x

Ilustrasi Pulau Misterius. Pixabay.com

Iklan

Harna Silwati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Jumat, 22 Desember 2023 13:37 WIB

Petualangan di Negeri Sihir (Bagian 4)

 Salma menyusun tangkai melati dengan rapi dan mengambil kendi kecil dengan sedikit air di dalamnya. Bunga melati pemberian Nenek ia masukkan ke dalamnya. Sebuah jembangan yang cantik. Bunga itu ia letakkan di atas meja di kamarnya. Berkali ia memandang bunga cantik tersebut. ‘Andaikan istana itu nyata,’ katanya dalam hati sambil tersenyum.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Petualangan di Negeri Sihir

Oleh: Sil

     Salma menyusun tangkai melati dengan rapi dan mengambil kendi kecil dengan sedikit air di dalamnya. Bunga melati pemberian Nenek ia masukkan ke dalamnya. Sebuah jembangan yang cantik. Bunga itu ia letakkan di atas meja di kamarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

     Berkali ia memandang bunga cantik tersebut. ‘Andaikan istana itu nyata,’ katanya dalam hati sambil tersenyum.

     “Semoga nenek tua itu kembali lagi!’ ia berkata sendiri penuh harap.

     Dari luar rumah terdengar kembali suara ketukan. Salma segera keluar dan membuka pintu. Seorang laki-laki tampan telah berdiri di hadapannya.

     “Aftan!” ujar Salma.

     “Maaf. Apa aku mengganggumu?” kata Aftan sedikit terpana memandang Salma.

     “Tidak. Silakan duduk!” balas Salma mempersilakan Aftan duduk di kursi kayu yang ada di selasar rumahnya.

     Aftan tetap berdiri dan tidak memalingkan pandangnya dari Salma.

     “Ada apa? Tidak biasanya kaumemandang aku seperti itu. Aku jadi tak enak. Apa ada yang aneh dengan aku?” kata Salma.

     “Tidak. Kamu terlihat berbeda dari sebelumnya,” jawab Aftan.

     “Berbeda?” Salma meraba wajahnya. “Maksudnya? Kamu jangan menghina aku! Aku akan sangat sedih jika kamu juga ikut menghina aku.”

     “Sungguh aku berkata benar. Wajahmu lebih berseri,” ucap Aftan dengan wajah simpatik pada Salma.

     Dipandang Aftan seperti itu Salma merasa salah tingkah. Ia merasa ada sesuatu yang aneh sedang terjadi.

     “Silakan duduk!” ucap Salma.

     “Saya tidak lama. Hanya ingin mengajakmu pergi. Kamu mau kan?”

     Salma mengangguk, “Tunggu sebentar!” jawab Salma.

     Ia masuk ke rumah dan membiarkan Aftan berdiri depan pintu.

     Sementara Aftan hanya mengusap-ngusap dagu mematung. Ia menangkap ada sesuatu yang terjadi dengan Salma.

     Tak lama Salma muncul dengan mengenakan selendang warna ungu yang ia kalungkan ke lehernya.

      “Ayo!” ajak Salma.

     Aftan yang mematung benar-benar terpana pada Salma. Sungguh tidak pernah selama ini dia melihat Salma secantik ini.

     “Hai! Ayo! Kamu mau ajak aku kemana? Jangan terpana begitu. Aku jadi tak enak dengan pandanganmu,” ucap Salma lagi.

     “Kita jalan saja. Keliling desa. Aku sedang suntuk dan malas melakukan apa pun. Jadi aku ke sini. Mau ajak kamu berbagi cerita,” kata Aftan.

     “Kebiasaanmu begitu!” balas Salma.

     Mereka keluar rumah Salma. Jalan perlahan meninggalkan pekarangan rumah sederhana itu. Mereka sebenarnya adalah sahabat sejak kecil. Di desa itu hanya Aftan yang selalu bersama Salma.

     “Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu,” kata Aftan memecah suasana.

     “Wah! Sepertinya kamu sangat serius.”

     "Ya. Kamu kan teman aku berbagi cerita,” balas Aftan berjalan santai mengulur senyum simpatik.

     Mereka melangkah pelan melewati jalan setapak kampung. Di kiri kanan jalan hanya ditumbuhi bunga-bunga liar yang beraneka warna. Sejuk angin mengiringi langkah mereka.

     Beberapa pasang mata mengarah pandang. Ada yang tersenyum, ada yang mencibir, ada juga yang hanya sekedar menganggukkan kepala. Keadaan seperti itu  sudah biasa terjadi.

     “Mereka bagai pinang dibelah dua. Tapi sayang, belahan pinangnya rusak,”  sebuah suara sumbang dari warga sampai ke telinga Aftan.

     “Kasian Aftan, tampan tapi sukanya sama yang … aneh,” suara cemooh yang lain lagi.

     “Apa mata Aftan itu bermasalah ya? Berteman sama gadis titisan,” suara yang lainnya.

     Aftan yang baik hati tak pernah peduli. Suara-suara seperti itu sudah biasa dia dengar sejak mereka kecil.

     Salma juga tak begitu peduli. Karena memang kenyataannya yang ia hadapi seperti itu. Kadang hatinya sedih dan terluka bila ejekan orang terhadapnya melebihi batas.

     Aftan melirik pandang pada gadis yang sedang bersamanya. Ia tahu hati Salma sedih.

     “Aku tahu kamu sudah biasa mendengar cemoohan seperti itu. Aku tahu kamu kuat,” ucap Aftan lembut meyakinkan.

     Salma hanya senyum. Sesekali ia juga melirik pada Aftan. Senyum terpaksa untuk menutupi luka di hati.

     “Karena kamu kuat, hebat, inisiatif dan cerdas yang membuat aku merasa kamu adalah sahabatku yang baik dari dulu,” ujar Aftan lagi.

     “Ah. Kamu selalu membuat aku terhibur. Sejak dari dulu jika ada yang melontarkan kata yang buruk padaku kamu selalu menenangkan aku,” balas Salma.

     “Orang tuaku mengajarkan untuk selalu berbuat baik pada siapapun. Itulah sebabnya dia tidak pernah melarang aku dekat denganmu. Karena mereka tahu kamu gadis yang baik dan cerdas,” sanjung Aftan.

     Salma hanya tersenyum dan bahagia punya sahabat Aftan.

Mereka kembali diam, sambil terus berjalan. Tak terasa mereka sudah sampai di luar desa. Mereka melewati sungai kecil dan  sawah di antara angin yang meliuk di pucuk pohon. Mereka duduk di sebuah dangau kecil di pinggir sawah.  

     “Ngomong-ngomong, Kamu mau cerita tentang apa?” tanya Salma menikmati suasana.

     “Semalam aku bermimpi aneh,” ujar Aftan menarik napas panjang. Apa yang terjadi dalam mimpi menggenang di kepalanya. Tatap ia lepas jauh-jauh.

     “Mimpi aneh?” Salma penasaran.

     “Ya. Rasanya seperti nyata. Biasanya kita lupa dengan mimpi ketika kita bangun. Tapi ini tidak. Semua melekat jelas dalam pikiranku” jawab Aftan.

     Aftan diam sesaat. Salma masih menunggu cerita Aftan sambil mengibas-ngibas selendang ungunya.

     “Aku melihat sebuah istana tua dan di sekitarnya tumbuh bunga melati yang indah. Yang anehnya di dalam istana itu hanya ada raja dan dua pengawalnya. Istana itu bagai penjara bagi mereka bertiga.  Ia menatapku penuh harap. Seolah mereka bertiga membutuhkan aku. Tapi aku tak bisa menolongnya,” cerita Aftan.

     Salma sedikit kaget mendengar cerita Aftan, sebab dia juga bermimpi tentang istana tua dan bunga melati.

     “Aneh! Kita bermimpi sama. Aku juga melihat istana tua dan bunga melati di sekitarnya dalam mimpiku tadi malam. Sepertinya kita sedang dihadapkan dengan persoalan yang sama,” kata Salma.

     “Jadi ...,” kalimat Aftan terputus.

     “Ya. Walau mimpi kita berbeda latar, tetapi objeknya sama, yaitu istana tua,” Salma memotong kalimat Aftan.

     Angin bertiup lembut. Rambut Salma tergerai indah. Selendangnya terlepas oleh tiupan angin.

Aftan memungutnya. Ia mengalungkan kembali selendang itu ke leher Salma. Ia menangkap sesuatu pada mata Salma. Ada tatap yang berbinar. Ia tak pernah menemukan ini sebelumnya.

     Salma juga menangkap sesuatu pada tatapan Aftan. Pandang yang tak pernah terjadi. Ada sesuatu yang menyelinap dalam perasaan masing-masing.

     “Kau memandang aku aneh hari ini,” kata Salma memecah diam dalam tatapan itu. Walau sebenarnya ia juga sangat suka dengan tatap mata indah itu.

     Aftan hanya tersenyum.

     “Ya. Karena kamu juga mendadak aneh. Tiba-tiba saja aku memandangmu sangat cantik hari ini. Hmmm … jangan … jangan …!” balas Aftan

     “Jangan jangan apa?” sambut Salma tegas.

     “Tidak apa-apa. Hanya saja perasaanku jadi aneh melihat dirimu. Tidak seperti sebelumnya. Terus mimpi kita sama,” jawab Aftan.

     “Ya sudah. Lanjutkan ceritamu!”

     “Aku kehilangan cerita. Aku merasa lebih nyaman bersamamu sekarang,” balas Aftan.

     “Dari dulu kita selalu bersama sebagai sahabat. Kamu nyaman-nyaman saja. Kenapa sekarang bahasamu beda?”

     “Iya. Perasaanku yang dulu dan sekarang beda. Dulu rasa teman, sekarang rasa selalu ingin bersama,” ucap Aftan menggoda.

     “Kok bisa mendadak perasaanmu berubah?”

     “Kamu juga mendadak membuat aku merasa beda dari sebelumnya,” ucapnya melirik pandang kepada Salma dengan senyum, “maaf aku hanya bercanda,”  sambungnya.

     Tak terasa hari semakin sore. Bias cahaya sudah mulai redup.

     “Hari ini waktu terasa begitu cepat berlalu,” imbuh Aftan tak memalingkan pandangnya dari Salma.

     “Ya sudah. Kita pulang. Takut orang tuaku sudah pulang. Aku tak mau dia khawatir karena aku,” balas Salma.

     Sebenarnya Salma juga merasa hari ini berbeda. Ada rasa senang yang tak dapat ia ungkapkan.

     Aftan mengulurkan tangan kepada Salma untuk mengajaknya meninggalkan tempat itu. Pandang mereka kembali bertemu. Tatap penuh makna yang mereka pendam dalam hati masing-masing.

*

     Sore menuju senja mereka sampai di rumah Salma saat orang tuanya sudah di rumah. Aslan ayah Salma dan Jumina sang ibu sedang istirahat duduk santai di selasar rumah.

     Mereka berdua agak sedikit terkejut ketika melihat anaknya Salma sedikit berbeda. Aslan dan Jumina saling pandang dalam tanya.

     Aftan merasa serba salah ketika melihat tatap orang tua Salma memandang tidak biasanya. Dengan sedikit menunduk ia berkata:

     “Maaf Bu, saya tadi ngajak Salma jalan-jalan keliling tanpa izin,”

     "Tidak apa-apa Nak! Bukankah kalian adalah sahabat sejak kecil? Terima kasih sudah menjadi sahabat Salma,” balas Jumina.

      Aftan sedikit masih tertunduk. Sesekali ia melihat pada orang tua Salma.

      “Apa kubilang, orang tuamu juga bingung melihat kamu yang berbeda,” bisik Aftan pada Salma.

      Salma hanya melirik pada Aftan.

      “Ya sudah. Kamu pulang saja. Aku mau masuk. Semua jadi aneh hari ini,” balas Salma.

      Aftan hanya senyum mematung dan pamit pulang.

Salma segera masuk. Sedangkan Aslan dan Jumina hanya saling pandang dalam kebingungan.

***

 

 

                       

                       

 

 

 

  

 

Ikuti tulisan menarik Harna Silwati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu