebagai bentuk dari silent treatment, perlu ditemukan jalan tengahnya, yaitu saling memahami satu sama lain. Orang Jepang tidak perlu malu dengan budaya Chinmoku-nya, begitu juga dengan orang Barat yang bangga dengan sikap terus terangnya.

Ikuti tulisan menarik Diana Mustika lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB