x

Iklan

Ariadne Khatarina Moniaga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 27 September 2022

Selasa, 27 Februari 2024 20:02 WIB

Perjalanan RRI: Sejarah, Tantangan, dan Masa Depannya)*

Namun, seiring zaman, radio mulai ditinggalkan karena masyarakat mulai beralih pada media baru yang sangat berkaitan erat dengan internet dan gawai. Lalu, bagaimana nasib radio di Indonesia? Apakah selama 10 tahun ke depan, radio Indonesia akan bertahan? Bagaimana sejarah radio di Indonesia?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai salah satu bagian dari media massa, radio memiliki peran yang sanga penting dalam menyampaikan informasi. Jangkauannya yang luas serta tidak memerlukan koneksi internet yang stabil membuat radio masih menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat. Selain itu, radio memiliki nilai historis yang tinggi karena perkembangannya sangat melekat erat dengan sejarah perjuangan rakyat Indonesia serta perkembangan kebudayaan dan kesenian nasional. Namun, seiring zaman, radio mulai ditinggalkan karena masyarakat mulai beralih pada media baru yang sangat berkaitan erat dengan internet dan gawai.

Lalu, bagaimana nasib radio di Indonesia? Apakah selama 10 tahun ke depan, radio Indonesia akan bertahan? Bagaimana sejarah radio di Indonesia? Berikut pembahasannya:

Sejarah Radio Republik Indonesia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Radio Republik Indonesia (RRI) didirikan pada 11 September 1945. Sejarah berdirinya RRI sangat berkaitan erat dengan masa penjajahan Belanda dan Jepang.

Pada 16 Juni 1925, Bataviase Radio Vereniging (BRV) menjadi stasiun radio pertama yang melakukan siaran di Batavia. BRV didukung oleh para wartawan dan pengusaha Belanda yang membuatnya memiliki tujuan komersil, yaitu untuk propaganda perusahaan dan perdagangan. Stasiun radio ini menggunakan bahasa Belanda dan tempat siarannya terletak di Hotel des Indes, Harmoni. Pendirian BRV sendiri dilakukan untuk mengobarkan kesadaran radio dikalangan masyarakat sehingga pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tertarik dan memenuhi syarat untuk mendirikan stasiun radionya sendiri.

Semenjak BRV memulai siarannya, banyak stasiun-stasiun radio lain yang bermunculan seperti Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapyj (NIROM), Solossche Radio Vereniging (SRV), Mataramse Verniging Voor Radio Omroep (MAVRO), Verniging Oosterse Radio Luisteraars (VORL), Chineese en Inheemse Radio Luisteraas Vereniging Oost Java (CIRVO), dan Eerste Madiunse Radio Omroep (EMRO). Seluruh lembaga radio ini berstatus swasta, tetapi ada satu stasiun yang didukung penuh oleh pemerintah Belanda, yaitu NIROM.

NIROM menjadi stasiun radio yang terbesar dan terlengkap karena juga mendapatkan profit dari “pajak radio”. “Pajak radio” adalah keuntungan yang didapatkan dari setiap pesawat radio NIROM yang ada di masyarakat. Semakin banyak pesawat radio dikalangan masyarakat, maka semakin banyak uang yang diterima oleh NIROM. Keuntungan tersebut digunakan untuk meningkatkan daya pancarnya, mengadakan stasiun-stasiun relay, mengadakan sambungan telepon khusus dengan kota-kota besar, dan lain-lain. Hal inilah yang semakin mengukuhkan posisi NIROM sebagai stasiun radio terlaris pada saat itu.

Kesuksesan NIROM yang didukung oleh pemerintah Hindia Belanda berbanding terbalik dengan badan-badan radio yang bersifat swasta. Kelangsungan hidup radio-radio tersebut sangat bergantung pada iuran dari para anggota. Namun, hal ini tidak menciutkan semangat juang rakyat Indonesia. Mereka sadar bahwa NIROM membantu pemerintah Hindia Belanda untuk semakin memperkuat posisinya sebagai penjajah. Oleh karena itu, rakyat Indonesia sangat bertekad untuk mendirikan stasiun radionya sendiri.

Tekad tersebut menjadi nyata. Pada 1 April 1933, Mangkunegoro VII dan Ir. Sasmito Mangunkusumo mendirikan Solosche Radio Vereniging (SRV). Berdirinya SRV mendorong lahirnya stasiun radio lokal lainnya, seperti MARVO, VORL, CIRVO, dan EMRO. Awalnya, kelima stasiun radio ini dibantu oleh NIROM, namun seiring berjalannya waktu, NIROM mulai khawatir dengan kehadiran stasiun radio tersebut.

