Pemimpin Ghosting, Jadi Teringat Lagunya Dewa

Rabu, 4 September 2024 11:28 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kritik adalah konsekuensi yang melekat pada diri pemimpin. Bila pemimpin merespon kritik dengan ghosting, kasihan kan masyarakatnya?

Oleh: Dian Basuki

Kamu seperti hantu

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terus menghantuiku...

Tatkala ramai berita tentang ‘(meng)hilangnya’ seorang (calon) pemimpin, baris pertama lirik lagu grup musik Dewa itu tiba-tiba terlintas di benak walaupun tidak sepenuhnya klop. Calon pemimpin ini mendadak hilang atau lebih tepat menghilangkan diri, sehingga tidak keliru bila aksinya disebut sebagai ghosting—menghilang tiba-tiba bagai hantu.

Hilang dan menghilang punya pengertian konotatif yang berbeda. Kalau hilang, boleh jadi ia diculik oleh sekawanan penculik yang lazimnya kemudian meminta sejumlah tebusan uang atau mengajukan tuntutan kepada pihak tertentu yang terkait dengan orang yang hilang. Kalau menghilang, mungkin saja ia seorang pesulap yang sedang memamerkan kepiawaiannya lenyap dari hadapan penonton yang kemudian kebingungan dan bertanya-tanya: ada di mana ya dia?

Siapapun yang ingin menjadi pemimpin masyarakat mesti siap dengan segala konsekuensinya, salah satunya ialah menjadi sorotan publik. Bila sorotan masyarakat itu memancarkan rasa kagum dan pujian, siapapun—apalagi pemimpin masa sekarang yang butuh menjaga popularitas—biasanya akan semakin sering tampil di muka publik. Ia akan sering menyapa untuk mendengarkan suara-suara pujian. Pokoknya, sepanjang panggung sosialnya beraroma wangi, ia akan kerap menampakkan wajah di hadapan umum.

Sebaliknya, jika kritik berdatangan secara bertubi-tubi, tak setiap calon pemimpin sanggup bersikap tegar saat mendengarkan atau membacanya di media massa maupun media sosial. Walau kritik media massa masih dipagari oleh kaidah dan tata krama jurnalisme, sehingga jurnalis tidak bisa menulis sesuka-suka dia, namun sengatan kritik pers cenderung membikin duduk tak lagi nyaman dan makan tak lagi enak.

Apalagi jika kritiknya muncul di media sosial. Begitu mudah viral bila isunya menarik bagai magnet, segala ragam kritik lantas tak terbendung dan bisa lari kemana-mana. Istilah ‘lari kemana-mana’ itu merujuk pada fenomena bahwa masyarakat kemudian mencari tahu lebih jauh segala sesuatu yang terkait dengan calon pemimpin itu. Sebuah peristiwa yang dibicarakan luas oleh publik berpotensi menjadi titik tolak untuk menelusuri lebih jauh seluk-beluk sosok beliau. Publik akan mencari tahu “ada apa lagi nih”.

Itulah konsekuensi yang dihadapi orang yang berhasrat memimpin masyarakat. Pepatah lama menyebutkan: “Semakin tinggi pohon, semakin kencang anginnya”. Tapi, jika pohon itu berakar dalam di tanah dan tumbuh alamiah hingga tinggi, maka seberapapun kencang tiupan angin, pohon itu akan tetap kokoh berdiri. Sebaliknya, jika pohon itu tiba-tiba saja menjulang karena pupuknya ditambah karbit, pohon itu akan mudah tumbang. Prinsip ini alamiah belaka, sesuatu yang lumrah dan semua orang memahaminya.

Nah, jika pohon menjulang tiba-tiba karena dipupuk secara berlebihan apa lagi memakai karbit (meledak gak sih?), respon yang muncul dari calon pemimpin seperti ini ya semacam ghosting itulah. Harap malkum. >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

img-content
Lihat semua