x

Iklan

sucahyo adi swasono

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474
Bergabung Sejak: 26 Maret 2022

Selasa, 30 Januari 2024 10:10 WIB

Ad-Dhuha, Sebuah Penafsiran

Lihatlah apa yang dibicarakan, jangan melihat siapa yang bicara. (Ali bin Abi Thalib)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konsep berpikir dan bersikap ilmiah, selalu berkaitan dengan apa yang dikenal sebagai metodologi, sistematika, analitika, dan objektivitas.

Metodologi (method, thariqat) merupakan ilmu-ilmu atau cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelursuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, bergantung dari realitas yang sedang dikaji. Dengan kata lain, metodologi adalah berbicara tentang “dari mana-mau kemana, latar belakang beserta tujuan”. Sedangkan fungsi metodologi adalah memberikan arah tujuan yang jelas, sehingga menjadi fokus kerja atau berkegiatan untuk pencapaian tujuan agar tidak melebar kemana-mana.

Sistematika (systematica), adalah ilmu yang mempelajari keanekaragaman kehidupan di bumi, baik pada masa lalu maupun sekarang, serta hubungan antara mahluk hidup sepanjang sejarah. Selanjutnya, disebut sebagai kerja sistematis, pada prinsipnya adalah melengkapi kerja metodologi sehingga akan diperoleh sebuah garis maupun road map beserta gambaran konsep yang lebih gamblang dan lengkap.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Analitika (alnlytics), adalah ilmu untuk melakukan analisis logis sebagai penjajakan antara gagasan terhadap kenyataan serta sebagai pembuktian guna memperoleh suatu objektivitas dari suatu kajian (study). Sehingga, beranalitika pada prinsipnya adalah bukan sekedar pada batas berdiskusi, namun harus ada implementasi atau pembuktian dalam kenyataan. Muaranya adalah objekktif yang layak dan pantas berkaidah ilmiah. Dan, itulah yang disebut sebagai objektivitas yang beriringan dan berhimpitan dengan analitika.

Dengan demikian, objektivitas atau objektif dalam keilmuan berarti upaya-upaya untuk menangkap sifat-sifat alamiah (empiris) sebuah objek yang diteliti atau dipelajari dengan suatu cara dimana tidak bergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya.

Keobjektifan pada dasarnya tidak berpihak, dimana sesuatu secara ideal dapat diterima oleh semua pihak, karena pernyataan yang diberikan terhadapnya bukan merupakan hasil dari asumsi (kira-kira), prasangka ataupun nilai-nilai yang dianut oleh subjek tertentu.  

Bila Al-Qur’an dinyatakan sebagai ilmu sebagaimana dalam QS Ar-Rahman (55):2, maka sudah seharusnya isi Al-Qur’an mengandung hal-hal yang ilmiah. Sebagaimana pengertian “ilmiah” adalah sifat dari suatu ilmu yang logis-rasional. Bukan dongeng ataupun mitos.

Di artikel ini, saya mencoba menafsirkan salah satu dari sekian Surat (114 Surat)  yang terdapat di dalam Al-Qur’an, yakni QS Ad-Duha (93). Yakni dalam rangka dan upaya menjawab pertanyaan: “Mengapa harus Dhuha? Ada apa dengan waktu Dhuha? Apa kaitannya dengan shalat Dhuha? Apa Fungsi shalat Dhuha?”

Tentunya, tanpa meninggalkan ataupun lepas dari koridor berkaidah ilmiah dengan variabel penopangnya, yakni metodologi, sistematika, analitika dan objektivitas. Juga dalam frame reference: ”Lihatlah apa yang dibicarakan, jangan melihat siapa yang bicara”, bila tak ingin terjerembab di ranah mitologi yang serba dongeng belaka.

Al-Qur’an dan kaidah ilmiah

Kaidah penafsiran Al-Qur’an secara ilmiah adalah bagian yang terlingkup di dalam teori ilmu. Dimana, metodologi merupakan dasar penafsiran yang memberikan arah dan kerangka berpikir. Sedangkan sistematika merupakan yang melengkapi kerangka berpikir sehingga menjadi gambaran yang lebih jelas. Dan, analitika yang berlanjut pada objektivitas adalah suatu kesimpulan sebagai pembuktian terhadap benar tidaknya suatu penafsiran.

Metodologi Al-Qur’an dapatlah diurai sebagai berikut :

A. Metodologi

Ibarat dalam segi tiga sama sisi dengan notasi ABC, dimana A adalah di puncak segi tiga, sedangkan B dan C pada posisi (titik) yang ditarik secara horizontal, maka:

  • Sudut A = Allah (Ar-Rahman); Sudut B = Pasti Alam (Sosial-Budaya); Sudut C = Mukmin
  • QS Ar-Rahman (55):1-3; QS Ar-Rum (30):30 
  • Sisi A = Sisi B = Sisi C
  • Proses Pembangunan Iman = Penciptaan Manusia/Penciptaan Alam = Pembangunan Madinah.

Di ranah ilmu naturalis, metodologi dimaknai sebagai latar belakang yang mengarah pada tujuan sebuah karya ilmiah. Dan yang mejadi pembeda adalah bahwa ilmu naturalis tidak mengenal peran Allah (Tuhan), dimana ilmu adalah reflek dari objek penelitian. Sehingga tidak ada peran Tuhan, ilmuwan naturalis bebas menentukan tujuan, menjual dan menggunakan ilmu untuk kepentingan pribadinya.

Lihat, QS Al-Maidah (5):31, yang esensinya adalah bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan menciptakan ilmu. Semua ilmu adalah dari Tuhan semata.

Jikalau Al-Qur’an adalah pedoman untuk menuju dan mewujudkan kehidupan Jannah, maka dapatlah diilustrasikan sebagaimana berikut ini:

  • Al-Qur’an adalah pedoman untuk menghantarkan mukmin dari kondisi Dzulumat menuju Nur/Jannah.
  • Metode Al-Qur’an: kerangka berpikir bahwa ayat-ayat Al-Qur’an merupakan pedoman dari Allah untuk manusia, yakni garis strategi-taktik serta tatanan Jannah.
  • Pedoman mewujudkan Jannah meliputi:
  1. Garis Iman/strategi-taktik perwujudan Nur = proses penciptaan tubuh manusia.
  2. Konsep Madinah/Jannah = Kaljasadi (sistem anatomi dan fisiologi tubuh manusia.
  1. Garis Iman (Shirathal Mustaqim)

Terdiri dari Garis Proses Perjuangan yang berisi Sami'na dan Atha'na yang saling terkait dan tak terpisah, dimana pada esensinya adalah proses melepaskan diri dari kungkungan kondisi Dzulumat menuju dan mencapai kondisi Nur.

Pada posisi Sami'na terdiri dari:

  • Tahap Rattil (Study), yakni perumusan strategi dan konsep Madinah
  • Tahap Shalat, yakni pembangunan Iman dan Bahtera (Madinah).

 

Sedangkan pada posisi Atha'na terdiri dari:

  • Tahap Hijrah, yakni tahap menjalankan Bahtera (Madinah)
  • Tahap ekspansi (pengembangan), yakni tahap Madinah menjadi tatanan dunia (Islam).

Kemudian, garis proses perjuangan Sami'na dan Atha'na dengan sendirinya akan berujung pada:

  • Isra' Mi'raj, yakni siap konsep dan strategi perwujudan Madinah
  • Hijrah, yakni tatanan siap difungsikan, Bahtera siapa berlayar
  • Fathu Mekkah (Haji), yakni Madinah sempurna, dan siap menjadi tatanan dunia.

Proses pembinaannya terdiri dari:

  • Garis pembinaan Iman (Islam), yakni mulai dari Syahadad => Shalat => Puasa - Zakat => Haji
  • Garis penciptaan manusia, yakni mulai dari Thin-Sulalah => Nutfah-Idhoman => Khalqan => Mahluk Sosial Budaya. (QS Al-Mu'minun (23):12-14)

Beriringan atau pararel dengan jalannya Garis Zahaqal Bathil, yakni:
Persiapan kehancuran sistem Dzulumat ==>> Proses penghancuran sistem Dzulumat. (QS Ar-Rum (30):1-4)

Rancangan Allah/Makarullah:

Garis Iman/Ja’al Haq ==>> Garis Pembangunan/Pembinaan (Perilaku) Islam/Iman = Garis Pembangunan Tatanan (Madinah/Dinullah) = Proses Penciptaan Manusia ==>> Pararel dengan Garis Zahaqal Bathil (penghancuran sistem Dzulumat/sistem Bathil).

  1. Konsep Madinah/Kaljasadi Wahid

Berbagai Sistem dalam Organisasi Kaljasadi:

  • Sistem Pemerintahan
  • Sistem Ekonomi (produksi - distribusi - konsumsi)
  • Sistem Hukum
  • Sistem Hankam
  • Sistem Pendidikan
  • dan lain-lain.

 Struktur Organsasi Kaljasadi:

  • Kepala ==>> Kantor Pusat
  • Tubuh ==>> Kawasan Industri dan Distribusi Barang
  • Tangan - Kaki ==>> Kawasan Usaha Produksi Masyarakat.

B. Sistematika

Kerja sistematika melengkapi kerja metodologi sehingga akan diperoleh sebuah Garis Iman (road map) Jannah dan gambaran konsep Jannah yang lebih gamblang dan lengkap.

Semua sistematika Al-Qur’an (sistematika surat, ayat, umum, dan lain-lain) harus mengarah/menguatkan pemahaman Garis Iman dan konsep Madinah, termasuk gambaran tentang bencana besar/kehancuran sistem Dzulumat (Zahaqal Bathil).

1) Sistematika Garis Iman

Adalah klasifikasi ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan garis (strategi) perwujudan Dinullah.

Ayat-ayat tentang tahapan Sami’na:

  • Tahap rattil (study)/syahadad, adalah ayat-ayat/surat yang menjelaskan kondisi pada tahapan rattil (study).
  • Tahap pembangunan Madinah (shalat), adalah ayat-ayat/surat yang menjelaskan kondisi pada tahapan Shalat.   

Ayat-ayat tentang tahapan Atha'na:

  • Tahap Hijrah ke Madinah (Puasa - Zakat), adalah ayat-ayat/surat yang menjelaskan kondisi pada tahapan Madinah.
  • Tahap menata dunia (Haji), adalah ayat-ayat/surat yang menjelaskan tentang pengembangan Madinah menjadi tatanan dunia.

2) Sistematika Konsep Penataan Madinah (Dinul Islam)

a. Klasifikasi ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan struktur organisasi Madinah (Dinul Islam).
b. Klasifikasi ayat-ayat Al-Qur’an tentang sistem/berbagai aturan dalam Madinah (Dinul Islam). 

3) Sistematika Tentang Terjadinya Bencana Besar/Hancurnya Sistem Dzulumat, adalah klasifikasi ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan terjadinya bencana besar dan hancurnya sistem Dzulumat.

C. Analitika – Objektivitas

Al-Qur’an bukan sekedar untuk didiskusikan, namun harus diimplementasikan/dibuktikan ke dalam kenyataan.

Konsep Madinah dan garis strategi perwujudannya ibarat gambar peta di atas kertas. Tidak nampak jalan menanjak (QS Al-Balad (90):11), berkelok-kelok, berlobang, dan lain-lain. Kondisi objektif Al-Qur’an hanya diperoleh dengan implementasi/pembuktian.

Metodologi Surat Ad-Dhuha

Wadh-dhuhaa (1)
Wal-laili izaa sajaa (2)

Gambaran proses perjuangan Rasulullah dari awal (Dhuha = awal siang hari) hingga akhir (malam hari):

Sami'na:

  • Tahap Rattil, adalah perumusan strategi dan konsep Madinah.
  • Tahap Shalat, adalah pembangunan Iman dan Bahtera.

Atha'na:

  • Tahap Hijrah, adalah tahapan menjalankan Bahtera.
  • Tahap Haji, adalah tahapan pengembangan Madinah menjadi tatanan dunia (Islam).

Maka esensi Surat Ad-Dhuha adalah kondisi periode awal pergerakan.

Sistematika Ad-Dhuha

  • Pandangan Umum: ayat 1-2
  • Penjabaran/Uraian: ayat 3-8
  • Kesimpulan           : ayat 9-11.

Mengapa harus Dhuha? Ada apa dengan waktu Dhuha? Apa kaitannya dengan shalat Dhuha? Apa fungsi shalat Dhuha?

Ayat-ayat Penjelasan

Maa wadda’aka rabbuka wa maa qalaa (3)

  • Perjuangan dihadapkan pada tantangan yang cukup berat, hampir putus asa (terutama di awal pergerakan), terkesan seolah-olah Tuhan meninggalkan dan membenci kita (padahal Allah selalu menyertai perjuangan para rasul-Nya).

Wa lal-aakhiratu khairul laka minal-ulaa (4)

  • Hasil akhir perjuangan di jalan Allah itu lebih indah dari permulaan.

Wa lasaufa yu’thika rabbuka fa tardhaa (5)

Allah akan memberikan karunia-Nya hingga sesuai dengan harapan para rasul.

A lam yajidka yatimang fa aawaa (6)

  • Dari kondisi yatim (berjuang sendiri) hingga Allah memberikan perlindungan dalam bentuk kelompok (jamaah) pendukung. Semakin mendekati tujuan akhir perjuangan, semakin banyak dan luas jamaah pendukungnya.

Wa wajadaka dhaalang fa hadaa (7)

  • Dari proses awal tidak tahu apa yang harus dilakukan (tersesat) hingga Allah memberikan petunjuk yang jelas.

Wa wajadaka ‘aaa-ilang fa aghnaa (8)

  • Dari yang penuh keterbatasan, hingga Allah memberikan kecukupan (materi, ilmu/skill, pengalaman, dan lain-lain).

Analitika-Objektivitas  dan Ayat-ayat Kesimpulan

Fa ammal-yatiima fa laa taq-har (9)

  • Maka terhadap sosok yatim, janganlah dipaksakan sesuatu yang tidak sesuai kemampuannya (qahar  => pemaksaan).

Wa ammas-saaa-ila fa laa tan-har (10)

  • Terhadap yang kekurangan (masih lemah), jangan dipatahkan (nahar è hardik, tumbang, hancur).

Wa amma bini’mati rabbika fa haddits (11)

  • Dan, terhadap karunia Allah harus disyiarkan.

Pelajaran Surat Ad-Dhuha

Semua rasul melakukan proses perjuangan mewujudkan tatanan Allah, perjuangan dengan tantangan yang sangat berat, penuh liku-liku, dan dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi.

Sebagai manusia rasul juga dihadapkan pada kerisauan, keputusasaan karena beratnya masalah yang dihadapi terutama pada awal-awal pergerakan (Dhuha) sebagai titik yang paling rawan, ketika kondisi para rasul masih lemah. Sehingga Rasulullah sempat berprasangka seolah-olah Allah telah meninggalkannya. Padahal, bimbingan (karunia) Allah selalu menyertai perjuangan para rasul-Nya.

Sehingga kita juga harus memperlakukan para mukmin baru yang masih lemah. Bukan malah dengan merendahkannya, dengan cara-cara yang keras dan tidak mendidik. Sebaliknya, harus dibimbing dengan penuh perhatian dan kesabaran sebagaimana Allah membimbing para Rasul dengan karunia-Nya.

Oleh karena itu karunia (bimbingan) Allah dari awal proses hingga lahir karya yang ideal, harus disyiarkan.

Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia Nusantara ....

*****

Kota Malang, Januari di hari kedua puluh sembilan, Dua Ribu Dua Puluh Empat.

Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu

Terpopuler