Pada tahun 1936, muncul sebuah berita yang mengatakan bahwa NIROM akan mencabut subsidinya dari stasiun-stasiun radio lokal dan mengambil alih seluruh lini siaran. Berita ini mengejutkan seluruh pihak karena pencabutan subsidi tersebut akan melemahkan stasiun-stasiun radio tadi. Menanggapi pencabutan ini, pada 29 Maret 1937, diadakan sebuah pertemuan yang mengumpulkan beberapa wakil dari beberapa stasiun radio, seperti VORO, VORL, MAVRO, SRV, dan CIRCO. Pertemuan ini diprakarsai oleh anggota Volksraad, M. Sutarjo Kartokusumo dan Ir. Sasmito Mangunkusumo. Pertemuan para perwakilan radio ini melahirkan sebuah badan baru, yaitu Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) yang diketuai oleh M. Sutarjo Kartokusumo. Tujuan utama PPRK adalah untuk memajukan kesenian dan kebudayaan nasional guna memajukan masyarakat Indonesia secara rohani dan jasmani. PPRK mengadakan siaran perdananya pada 1 November 1940.

Pada masa penjajahan Jepang, seluruh stasiun radio yang bersifat swasta diberhentikan oleh pemerintah Jepang. Sebagai gantinya, seluruh stasiun radio tersebut berada dalam naungan Hoso Kanri Kyoku sebagai pusat siaran radio yang bertempat di Jakarta. Cabang-cabangnya dinamakan Hoso Kyoku yang terdapat di Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang. Setiap Hoso Kyoku memiliki kantor cabang bernama Shodanso yang menjadi tempat reparasi pesawat radio di tingkat kabupaten. Pada saat itu, rakyat hanya dapat mendengarkan kedelapan Hoso Kyoku tadi karena mereka dilarang untuk mendengarkan radio siaran luar negeri. Walaupun demikian, kesenian dan kebudayaan Indonesia berkembang pesat pada era ini karena pemerintahan Jepang sangat mendukung pemberdayaan kesenian lokal.

Jepang juga menggunakan radio sebagai senjata pemikat pertama untuk menarik perhatian rakyat Indonesia. Setiap pukul 22.00, rakyat Indonesia akan berkumpul di rumah yang memiliki pesawat radio untuk mendengarkan siaran Radio Tokyo. Mereka terenyuh dengan siaran propaganda yang diluncurkan oleh para penyiarnya. Penyiarnya mampu menciptakan suasana Indonesia merdeka sehingga rakyat akhirnya berpikir bahwa kedatangan tentara Jepang di Indonesia merupakan secercah harapan bagi mereka untuk dapat merdeka. Oleh karena itu, Jepang dapat dengan begitu mudah mengambil alih wilayah Indonesia dari jajahan Belanda.

Semasa kedudukannya, Jepang terus menggunakan radio sebagai sarana untuk menyebarkan propaganda secara terstruktur. Mereka terus menyampaikan pesan bahwa Jepang akan menjadi penyelamat rakyat Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, Jepang yang posisinya semakin terdesak di Perang Dunia II membuat jaringan radionya juga melemah.

Pada 19 Agustus 1945, siaran Hoso Kyoku dihentikan. Masyarakat menjadi buta akan informasi dan tidak tahu harus melakukan apa setelah Indonesia merdeka. Apalagi, terembus kabar dari radio luar negeri bahwa tentara Inggris akan menduduki Jawa dan Sumatra. Mereka akan melucuti senjata tentara Jepang dan menjaga keamanan sampai pemerintahan Belanda dapat kembali menjalankan kekuasaannya di Indonesia. Ternyata, sekutu masih mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia. Selain itu, kerajaan Belanda juga akan mendirikan pemerintahan bernama Netherlands Indie Civil Administration (NICA).

Menanggapi kabar tersebut, beberapa tokoh yang pernah aktif di radio sebelumnya menyadari bahwa radio dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dan memberi tuntunan kepada rakyat mengenai apa yang harus dilakukan oleh mereka. Pada 11 September 1945, wakil dari kedelapan radio Hosu Kyoku berkumpul dan mengadakan pertemuan bersama pemerintah di gedung Raad Van Indje Pejambon, Jakarta. Adapun perwakilan radio yang mengikuti pertemuan tersebut adalah Abdulrachman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarmadi, Sudomomarto, Harto, dan Maladi.

Sebagai ketua delegasi, Abdulrachman Saleh mengimbau pemerintah untuk mendirikan radio sebagai alat komunikasi dengan rakyat. Radio dipilih karena mampu menyampaikan informasi dengan lebih cepat dan tidak mudah terputus saat pertempuran. Mereka juga menyarankan agar pemerintah menuntut Jepang untuk memberikan studio dan pemancar-pemancar radio Hoso Kyoku. Namun, pemerintah merasa keberatan dengan usul tersebut. Para delegasi akhirnya mengambil sikap dengan meneruskan rencana mereka sambil memperhitungkan risiko peperangan.

Pada akhir pertemuan, pemerintah menetapkan pembentukan Persatuan Radio Republik Indonesia sebagai alat komunikasi pemerintah dengan rakyat. Abdulrachman Saleh pun ditetapkan sebagai ketua RRI yang pertama. Selain itu, tanggal 11 September selanjutnya diperingati sebagai hari berdirinya RRI sekaligus Hari Radio Nasional.

Masa Depan RRI Selama 10 Tahun ke Depan

Sejarah panjang pembentukkan RRI memang menjadi dasar yang menguatkan pondasinya. Dengan semboyan ‘Sekali di Udara, Tetap di Udara’, RRI sangat berprinsip bahwa mereka akan terus mengudara dan tidak akan berhenti untuk memberikan informasi dan hiburan kepada masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti pada bagaimana RRI di masa kini yang terus melakukan inovasi dan adaptasi dengan teknologi.

Pada bulan Maret 2023, saya berkesempatan untuk mengunjungi kantor pusat RRI yang terletak di samping Mahkamah Konstitusi. Di sana, saya bersama teman-teman saya diperkenalkan dengan aplikasi RRI Play Go, sebuah aplikasi yang menjadi pusat siaran RRI dari seluruh Indonesia. Dengan aplikasi tersebut, masyarakat dapat mendengarkan siaran RRI di luar wilayahnya tanpa perlu bersusah payah mencari frekuensinya. Semuanya menggunakan sistem streaming. Selain itu, masyarakat dapat membaca artikel berita yang ditulis oleh para penyiar RRI. Tak hanya itu, masyarakat juga dapat menonton berbagai tayangan yang menghibur dan edukatif dengan pilihan topik yang beragam, mulai dari kebudayaan, kesenian, olahraga dan lain-lain.

Adaptasi yang dilakukan oleh RRI menjadi bukti bahwa RRI akan terus berjuang dan bertahan sebagai lembaga radio nasional ditengah gempuran media baru, seperti siniar, aplikasi pemutar musik, dan lain sebagainya. Dalam jangka waktu 10 tahun dari sekarang, saya membayangkan bahwa RRI akan tetap melakukan siaran, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Pada saat sekarang ini saja, sudah jarang sekali orang yang mendengarkan radio dalam keseharian mereka. Sekalinya mendengar, ya hanya untuk teman menyetir. Oleh karena itu, aplikasi RRI Play Go perlu terus untuk dikembangkan agar bisa terus mengikuti tren yang ada.

Selain itu, RRI perlu membuat program kerja yang sesuai dengan karakteristik masyarakat, mulai dari sekarang sampai 10 tahun ke depan. Masyarakat Indonesia akan didominasi oleh generasi Z yang sangat melek dengan dunia digital dan memiliki mobilitas tinggi. Oleh karena itu, RRI perlu untuk membuat program atau kegiatan yang sangat bersentuhan dengan dunia digital agar mereka bisa terus menemani masyarakatnya yang memiliki mobilitas tinggi.

Selain program, RRI juga perlu meningkatkan interaksinya dengan masyarakat yang dapat dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya, dengan membuat akun media sosial. Akun media sosial ini dapat digunakan sebagai sarana personal maupun corporate branding dari RRI itu sendiri. RRI dapat mengunggah berbagai konten yang memiliki ciri khas RRI, namun mengikuti tren. Dengan begitu, masyarakat akan dengan mudah melirik RRI dan menempatkannya di top of mind mereka. Selain itu, peningkatan interaksi akan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengungkapkan berbagai keinginannya terhadap RRI. RRI pun harus peka terhadap usulan masyarakat dan terus bergerak mengikuti audiensnya. Dengan begitu, eksistensi RRI sampai 10 tahun ke depan akan terjaga.

*Artikel ini merupakan tugas mata kuliah Produksi Program Audio dari program studi Produksi Media Politeknik Tempo. Adapun, mata kuliah ini diampu oleh Rachma Tri Widuri, S.Sos., M.Si.

Ikuti tulisan menarik Ariadne Khatarina Moniaga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu