Waspadai Tanda-tanda Kebangkitan Dwifungsi ABRI

Sabtu, 5 Oktober 2024 09:24 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pasukan TNI Penjaga Perdamaian PBB
Iklan

Isu Dwifungsi ABRI terus mencuat. Respons publik sangat tegas dan menolak wacana tersebut. Dwifungsi ABRI adalah salah satu tragedi bagi masa depan demokrasi Indonesia.

Oleh Arman Ramadhan

Reformasi dan proses demokratisasi di Indonesia telah terjadi dan berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Namun, reformasi dan demokratisasi di Indonesia tidak selalu berjalan mulus - selalu saja ada upaya-upaya untuk menghancurkan semangat reformasi dan memukul mundur jalannya proses demokratisasi. Kita dapat melihatnya paling tidak selama dua periode di bawah pemerintahan Presiden Jokowi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Presiden Jokowi memang bukanlah sosok yang berasal dari “kekuatan lama” di masa lalu. Selain itu, dia juga bukan sosok yang memiliki potongan diktator atau tokoh yang memiliki catatan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Singkatnya, di awal-awal kemunculannya, dia selalu mencitrakan dirinya sebagai sosok yang reformis dan setia pada demokrasi. Namun, justru kenyataannya berbanding terbalik dengan citra yang ditampilkan di media-media.

Di bawah pemerintahannya, ada banyak kerusakan demokrasi yang terjadi di beberapa sektor. Seperti diantaranya dalam sektor pemberantasan korupsi, kebebasan berpendapat maupun ekspresi yang berujung pada banyaknya kasus kriminalisasi terhadap para aktivis, mencuatnya politik dinasti, hingga pelanggaran HAM yang terus terjadi di berbagai tempat. Akibatnya, indeks demokrasi di Indonesia terus menurun dan berada di titik nadir.

Berdasarkan data dari Freedom House, indeks demokrasi Indonesia menurun dari 62 poin di 2019 menjadi 53 poin pada 2023. Di samping itu, ada data dari The Economist Intelligence Unit yang menyatakan bahwa demokrasi Indonesia masuk ke dalam kategori flawed democracy atau demokrasi yang cacat. Rendahnya indeks demokrasi di Indonesia tidak diikuti oleh pembenahan yang riil oleh Pemerintah. Alih-alih berefleksi, justru Pemerintah terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan atau regulasi yang membahayakan demokrasi.

Salah satu diantaranya ialah terkait wacana diperbolehkannya anggota TNI/Polri aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil di pemerintahan. Hal ini berawal dari RPP Manajemen ASN yang memperbolehkan TNI/Polri menduduki jabatan sipil.

Lebih lanjut, ada juga upaya untuk melakukan revisi UU TNI yang di mana, lagi-lagi, ada banyak pasal-pasal problematik. Kedua wacana tersebut mendapatkan banyak penolakan dan kritik dari kalangan masyarakat sipil. Aturan tersebut dianggap dapat membangkitkan Dwifungsi ABRI seperti zaman Orde Baru.

Jika aturan tersebut terwujud tentu tidak sejalan dengan agenda reformasi 1998, yang dimana salah satu agendanya ialah pencabutan dwifungsi ABRI. Ini merupakan contoh lain dari pelemahan dan pengingkaran terhadap semangat reformasi 1998 dan juga proses demokratisasi di Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Jokowi. Lalu, apa sebenarnya itu Dwifungsi ABRI? Bagaimana sejarah dan konsepnya?

Dwifungsi ABRI : Sejarah & Konsepnya

Konsep dwifungsi ABRI pertama kali diperkenalkan oleh Jenderal A.H Nasution dengan istilah Jalan Tengah. Konsep tersebut menjabarkan bahwa kelompok militer bukan hanya sebagai alat pemerintahan sipil, seperti yang lazim ditemukan di negara-negara Barat ataupun sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan sosial-politik. Akan tetapi, menurut pandangan Nasution, kelompok militer harus menjadi kekuatan sosial yang bekerja sama erat dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya.

Konsep Jalan Tengah ala Jenderal Nasution inilah kemudian dikongkritkan sebagai Dwifungsi, konsep yang menguraikan fungsi dan peran militer, baik sebagai kekuatan militer maupun sebagai kekuatan sosial-politik. Kemudian, konsep tersebut terus diperkenalkan dalam sejumlah seminar yang diadakan oleh Angkatan Darat pada tahun 1965 sampai dengan 1967 untuk memperkenalkan peran militer di bidang politik, ekonomi, masyarakat, hingga teknologi.

Lebih lanjut, konsep Dwifungsi dikukuhkan di tahun 1982 saat pemerintah mulai memberlakukan UU No.20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Nasional. Pada akhirnya, Dwifungsi telah diterima sebagai suatu realitas politik saat itu. Kelompok militer telah memiliki peran dominan dalam kancah perpolitikan nasional. Mereka menduduki jabatan-jabatan strategis, diantaranya seperti gubernur, bupati, wali kota, duta besar. Selain itu, mereka juga memiliki perwakilan di parlemen dengan nama Fraksi ABRI.

Keberadaan kelompok militer atau ABRI sangat penting untuk menopang kekuasaan rezim otoriter Orde Baru. Selama kepemimpinan rezim Orba, terdapat banyak sekali penyalahgunaan atau penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok militer, sehingga berujung pada maraknya kasus pelanggaran HAM berat. Hingga saat ini, masih banyak dari keluarga korban yang pelanggaran HAM berat yang menuntut keadilan. Pada saat yang bersamaan, para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu justru terbebas dari hukuman yang berarti.

Di samping itu, banyak sekali persoalan-persoalan sipil yang diselesaikan dengan cara-cara atau pendekatan militeristik. Sebenarnya, kebijakan Dwifungsi ABRI juga merugikan kelompok militer tersendiri. Hal ini dikarenakan mereka tidak dapat menjalankan “fitrahnya” secara optimal sebagai kelompok yang bertanggungjawab dalam pertahanan Negara. Mereka disibukkan dengan hal-hal diranah sipil dan politik nasional. Tak hanya itu, terkadang mereka juga “disibukkan” dengan kepentingan-kepentingan mereka dalam bidang ekonomi dan bisnis.

Hingga akhirnya, setelah berkuasa hampir dari 3 dekade, kekuasaan rezim otoriter Orde Baru berhasil dilengserkan. Secara perlahan, pengaruh dan dominasi militer dalam perpolitikan nasional dikurangi. Penghapusan dwifungsi ABRI juga menjadi salah satu tuntutan dari agenda reformasi 1998. Sebagai tindaklanjutnya, Presiden Gus Dur juga turut memisahkan TNI-Polri melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000. Tepat di 2004, kelompok militer menghapus perwakilannya sama sekali di parlemen.

 Tanda Bangkitnya Dwifungsi ABRI?

26 tahun Reformasi tidak membuat bangsa Indonesia kapok dan belajar dari kesalahan masa lalu. Reformasi juga tidak membuat Indonesia terbebas dari bayang-bayang otoritarianisme. Kemudian, satu per satu agenda reformasi kian dikhianati dan tidak menjadi komitmen bersama dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dimulai dari pelemahan terhadap agenda pemberantasan korupsi dengan melakukan revisi UU KPK di 2019 lalu. Lalu, terkait diperbolehkannya TNI/Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil melalui RPP Manajemen ASN maupun revis UU TNI seperti yang dikatakan sebelumnya. Aturan tersebut tentu menuai kritik dan kecaman dari koalisi masyarakat sipil. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah mendengarkan keresahan-keresahan dari masyarakat.

Sebenarnya, jauh sebelum polemik kedua aturan tersebut, Ombudsman menemukan terdapat 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Di samping itu, ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat. Kemudian, juga terdapat sejumlah statement dari berbagai tokoh yang dapat mengarah pada “bangkitnya” dwifungsi ABRI seperti di Orde Baru.

Kita harus kembali menghidupkan dan merawat ingatan kolektif bersama bahwa reformasi dan demokrasi yang dapat dirasakan hari ini merupakan perjuangan politik dari kelompok pro demokrasi. Selain itu, reformasi dan demokrasi yang diraih harus memakan banyak korban. Ada aktivis pro-demokrasi yang meninggal, luka, dan hilang.

Terkadang, sebagai sebuah bangsa, kita benar-benar tak pandai dalam merawat dan menghidupkan memori luka di masa lalu. Alih-alih pandai, justru kita pandir dalam hal tersebut. Seolah-olah apa yang telah terjadi dalam situasi saat ini merupakan dinamika politik yang normal dan biasa saja, padahal tidak demikian.

 Jadi, jangan sampai perjuangan meraih demokrasi di Indonesia menjadi sia-sia belaka. Menjaga demokrasi merupakan tanggung jawab semua pihak. Tidak bisa hanya mengandalkan kesadaran dan kekuatan dari masyarakat sipil belaka.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Arman Ramadhan

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler