x

Iklan

Harna Silwati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Minggu, 24 Desember 2023 21:28 WIB

Petualangan di Negeri Sihir

Lanjutan cerita sebelumnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Petualangan di Negeri Sihir

Oleh: Sil

            Salma berdiri di depan cermin. Ia memandang wajahnya, meraba kedua pipinya. Lalu ia melihat ke lengan dan tangannya. Tanpa ia sadari bahwa sudah mulai ada perubahan pada dirinya. Kulitnya terlihat sedikit lebih cerah dari sebelumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Apa yang terjadi dengan dirinya seharian juga jadi tanda tanya dalam pikirannya. Ia  berjalan mondar mandir di ruang tidurnya. Sesekali ia duduk dan mendesah lirih.

            Mimpinya, Nenek yang memberinya bunga melati, lirik mata dan senyum Aftan yang membuat ia merasa beda. Cemoohan orang padanya selama ini. Semua terbayang dalam pikirannya.

            Sesekali ia memandang rangkaian bunga melati pemberian nenek.

            “Apakah istana itu nyata adanya?” ia berkata sendiri. “Ah …! Itu hanya dongeng!” ia menarik napas dalam-dalam.

            “Tapi kenapa Aftan mimpinya sama? Terus kenapa nenek itu menyebutnya juga? Ada apa sebenarnya? Siapa nenek itu sebenarnya? Benar-benar aneh hari ini,” Salma berdialog dengan dirinya sendiri.

             Senyum simpati Aftan mengambang dalam benaknya.

             “Aftan! Apakah aku mulai menyukainya? Tidak … Tidak! Dia adalah sahabatku dari kecil. Duhhhhh! Ada apa dengan diriku? Aftan! Kenapa aku terus membayangkan wajahnya?”

             Malam terus merambah. Salma masih sibuk dengan kebingungannya sendiri.

             Tak lama ia mendengar suara sayup. Salma menajamkan pendengarannya, “Salma … Salma … Salma!” suara itu memanggil namanya, seperti malam sebelumnya.

             “Salma …!” sebuah suara dari arah bunga melati. Ia mendekati bunga melati.

             “Salma …! Suara itu dari arah jendela. Seekor kupu-kupu indah hinggap di tirai jendela.    Ah! Mana mungkin kupu-kupu yang memanggil.

             Di luar jendela suara angin yang menerpa pucuk pohon sedikit menakutkan. Dari bibirnya ia menyebut nama Aftan. Ada kerinduan tiba-tiba pada sahabatnya itu.

             Kupu-kupu terbang dari tirai ke bunga melati di atas meja. Salma memperhatikannya. “Aneh!” lirih dari bibirnya.

             Kantuk berat mulai terasa. Ia merebahkan diri. Kupu-kupu berterbangan. Sebuah istana tiba-tiba terlihat samar. Ruangan itu meluas. Tak ada kamar. Seorang perempuan bermata merah menghampirinya dan melempar sebuah tongkat ke arahnya. Tongkat itu mengenai tubuh Aftan yang tiba-tiba sudah ada di situ. Aftan tersungkur. Perempuan itu langsung menghilang.

            “Aftan!” teriak Salma memegang tubuh Aftan.

            Uppps! Ia terjaga.

           “Ternyata hanya mimpi,” ucapnya lirih. “Aku bermimpi buruk. Ada apa ya?” katanya lagi. Angin mengibas tirai jendela.

*

            Pada waktu yang sama. Di kamarnya, Aftan tak mampu memejamkan mata. Ada gelisah aneh yang menyergap. Dalam pikirannya wajah Salma melintas. Senyumnya. Kepolosannya dan kesedihannya.

           Ahh! Desahnya lirih. “Apa aku mulai menyukainya?” katanya dalam kesendirian.

           “Kenapa hari ini dia tak bisa lepas dari pikiranku? Apakah aku jatuh cinta?” Aftan bertanya pada dirinya sendiri.

           “Ah! Toh kalau aku jatuh cinta juga wajar. Tapi bagaimana dengan Salma sendiri? Apakah dia akan menerima kenyataan itu? Hubungan rasa persahabatan tentu beda dengan hubungan rasa cinta. Sama-sama indah, tapi punya kedudukan yang berbeda di hati,” Aftan juga berdialog dengan dirinya sendiri.

            Ia berdiri membuka jendela yang menghadap ke halaman samping rumah. Di langit bulan separuh sedang tersenyum.

            Aftan mengenang kembali masa-masa manis remaja bersama Salma yang polos tanpa beban, saat di mana semua bersahaja. Salma yang dengan bebas mengadu padanya segala perasaan dan ceritanya.

            Masih segar dalam ingatannya saat  Salma bercerita  tentang hatinya yang selalu disakiti.

            “Orang-orang selalu memandangku rendah. Aku juga tidak mengerti kenapa aku ya,” kata Salma.

            Aftan sering memperhatikan orang-orang yang tak suka dengan Salma. Rasa simpatinya makin dalam.

            “Biarkan saja! Kamu punya aku yang senang hati menjadi bagian dari ceritamu. Yuk ah!” Aftan memegang tangan Salma polos tanpa beban.

            “Terima kasih ya. Kamu selalu baik sama aku,” balas Salma.

            “Kita kan sahabat jadi harus saling menguatkan. Aku tidak suka ada orang yang menganggapmu rendah,” ucap Aftan berjalan di samping Salma.

            Tidak hanya Salma yang mendapat cemoohan. Aftan pun demikian. Ia sering dijauhi karena dianggap suka pada makhluk titisan.

            Kenangan manis bersama Salma terus menari dalam pikiran Aftan. Semua telah berlalu seiring waktu.

            Kini mereka sudah sama-sama dewasa. Rasa suka tumbuh seiring waktu.

            Angin semakin kencang bertiup lembut di luar jendela. Kupu-kupu terbang dan masuk melalui jendela. Kupu-kupu yang indah.

            “Aneh! Ada kupu-kupu malam begini” Aftan berkata sendiri.

            Kupu-kupu itu bertengger di tirai jendela. Aftan membiarkannya. Kantuk berat memanggilnya untuk rebah di atas tempat tidur kayu di kamarnya itu. Seperti antara tidur dan jaga. Ia melihat kupu-kupu itu membelah diri menjadi beberapa bagian. Kamarnya berterbangan kupu-kupu.

            Suasana mendadak berubah. Ia seperti berada di atas hamparan awan. Di kejauhan sebuah istana tampak jelas. Seorang perempuan bermata merah dan dua kawannya sedang memburu Salma dan seorang laki-laki yang tak dikenalnya.

            Perempuan itu melemparkan kayu kepada Salma, spontan ia berteriak: “Jangan!”

            Dia tersentak, “aku hanya mimpi, sudah dua malam aku bermimpi hampir sama. Sebuah istana tua,” ucapnya lirih.

            Ia menarik napas. Wajah Salma membayang dalam pikirannya.

            “Seperti ada sesuatu yang terjadi pada Salma. Satu isyarat,” ucapnya lagi.

            Suasana masih malam. Aftan berdiri dan duduk di atas kursi kayu dekat jendela. Ia pun tidak tidur hingga fajar memanggil.

*

           

           

           

 

Ikuti tulisan menarik Harna Silwati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu