Ketika mendengar kata Stasiun Cisauk, warga Kabupaten Tangerang dan sekitarnya pasti sudah tidak asing dengan nama tersebut. Stasiun yang berada pada jalur kereta api Duri-Rangkasbitung ini sudah ada sejak tahun 1899 dan terus menerus mengalami perkembangan seiring dengan berjalannya waktu. Di dalam kesempatan kali ini, penulis menganalisis mengenai sejarah Stasiun Cisauk sebagai stasiun yang berperan penting untuk melayani masyarakat dalam menggapai Rangkasbitung maupun Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
Singkat cerita, pada 02 Januari 1898, perusahaan kereta api Hindia Belanda, Staatsporwegen (SS) melakukan peresmian jalur kereta api pada lintas Duri hingga Tangerang. Melihat tingginya animo masyarakat untuk keberadaan jalur kereta yang menghubungkan Duri hingga Rangkasbitung, sejumlah stasiun kereta pun dibangun oleh Staatsporwegen. Jarak antara Duri dengan Rangkasbitung adalah sepanjang 76 kilometer, dan terdapat puluhan stasiun yang dibangun sepanjang jalur tersebut, salah satunya adalah Stasiun Cisauk. Stasiun Cisauk terus menerus mengalami perkembangan pada zaman Hindia Belanda, hingga mengalami proses nasionalisasi aset dari Staatsporwegen kepada Djawatan Kereta Api (kini Dirjen Kereta Api).
Sejak didirikan pada tahun 1899 hingga kini, Stasiun Cisauk telah banyak membantu masyarakat sekitar untuk melakukan mobilisasi dengan lebih mudah. Mengingat bahwa Staatsporwegen melakukan pembangunan lanjutan dari Stasiun Rangkasbitung menuju Stasiun Serang (masih aktif) maupun Stasiun Anyer Kidul (nonaktif), keberadaan Stasiun Cisauk telah berhasil membuat orang yang berada pada pesisir Provinsi Banten dapat menjangkau ibu kota, Batavia, dengan lebih mudah.
Hingga saat ini, sejumlah arsitektur pada Stasiun Cisauk masih dipertahankan, seperti keberadaan sebuah arsitektur deco ala Eropa yang diaplikasikan pada jendela rangkap di Stasiun Cisauk. Jendela rangkap ini memiliki model kupu tarung pada sisi luar, tersusun secara vertikal, dan dilapisi oleh bingkai berbahan dasar kayu. Selain itu, di atas tulisan Cisauk, terdapat lubang angin dengan jaluji besi yang masih dipertahankan dan dapat disaksikan sampai dengan saat ini.
Ikuti tulisan menarik Joseph Hiwakari lainnya di sini.