x

Foto Tempo.com

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Jumat, 24 November 2023 09:49 WIB

Lawas Bukan Seni Gincu

Lawas Bukan Seni Gincu. Sketsa prosa bebas, menjaga tradisi menyayangi negeri, di sini biangnya kontemporer ataupun kemodernan seni, jauh sebelum abad seni instalasi candi-candi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sampai pada kurun waktu awalan ke akhiran, terlihat secara tematik semirip kebaruan seni. Kalau menilik lebih detail terpola seni lawas melestarikan kebaruan, lantas budaya kini menyebutnya 'ane modern loh'. Jangan asal nyinyir sindiran nonkritik terpuruk gosip, maka praduga jadi polusi sampah. 

Jelas terkonsep gerakan komunikasi kebaruan seni komposisi bersumber dari seni lawas para tradisi-belum menemukan kebaruan dalam arti sebenarnya-terjadi di sejarah seni benua di bumi. Tapi, bukan sejarah nyinyir tak edukatif, kalau jagoan literasi jangan cuma jadi jargon kembang gula cuy. 

Meski sungguhpun terpola dalam hidangan rancang bangun berbasis sejarah seni lawas, serupa restorasi bangunan candi kuno maka tampak kini lestari kebudayaan berkesinambungan, meski lampau tak bisa mengelabui waktu, secara nyata sains telah mengetahui sebelumnya persis seperti pola seni lampau untuk dilindungi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nah, paham seni ini atau itu tak selalu jawaban. Jangan pura-pura berkesepahaman agar boleh dong kepo kiri kanan, enggak nemu jawabannya lantas mendingan halu berpeluang ini itu, bisa menduga atau telah terduga, meski akhirnya aransemen baru, liriknya copy paste seni lama ke baru atau baru ke lama bolak-balik aja kok.

Atau bisa jadi sih, lama kelamaan sama dengan semirip alias, artinya tak persis benar, tapi, terlihat sebagai karya seni perupaan baru, misalnya, padahal ide lama. Ehem, xixixi, lucu tapi nyatanya enggak lucu banget. Biarin aza, mending melucu sekalipun tidak lucu, daripada nyinyir sana sini enggak jelas mau kepoin apaan sih. 

Nah, itu dia. Maksudnya seni melucu nyatanya tidak selucu seni komedi situasi. Sekalipun kasat netra kelucuan seninya terlihat plastis tidak sedang melucu. Tapi tampak seperti lucu juga gitu deh maksudnya. Giniloh, kalau mau melucu ya lucu saja enggak usah pura-pura mainstream, tapi enggak lucu.

Tak sulit memahami karena porosnya muter dari itu ke icu lagi. Enggak usah di kepoin juga udah ngepo sendiri kale cuy xixixi. Lah wong ketauan juntrungannya, masih ngeles juga seni sana sini seolah-olah mengolah biji kopi jadi coklat susu. Kopi ya kopi, bukan, coklat ya kopi. Pusing, maksudnya gimana sih. Sssst, simak aja ya.

Memang terkonsep seperti itu. Senyuman seninya aduhai syalala walahkadalah, bagaikan senyuman Semar-super bermakna di antara kisah-kisah seni pewayangan. Tak perlu ditinjau dari segi sains ataupun culture shock, sebab, tokoh Kiai Semar, memang bentuk dari kecerdasan analogi kultural modern tradisi.

Merupakan salah satu pencapaian penciptaan karakter peranan kesadaran posmo contemporary artist, mengganyang kemapanan cara pandang stagnan dialogis. Beruntung sekali apabila ada makhluk pemilik senyum hampir semirip senyuman Semar. Sekalipun pemilik senyuman itu sosoknya belum persis senyuman Semar. 

Apalagi kalau senyuman sang seni dari sosok di zamannya mampu mengalahkan kegantengan paras Arjuna, akan luluh siapapun kalau berlama-lama mengamati. Apalagi mencuri-curi pandang sembari ikut-ikutan tersenyum. Widihh gawat tau so cute gituloh, apa segitu karismatiknya pemilik sang senyuman itu. 

Kalau diplesetkan jawabannya jadi begini; tentu saja akibat pola seninya berseni hari ini seperti musim lalu menjadi seni kekinian menuju kebaruan seni, padahal enggak tuh. Tampak terlihat hanya berbekal, copy paste aduhai banget 'modernisme plagiat', cetak sempurna, sampurasun and hallo this is me, again and again.

Salah satu hebatnya seni komunikasi para panakawan, mampu menyebabkan Semar selalu terperangah, apabila anak-anaknya memberi kesepahaman seni berseni tanpa lewat seni protes atau hal ikhwal simbolis, meski terkadang paling sulit bagi Semar, untuk memberi jawaban, 'Yes or No', dalam dengar pendapat bersama panakawan.

Semar, hanya memiliki solusi kebijaksanaan, a way out of aesthetic problems, dia titisan dewa. Semar, mulia hatinya sejak takdirnya, untuk menerima pendapat sekalipun pahit atau getir demi kemuliaan stabilitas sesama. Semar ikhlas selaku takdir pengemban tugas penasihat perdamaian seni bumi ataupun seni langit.

Semar, senantiasa mengetahui sebelum kejadian dalam tersirat maupun tersurat nurani, watak hitam ataupun putih tak sebening mata air, berkelebatan bayang-bayang di layar wayang kulit. Akan tetapi sebagaimana pemilik cinta kasih, Semar, tetap tersenyum sekalipun nuraninya menangis.  

***

Jakarta Indonesiana, November 24, 2023.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

6 jam lalu

Terpopuler