x

ilustrasi bullying

Iklan

Fabian Satya Rabani

Pelajar, model, dan atlet tinggal di Bandung, Jawa Barat. IG: @satya_rabani
Bergabung Sejak: 22 November 2023

Minggu, 3 Desember 2023 08:47 WIB

Bullying Marak, Salah Siapa?

Kasus perundungan yang diberitakan atau diviralkan biasanya yang berat yang menyebabkan cedera fisik berat atau kematian korbannya. Jangan-jangan, kasus-kasus yang diberitakan itu adalah sekadar fenomena gunung es saja. Jika demikian adanya, negeri ini sebenarnya mengalami darurat bullying. Lantas, salah siapa ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perundungan (bullying) semakin marak terjadi, terlebih di kalangan anak dan remaja. Sepanjang Januari hingga Agustus 2023, KPAI mencatat pelanggaran perlindungan anak mencapai 2.355 kasus. Sampai sekarang, hampir tiap hari ada berita terjadinya tindak kekerasan yang berada di kalangan anak dan remaja. Kasus perundungan yang diberitakan atau diviralkan biasanya yang berat yang menyebabkan cedera fisik berat atau kematian korbannya. Jangan-jangan, kasus-kasus yang diberitakan itu adalah sekadar fenomena gunung es. Jika demikian, negeri ini sebenarnya mengalami darurat bullying. Judul tulisan ini tidak mencari kambing hitam: jika fenomenanya demikian siapa yang salah? Sejatinya, melalui tulisan ini, penulis mengajak kita semua untuk berefleksi. Refleksi yang kemudian membangkitkan aksi agar semua orang melakukan usaha preventif agar bullying tidak terjadi atau setidaknya berkurang.

Perundungan merupakan perilaku yang negatif. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), bullying adalah penindasan atau risak (merunduk) yang dilakukan secara sengaja oleh satu orang atau sekelompok yang lebih kuat. Tindakan ini dilakukan terus menerus dengan tujuan untuk menyakiti. Menurut UNICEF, ada tiga karakteristik perilaku bullying, yaitu disengaja, terjadi secara berulang-ulang, atau untuk mendapatkan kekuasaan. Bullying ini bisa dilakukan secara langsung maupun lewat daring (online). Bullying online atau cyber bullying  terjadi melalui media sosial yang memungkinkan adanya interaksi tidak langsung antara pelaku dan korban.

Terjadinya bullying bersifat kausalitas. Ada sebab-sebab yang bisa dirunut. Jadi, ketika anak atau remaja menjadi pelaku bullying, kesalahan tidak lantas semua dibebankan kepadanya. Mengapa ia melakukan bullying? Jangan-jangan, ia tidak sadar atau tidak merasa melakukan kesalahan ketika mem-bully temannya, karena selama ini di rumah atau di masyarakat yang ia hadapi adalah fakta-fakta serupa dilakukan orang dewasa, sehingga apa yang ia lakukan adalah hal yang dianggap wajar.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anak dan remaja menghabiskan waktu hariannya di rumah dan di sekolah. Oleh karena itu, baiklah jika kita merefleksikan rumah tempat tinggal anak dan sekolah tempat anak menghabiskan sebagian waktunya terkait dengan bullying ini. Kedua  tempat ini tentu memiliki peran yang dominan sebagai tempat anak terbentuk karakternya melalui perjumpaannya dengan anggota komunitas.

Dari Rumah

Alkisah di suatu desa ada keluarga yang mempunyai satu orang anak. Keluarga ini tergolong cukup secara ekonomi. Orang tua sangat menyayangi anaknya yang tunggal itu. Semua yang diinginkan anaknya, mereka penuhi. Jika anaknya melakukan perbuatan yang tidak baik, seperti menyiksa binatang peliharaan, berbohong, dan mencuri dibiarkan saja. Bahkan, ketika mencubit, meludahi, memukul, dan berkata-kata kotor pada teman-temannya pun dibiarkan. Justru ketika anak itu menghadapi masalah karena berperilaku buruk pada teman, orang tuanya selalu membela. Intinya, orang tua sangat memanjakan si anak dan over protektif, karena anak itu anak satu-satunya sehingga orang tua takut terjadi apa-apa.

Sampai tumbuh besar, anak itu memiliki karakter yang buruk. Suka mencuri, menganiyaya orang lain, berperilaku tidak senonoh, dan lainnya. Pada suatu ketika, anak ini ditangkap karena melakukan kejahatan yang luar biasa. Ia dihadapkan pada raja untuk diadili. Raja memutuskan untuk menghukum pancung anak ini. Saat waktu hukuman akan dilakukan, raja memberi kesempatan untuk menyampaikan kata-kata terakhir. Ketika itu, si anak menyatakan bahwa ia tidak bersalah. Orang yang seharusnya dihukum adalah orang tuanya, karena sejak kecil membiarkan dirinya melakukan perbuatan yang tidak benar. Ia mengatakan bahwa jika orang tua sejak dulu mengajari perbuatan baik dan melarang dirinya berbuat tidak benar, ia sekarang tidak akan melakukan kejahatan ini. Maka ia minta pada raja, agar kedua orang tuanya pun turut dihukum pancung.

Dari cerita di atas, tergambar jelas bahwa pola asuh yang keliru dari orang tua mengakibatkan anak berkembang  menjadi pribadi yang tidak baik. Orang tua memegang peran penting dalam pembentukan karakter anak-anaknya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa karakter anak merupakan gambaran dari karakter orang tuanya. Orang tua yang temperamen, kasar, dan tak peduli anaknya akan cenderung memiliki sikap yang sama.  Jika di rumah sejak kecil diajari dan dibiasakan melakukan  hal-hal yang baik sesuai norma-norma sosial dan agama berikut sanksi jika melanggar, anak akan memiliki konsep diri dan standar prilaku yang jelas. Dengan demikian, anak akan tahu mana yang baik dan tidak baik, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh.

Selain membiasakan berkomunikasi yang jujur, terbuka dan penuh kasih sayang, orang tua hendaknya mengajari anak-anak untuk bersimpati, berempati, menghargai, dan memiliki sopan santun terhadap sesama. Baik jika orang tua memantau aktivitas anak termasuk aktivitas online mereka. Orang tua hendaknya  mengajari anak bagaimana perilaku yang baik dan benar di dunia maya.

Bisa jadi, kekerasan yang dilakukan anak dan remaja terhadap temannya itu justru belajarnya dari rumah. Banyak anak tiap hari dihadapkan pada perilaku kekerasan yang terjadi di keluarganya.  Umpatan, kata-kata kasar, percekcokan, atau kekerasan fisik biasa terjadi di rumah tempat ia tinggal. Jika demikian anak tentu akan berkembang dengan paradigma yang salah dalam tata pergaulan dengan orang lain. Kemudian, ia juga melakukan perilaku serupa saat berjumpa dengan teman-temannya. Anak dan remaja yang kurang kasih sayang, mengalami tindak kekerasan atau pengabaian di rumah akan menunjukkan perilaku agresif, provokatif, atau bullying ketika bertemu dengan temannya. Menurut PPPA sepanjang 2023 (terakhir dikutip 14 September 2023), total keseluruhan jumlah kasus kekerasan di Indonesia mencapai 18.466 kasus. Dari keseluruhan jumlah kasus, ada 11,324 kasus kekerasan dalam rumah tangga  (KDRT). Jumlah korban dalam kasus KDRT mencapai 12.158 atau tertinggi dibandingkan kategori lainnya. Nah, bagaimana ini?

Data PPA itu selain menimbulkan keprihatinan, juga mengisyaratkan pentingnya pendidikan antikekerasan tidak hanya diberikan untuk anak-anak sekolah, tetapi juga untuk orang dewasa atau orang tua. Dari data PPPA di atas bisa disimpulkan bahwa banyak orang tua yang belum memahami berbagai hal mengenai perilaku kekerasan baik secara sosiologis, psikologis, maupun yuridis. Hal ini tentunya perlu campur tangan dari berbagai elemen mulai dari pemerintah, LSM, tokoh-tokoh agama, dan lainnya yang memiliki kompetensi dan wewenang. Baik jika sekolah juga memiliki agenda rutin untuk mengadakan pertemuan dengan orang tua murid (eduparenting) dan mendatangkan pembicara yang mumpuni tentang anti-bullying ini.

Di Sekolah

Sekolah menjadi tempat yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya bullying. Di sekolah inilah anak-anak bertemu dengan teman-temannya. Di tempat ini, belajar dan praktik bullying sering terjadi. Sepanjang Januari hingga Agustus 2023, KPAI mencatat kasus pelanggaran perlindungan anak mencapai 2.355 kasus. Dari data tersebut, sebanyak 861 kekerasan pada anak terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Dari pemberitaan di media sosial sampai saat ini, kasus ini terus meningkat. Jika pihak sekolah abai dengan adanya perundungan ini, anak-anak sebagai pelaku akan memperoleh peneguhan perilaku mereka untuk melakukan perundungan kepada teman. Kalua demikia, wajarlah jika kasus bullying di sekolah semakin marak.

Saat-saat yang sering terjadi bullying di sekolah yaitu ketika murid-murid  di luar pantauan guru, misalnya pada waktu sebelum mulai pelajaran, jam kosong, jam istirahat, dan saat pulang sekolah. Ketika jam kosong atau guru meninggalkan kelas pada jam pelajaran tanpa ada guru pengganti, murid-murid bisa bebas melakukan apa saja, termasuk mem-bullying temannya. Pelaku bullying di sekolah biasanya mereka yang mempunyai kelompok atau gap. Mereka merasa lebih kuat dan berkuasa sehingga ingin menunjukkan eksistensinya dengan bersama kelompoknya melakukan tindakan intimidatif, kasar, atau penyerangan . Korbannya adalah murid yang dianggap lemah, bodoh, miskin, tidak punya kelompok atau yang dianggap menyinggung atau mengganggu mereka.

Kontrol dan pengawasan yang kurang di sekolah akan berdampak pada besarnya kemungkinan terjadi bullying.  Sekolah hedaknya dengan tegas  mengimplementasikan kebijakan anti-bullying termasuk sanksi untuk pelakunya. Libatkan guru, staf sekolah,  siswa, dan orang tua dalam program pencegahan bullying.  Sekolah membuat program diskusi terbuka dan edukasi tentang tindakan bullying, cara mengatasi, dan melaporkan. Yang lebih utama, sekolah mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan latar belakang, budaya, dan identitas individu. Berilah latihan yang rutin dan konsisten kepada murid-murid dalam mengembangkan keterampilan sosial, seperti komunikasi efektif, negosiasi, dan pengelolaan emosi. Sekolah hendaknya juga mengajari dan memberi contoh pada murid-muridnya tata cara penyelesaian konflik secara positif dan bagaimana membangun relasi yang sehat. Sekolah harus membangun komunikasi yang efektif antara guru, murid, dan orang tua. Upayakan lingkungan sekolah agar  aman dan kondusif. Pastikan guru memberikan teladan perilaku yang baik dan benar pada murid dan seluruh warga sekolah.

Demikianlah, bullying bukan perbuatan yang wajar tetapi merupakan perilaku kejahatan yang melanggar hak asasi manusia dan hukum.  Kita semua  harus memahami dampak buruk dari tindakan bullying. Mari berupaya mengurangi terjadinya bullying di sekitar kita dan berusaha untuk meniadakannya. Kita mulai sekarang juga!

Fabian Satya Rabani, siswa SMA Talenta Bandung

Ikuti tulisan menarik Fabian Satya Rabani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler