Neokanibalisme

Rabu, 21 Agustus 2024 08:43 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Panorama cerpen, imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.\xd\xd

Langit luas itu, ada, banyak angin sepoi-sepoi, ada badai, ada awan badai kumulus, di balik mendung ada panas, demikian pula sebaliknya, ada hujan ada panas-jadi embun, ada api ada asap, ada angin puting beliung, datang-pergi, kapan saja di mana saja. Ada bencana, ada keberuntungan, perilaku ada dua kan, baik-buruk, jelek-cakep, kiri-kanan, seolah-olah saling melengkapi. Apa benar begitu? Enggak tau deh, mungkin, tergantung pada perintah dari syaraf otak di kepala makhluk hidup-manusia.

Sepintas selalu terlihat ringan, serupa iklan minuman ringan. Serupa pula dengan beragam istilah di dalamnya mengandung atau terkandung arti, inheren tujuannya dari kerangka pemikiran atau desain. Mau ke Pasar baru naik angkot, karena suatu hal akhirnya naik taksi. Mau beli baju jadi beli ember. Mau beli ember jadi beli mobil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kita tak sekadar kata-kata."
"Lantas? Terdiri dari kalimatkalimat."
"Bisa dibilang begitu."
"Laiknya potensi politik ceriwis."

"Nah serupa tapi tak mirip."
"Oh! Sloganisme asal bunyi maksudnya."
"Hampir mirip tapi bukan."
"Serupa ketika berebut cinta."

"Nyaris, tapi sedikit hampir mendekati."
"Tak bisa dibilang miripkan atau hampir serupa."
"Kurang lebihnya begitu."
"Mencintai atau dicintai."

"Tergantung situasi ruang waktu."
"Oh! Abstraksi! Benarkan." Bertendensi meyakinkan.
"Loh kok malah belok jauh banget."
"Yakin dugaanku salah?" 

Pengaruh pada perilaku makhluk hidup tergantung pada siklus atau pola ketika itu, langsung-maupun tak langsung, waktu lampau, disadari atau tidak, terlihat tidak-namun disadari, hingga titik kulminasi tertentu-jadi keputusan, memutuskan, untuk membeli atau menjual. Mungkin, karena, makhluk hidup punya database, program natural, tekno-sains natural-di otak, berisi sejumlah sel eksak tak terhingga.

Ada berbagai ilmu, semisal, psikoanalisis, arsitektur, ilmu-ilmu sosial-merupakan ilmu temuan ras-manusia, pun berdasar pada hal sains-tekno natural, alias, sains-tekno ilahi-makhluk hidup hanya mampu sampai pada kelas meniru-tiruannya saja. Antara lain contoh ringan, hand phone, hidup dari frekuensi-gravitasi (natural), siapa pembuat sains-tekno natural itu? Apakah makhluk hidup sekelas ras-manusia? Bener nih, mampu membuat frekuensi dan gravitasi? Yakin bisa?

"Destruktif."
"Jangan asal berkata-kata."
"Deforestasi."
"Sssst! Bisu sebentar bisakan."

"Ogah banget."
"Pembalakan ekosistem."
"Pembakaran hutan."
"Sssst! Nanti dicatat satelit loh."

"Keismean kemodernan kasih tak sampai."
"Bisa banjir bandang loh."
"Pemicu megatrust terjadi lebih cepat."
"Simfoni ekologi fales."

"Lempar batu sembunyi tangan."
"Bola meleset tak mencapai gol."
"Berkelit lintang pukang."
"Petak umpet siang bolong."

Mungkin, itu sebabnya pula, ilmu dari hasil meniru-ilmu manusia bersifat dualisme, ada manfaat-ada mudarat, positif-negatif, oleh sebab-akibat, manusia hanya mampu meniru. Sains-tekno ilahi, hanya mengenal kesimbangan, seratus persen unsur mencipta, penciptaan, baik-benar (eksak natural). Bukan bersifat destruktif-nuklir.

Hasil serapan manusia tergantung pada, apapun, jawabannya, ada, pada otak personal makhluk hidup-manusia. Kalau dunia manusia mengenal kalimat, 'mau kemana, mau jadi apa', dalam arena siklus serapannya-terolah di sel-sel otak personalnya. Kalau di dunia binatang, hamba tidak tahu.

"Politisasi plastik."
"Imitasi kosakata."
"Absurditas perilaku."
"Transparansi abal-abal."

"Sssst! Mau aku bungkam."
"Neokonspirasi sepia."
"Kelabu ungu muda perilaku asal goblek."
"Mental gorengan dong."

"Monolog podium abal-abal."
"Kurang rajin menghapal."
"Tak mengenal seni akting."
"Melodrama episode Ungu."

"Kemarau terbilang hujan."
"Sebaliknya pun demikian."
"Hujan panas meradang sekam."
"bisik-bisik di satelit. Iyau."

Contoh lagi nih, semisal, makhluk hidup sekelas manusia, memilih kata 'Neo', untuk bertahan hidup, inheren untuk makan-minum, lantas memilih, semisal, 'Neokanibalisme', ini lebih berbahaya dari, isme, apapun.

Neokanibalisme-bersifat adaptif, bahkan bisa jadi superbunglon atau marmut, semisal, contoh lagi nih, pada ranah watak koruptif, pada oknum ras-manusia tertentu, tak pernah habis di makan zaman, di benua manapun. Sila buktikan sendiri, sebab ini 'analisis cerpen autodidak dari trotoar', bukan kelas akademis atau laboratorium. Salam Indonesia Keren. Negeri para sahabat.

"Cus! Bablas!"
"Jos! Raib gigantis."
"Gigit jari deh."
"Langit bengong. 

"Oh!"
"Walah!" 

***

Jakarta Indonesiana, Agustus 21, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kolaborasi

2 hari lalu

Baca Juga











Artikel Terpopuler