x

Pesawat tempur Eurofighter Typhoon. jeunes-ailes.org

Iklan

Aryobimo Bharadian Ariputro

Pegiat Maritim Universitas Pertahanan RI
Bergabung Sejak: 3 Mei 2024

Minggu, 5 Mei 2024 09:30 WIB

Ujicoba Kapal Induk Baru China, Saatnya Angkatan Laut Mengudara?

{enting bagi Indonesia memperkuat keamanan maritim dan udaranya untuk memastikan respons cepat terhadap pelanggaran. Apalagi ketegangan regional sedang meningkat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konflik antar negara di Laut China Selatan semakin hari semakin memanas, klaim demi klaim dilakukan baik oleh China maupun negara lainnya di ASEAN (Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei). Negara-negara di ASEAN selalu menyuarakan agar China menghargai hukum laut internasional dan kebebasan bernavigasi diwilayah laut china Selatan. Akan tetapi china terus memperjuangkan apa yang diyakini dengan tujuan untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

China melakukan klaim di Laut China Selatan berdasarkan peta yang dirilis pemerintahan Kuomintang pada tahun 1947 yang menampilkan Sembilan garis putus putus (Nine Dash Line). Klaim itu didasarkan pada aspek historis china berdasarkan aktivitas eksplorasi, navigasi, dan administrasi di pulau sekitar Laut China Selatan yang sudah mereka lakukan sejak dinasti Han sekitar 2000 tahun yang lalu.  Segala klaim tersebut mereka buktikan dengan dokumen perjalanan, dan perjanjian tertentu yang menurut mereka telah memvalidasi secara klaim mereka secara hukum dan historis.

Tentunya dunia internasional bereaksi dengan keras atas klaim China ini, hal ini disebabkan karena China tidak mengindahkan hasil konvensi hukum laut internasional yang diselenggarakan oleh PBB yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Pada tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag memutuskan bahwa klaim China berdasarkan garis sembilan putus tidak memiliki dasar hukum menurut UNCLOS. Putusan ini secara resmi ditolak oleh China, yang menyatakan bahwa mereka tidak mengakui atau tidak menerima putusan tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Posisi Indonesia sebagai negara yang tidak memiliki klaim teritorial di Laut China Selatan (Non-Claimant State) tidak boleh menjadikan tensi pengawasan Indonesia melemah di kawasan tersebut. Pelanggaran demi pelanggaran dilakukan oleh china melalui nelayan militannya yang didampingi oleh Coast Guard mereka di area perairan Natuna Utara yang masuk sebagai wilayah Yurisdiksi atau wilayah Hak Berdaulat Indonesia.  Banyak kejadian yang terjadi dimana nelayan Indonesia diusir Ketika sedang mencari ikan di perairan Natuna Utara yang masih merupakan wilayah ZEE Indonesia baik oleh nelayan China dengan kapal yang lebih besar maupun oleh Coast Guard China itu sendiri.

Ekskalasi konflik diarea ini terus terjadi mulai dari bentrok antar Coast Guard dimana terakhir terjadi pada Selasa (30 April 2024) antara Coast Guard Filipina dengan Coast Guard China di wilayah Scarborough Shoal dimana tentunya hal ini meningkatkan tensi hubungan antara China dan Filipina di Laut China Selatan. Tahun lalu filipina baru saja mengizinkan Amerika Serikat untuk membuka empat pangkalan militernya di filipina dibawah US Indo-Pacific Command dalam perjanjian Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) antara Amerika Serikat dengan Filipina. Hal ini diinterpretasikan sebagai usaha Amerika Serikat untuk menegaskan kehadirannya di Laut China Selatan, juga untuk mengontrol situasi dimana posisi pangkalan yang dibuka berdekatan dengan Taiwan yang selama ini bekerjasama dengan Amerika Serikat.

Tidak ketinggalan china juga terus melakukan peremajaan dan peningkatan kekuatan armada militernya terutama armada yang esensial dalam memantapkan posisinya di Laut China Selatan. Salah satunya adalah pengembangan kapal induk kelas Fujian yang pada Rabu (1 Mei 2024) lalu menjalani uji coba keandalan dan stabilitas sistem propulsi dan tenaga listrik kapal induknya. Kapal induk ini berbobot 80 ribu metrik ton yang Ketika selesai nanti akan menjadi kapal induk terbesar yang dimiliki china. Dimana pembangunan Fujian merupakan upaya Presiden Xi Jinping untuk memproyeksikan kekuatan militernya jauh dari daratan utama China dimana yang terdekat dan terhangat adalah konflik di Laut China Selatan.

Beberapa tokoh baik dari dalam maupun luar negeri mengisyaratkan bahwa jika konflik ini terus berlarut terjadi ditambah meningkatnya gelar pasukan militer baik China, Amerika, dan negara berkonflik lainnya tidak menutup kemungkinan akan memicu perang dunia ke-3 yang Medan perang utamanya terjadi di wilayah Laut China Selatan. Jika hal ini terjadi, Indonesia besar kemungkinan akan terdampak walaupun berposisi sebagai negara Non-Claimant State. Kemudian apa yang harus Indonesia lakukan untuk mempersiapkan diri terhadap scenario terburuk?

Sejauh ini Indonesia melakukan Patroli kawasan dan pengamanan di wilayah natuna utara dengan manurunkan armada baik KRI dari TNI-AL maupun KN dari Bakamla. Apakah itu cukup? Jelas belum dalam sebuah wawancara di MABES AL pada Rabu (23 Maret 2022) Laksamana Yudho Margono yang waktu itu masih menjabat sebagai KASAL menjabarkan bahwa capaian TNI-AL terhadap target Minimum Essential Force (MEF) tahap III tahun 2020-2024 yang telah ditentukan baru mencapai 60%. Dimana MEF ini merupakan kriteria minimal agar terlaksananya efektivitas tugas pokok dan fungsi TNI dalam menghadapi ancaman nyata seperti di Laut China Selatan.

V22-Osprey

Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan penguatan dan peningkatan satuan penerbang di lingkungan Angkatan Laut. Jika berbicara mengenai Patroli kawasan maritim memang Patroli menggunakan KRI dapat memberikan kehadiran fisik dan kemampuan tempur yang cukup untuk “mengusir” ancaman diwilayah natuna utara. Akan tetapi hal itu sejalan juga dengan biaya operasional yang tinggi dan waktu tempuh yang lama sehingga Ketika ada suatu kejadian yang memerlukan respon cepat tidak dapat segara direspon oleh Patroli laut KRI.

Peningkatan kemampuan satuan penerbang Angkatan laut merupakan suatu hal yang esensial jika melihat praktik dilapangan yang sering terjadinya pelanggaran wilayah hak berdaulat di Natuna Utara yang memerlukan Quick Response. Kemudian dapat dibuat skema dengan KRI bertindak sebagai tim “pemukul” yang membawa gelar persenjataan lengkap, dimana KRI-KRI ini ditempatkan di lokasi paling strategis untuk mengcover seluruh wilayah hak berdaulat Indonesia yang sering terjadi pelanggaran wilayah. Jadi Patroli akan dilakukan berkala oleh Pesawat Intai Maritim dan eksekusi akan dilakukan oleh KRI terdekat.

Akan lebih baik kemudian Ketika TNI-AL memiliki Skuadron Penerbang Tempur yang mengoperasikan pesawat Tempur Multirole Combat Aircraft. Dimana kekurangan dari Patroli udara seperti tidak ada kehadiran fisik dan tidak memiliki bargaining dalam gelar senjata menjadi terselesaikan. Skuadron ini dapat ditempatkan di area terluar dan rawan konflik maritim di lokasi yang jauh dari jangkauan. Dan jangka panjangnya memang yang terbaik untuk memberikan kehadiran negara dan armada pemukul cepat (Quick Response) adalah dengan pengadaan Kapal Induk untuk Indonesia dimana Indonesia merupakan negara kepulauan terluas di dunia yang memerlukan “kehadiran” negara di kawasan kawasan rawan konfliknya.

Efektivitas patroli udara maritim dan laut sangat bergantung pada tujuan spesifik dari patroli tersebut. Patroli udara sangat efektif untuk pengawasan cepat dan luas, sedangkan patroli laut lebih cocok untuk operasi yang membutuhkan interaksi langsung dan keberadaan jangka panjang. Idealnya, kombinasi dari keduanya memberikan cakupan yang paling komprehensif dalam pengawasan maritim dan penegakan hukum di laut.

Dalam kasus konflik di Laut China Selatan dan kemungkinan eskalasi konfliknya, Indonesia perlu dan wajib untuk meningkatkan kekuatan terutama dilaut. Dilain pihak sebagai negara maritim dan negara kepulauan Indonesia harus memiliki bargaining power setidaknya jika skenario terburuk terjadi dampaknya tidak akan begitu besar mempengaruhi stabilitas Indonesia. Demi mencapai tujuan itu peningkatan paling esensial dalam waktu dekat adalah pemanfaatan skema patroli udara maritim dengan KRI sebagai “Satuan Pemukul” yang disiagakan dititik paling efektif di kawasan tersebut. Kemudian pembentukan skuadron tempur laut dan pengadaan kapal induk bagi TNI-AL merupakan rencana jangka panjang yang perlu direncanakan dan dijalankan dengan serius.

Ikuti tulisan menarik Aryobimo Bharadian Ariputro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler