x

Sumber ilustrasi: ancient-origins.net

Iklan

Harna Silwati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Senin, 18 Desember 2023 11:38 WIB

Petualangan di Negeri Sihir (Bagian 2)

Di ruang pribadi Raja tiga tubuh terbaring. Beberapa perempuan abdi kerajaan dan pengawal tangguh menjaganya. Seorang laki-laki yang dipanggil Paman berdiri di sebelah kanan Raja. ia menggendong seorang anak kecil berumur setahun. “Kita akan meninggalkan istana dalam waktu singkat,” ucapnya kepada yang hadir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Petualangan di Negeri Sihir

Oleh: Sil

Lanjutan cerita bagian 1

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

     Di ruang pribadi Raja tiga tubuh terbaring. Beberapa perempuan abdi kerajaan dan pengawal tangguh menjaganya.

     Seorang laki-laki yang dipanggil Paman berdiri di sebelah kanan Raja. ia menggendong seorang anak kecil berumur setahun.

     “Kita akan meninggalkan istana dalam waktu singkat,” ucapnya kepada yang hadir.

     Semua yang hadir sedikit terkejut dan saling pandang dalam diam.

     “Semua harus bersiap! Sampaikan berita ini pada yang ingin ikut. Kita akan pindah ke wilayah selatan. Kita akan hidup sebagai petani di sana,” ucapnya dengan nada pelan. Ada raut sedih membias di wajahnya.

     “Sebagian besar warga sudah dipengaruhi Avani sang penyihir. Jadi kita harus pergi sebelum ia sempat menguasai pikiran kita,” jelas paman kembali.

     Semua yang ada di ruangan itu tertunduk diam dan pasrah.

     Beberapa menit, pintu ruangan terbuka. Alya masuk bersimbah keringat. Selendang putihnya terlihat kusut. Ia seperti telah melepas banyak kekuatan menangkal serangan pasukan sihir Avani.

     Semua pandangan tertuju padanya.

     “Paman harus segera berangkat ke selatan! Anak buah Avani sudah membuat kekacauan di beberapa tempat,” ucapnya.

     Ia mengambil anak dalam gendongan Paman. Dipeluk dan diciumnya beberapa kali.

     “Maafkan Ibu, Nak! Ibu akan selalu melindungimu,” ucapnya lembut. Bulir air menetes dari matanya.

     Kemudian ia mendekatkan anak itu pada raja yang sedang terbaring.

     “Ini ayahmu ‘Nak! Kekuatan cinta akan melindungi kalian. Kita akan dipersatukan kembali kelak,” ucapnya di sela tangis.

     Semua yang hadir memandang haru. Paman pun takkuasa menahan air matanya.

     Kemudian ia menyerahkan kembali anak itu pada paman.

     Ia mendekatkan wajahnya pada telinga raja.

     “Maafkan aku, Kanda! Aku terpaksa meninggalkan Kanda sendiri di sini. Aku akan mencari gadis yang akan mematahkan mantra delima yang sudah merasuk dalam tubuh Kanda,” ucapnya lirih.

     Suasana makin haru. Tak ada yang buka suara. Masing-masing menyeka air mata.

     Alya berdiri dan mengeluarkan sesuatu dari balik gaunnya. Seuntai kalung berliontin melati. Di tengah liontin itu terdapat sebutir pecahan permata. Ia mengalungkan liontin itu pada leher putranya.

     “Paman, saya titip Aftar dalam asuhan Paman. Saya akan menyusul ke selatan bila semua sudah saya selesaikan,” ucapnya lagi.

     Semua masih tertunduk diam dalam haru merasuk hati.

     “Paman dan bibi semua, saya ucapkan terima kasih atas kebaikan dan kesetiaan paman dan bibi semua kepada kami. Perpindahan ke selatan ini terpaksa dilakukan untuk ketentraman keluarga paman dan bibi semua. Saya akan mengawal perjalanan semua dengan kekuatan mantra putih,” ucap Alya.

     Alya tertunduk sedih. Ia kembali menatap tubuh raja yang terbaring. Lalu ia mengangkat wajahnya dan kembali berkata:

     “Perjalanan ke selatan memakan waktu beberapa hari. Saya akan mempercepat perjalanan ke sana dengan mantra Lipat Bumi. Jangan lupa bawalah beberapa tanaman melati yang tumbuh di pekarangan istana! Tanamlah di sana. Wilayah selatan akan saya lindungi dengan mantra Lindung Bumi,” ucapnya.

     Semua mengangguk.

     Dari luar jendela seseorang mengintip. Utusan Avani yang mengendap untuk menemukan permata yang dicari. Walau tak dapat mendengar percakapan di ruang itu, tetapi ia melihat bahwa permata itu telah diberikan pada Aftar putra Raja dan Alya.

     ‘Permata itu ada putranya,’ ia berkata pada dirinya sendiri.

     Dari dalam ruangan Alya menyadari bahwa ada yang mengetahui peristiwa ini. Secara reflek ia melepaskan suatu kekuatan dari tangannya  ke arah objek.

     Sang pengintip dengan sigap lompat melayang ke udara meninggalkan tempat itu.

     Alya pun tak kalah cepat. Tubuhnya langsung bergerak memburu sang pengintip sambil berkata lantang:

     “Segera tinggalkan tempat ini sebelum fajar esok pagi, Paman!”

     Ia melesat cepat. Semua yang hadir hanya memandang diam.

     “Marilah kita bersiap diri segera berangkat ke selatan meninggalkan tempat ini,” ucap Paman kepada semua yang ada di tempat itu.

     “Saya akan menunggu kedatangan saudara semua dalam waktu singkat. Beritahu yang lain!” ucap Paman Kembali.

     Mereka semua membubarkan diri.  

*

     Jauh di luar istana Alya terus bergerak melayang mencari orang yang mematainya. Pada jalanan yang sepi ia berhasil menemukan orang yang diburunya. Baru saja ia memegang tangan orang tersebut. Dari belakang Alya sebuah suara terdengar.

     “Lepaskan!” ucap orang itu.

     Alya berbalik arah. “Kau!” ucap Alya.

     “Ya. Lepaskan dia! Aku tahu kautak akan bisa menyakiti dia,” balas orang itu.

     Alya melepaskan orang yang itu.

     “Kautelah menyakiti banyak orang, Avani,” ucap Alya.

     “Aku tidak pernah menyakiti siapa pun Alya. Aku murid yang patuh. Kita tidak dibolehkan melukai dan menyakiti siapa pun, kecuali terpaksa untuk sebuah pembelaan pada kebenaran. Bukankah begitu yang diajarkan pada kita?”

     “Kautelah membuat gaduh di negeri ini. Kautelah membuat penduduk negeri saling adu domba dan menyalahkan satu sama lain,” balas Alya.

     “Itu bukan salahku dan bukan urusanku. Mereka tidak memiliki akal yang jernih untuk membaca dan menilai apa yang mereka lihat. Saya tidak pernah mengotori tangan saya Alya,” ujar Avani.

     “Kaulah yang mengotori pikiran mereka. Kaumemang pandai berdalih. Kaumenawan Raja dan dua pengawalnya dengan mantra delima, apa kaubilang itu tidak menyakiti?” tegas Alya.

     “Aku tidak menyakitinya Alya. Aku hanya membuatnya pingsan dan tidur sampai kaumemberi belahan permata itu padaku,” jawab Avani sedikit melebarkan senyum mengejek.

     “Tidak akan pernah aku berikan padamu. Itu hakku. Kita sudah mendapat bagian yang sama dari guru kita. Dan itu amanat. Amanat harus aku jaga.”

     “Alya. Alya …! Kausangat baik. Aku mengenalmu begitu. Begitu sebaliknya kaumengenal aku. Apa salahnya permata itu kauberikan padaku? Aku akan membebaskan raja dan dua pengawalnya,” kata Avani lagi

     Belum sempat Alya berkata. Dari arah berlawanan laki-laki yang tadi ia buru tiba-tiba menyerangnya. Alya reflek menangkis gerakan orang tersebut dengan kekuatan sihirnya. Pada saat bersamaan Avani juga melepaskan kekuatannya dengan gerakan tangan. Sehingga membuat benturan yang menyebabkan Alya terjatuh.

     Alya bangkit. Avani melepaskan kembali sihirnya. Alya Kembali terjatuh dan taksadar.

     Avani mendekat dan meletakkan tangan dekat tubuh Alya, tetapi perisai melati melindunginya.

Avani ingin mengambil liontin di leher Alya. Sayangnya apa yang ia harapkan tak berhasil.

     “Sial!”

     “Maaf, Bu! Liontin itu ada pada putranya,” ucap orang yang suruhannya itu.

     “Huuuhhhh! Ayo kita tinggalkan tempat ini. Cari anak itu sampai ketemu!”

     Secepat angin mereka kembali melayang meninggalkan tempat itu.

     Suasana makin kelam. Langit sepi dari bintang. Air mulai jatuh satu-satu. Hujan turun tanpa tanda-tanda. Alya membuka mata. Tubuhnya telah basah. Ia Menyusun kekuatannya kembali. Lalu pergi.     

***

Bersambung ... (bagian 2)

Ikuti tulisan menarik Harna Silwati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu