Kajian Ekologi Manusia: Peran Alam dalam Membentuk Sejarah Umat Manusia

Rabu, 6 November 2024 07:48 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kajian ekologi manusia adalah disiplin yang mengeksplorasi interaksi kompleks antara manusia dan lingkungan alam mereka. Ini mencakup berbagai aspek, mulai dari cara manusia memanfaatkan sumber daya alam hingga dampak aktivitas manusia terhadap ekosistem bumi. Tujuan dari kajian ini adalah untuk memahami hubungan timbal balik antara manusia dengan alam, serta bagaimana hubungan ini dipengaruhi oleh dinamika ekologis dan sosial.

***

Sebelum masuk ke dalam pembahasan ekologi manusia yang sedikit lebih dalam, saya ingin mencoba merefleksikan diri dari berbagai macam literatur filsafat, yang pada masa lampau para filsuf tercatat memiliki banyak sekali renungan-renungan pertanyaan tentang alam ini. Memang pada dasarnya, Filsafat Yunani itu pertama kali adalah bagaimana mereka merenungkan tentang pertanyaan-pertanyaan tentang alam (physis), misalnya Thales dari Miletus (sekitar 624-546 SM), yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang kita lihat merupakan bentuk dari air.

Lalu kemudian menyusul pikiran-pikiran alternatif, bahwa alam ini pada dasarnya adalah udara, api atau tanah. Masing-masing dari unsur tersebut (dan juga air) diperlukan untuk kehidupan, sehinga teori yang muncul kemudian memutuskan bahwa keempat elemen inilah yang mendasari alam semesta.

Kemudian alam ini bagi Empedokles (sekitar 490-430 SM) dijelaskan sebagai bentuk persatuan yang disebabkan oleh cinta dan perpecahan yang disebabkan oleh kebencian. Berikut secara ringkas, beberapa filsuf (Pra-Socrates) berpendapat soal alam: 

1. Herakleitos (sekitar 535-475 SM), berpikir bahwa alam berubah secara terus-menerus, sehingga kita tidak bisa mengetahuinya. 

2. Anaxagoras (sekitar 510-428 SM), mengemukakan bahwa pentingnya pikiran dalam fondasi alam. 

3. Demokritos (sekitar 460-370 SM), mengusulkan bahwa segala sesuatu (bahkan pikiran) terbuat dari atom, yang mengarah kepada fisikalisme modern. 

4. Parmenides (sekitar 515 SM), memulai metafisika ketika dia bertanya-tanya tentang eksistensi itu sendiri (being) dan berpendapat bahwa perubahan-perubahan yang tampaknya terjadi di alam adalah ilusi. 

5. Pythagoras (sekitar 570-495 SM), terpesona oleh rasio numerik yang terdapat di alam dan menyimpulkan bahwa dasarnya adalah matematika, karena eksistensi murni dan matematika hanya diketahui oleh rasio (bukan oleh pengalaman indrawi), yang memulai pemikiran rasionalis. 

Para filosof (Pra Socrates) tersebut tidak menyangkal bahwa alam tampaknya menjadi sumber dari semua kebenaran, dan pengontrol kehidupan manusia. Tetapi ada sebagian yang lain dari para filosof tersebut pemberontakan dan memutuskan bahwa sebagian besar kebenaran dan urusan manusia hanyalah soal aturan dan kesepakatan (Nomos).

Debat Nomos-Physis ini telah memulai tema besar dalam filsafat: "Apakah kita menemukannya ataukah kita menciptakannya?". Perdebatan ini sangatlah panjang sampai kepada kita masih belum jelas sampai sejauh mana matematika, logika, moralitas, hukum alam, dan semua yang kita anggap pengetahuan adalah fakta atau ciptaan manusia. 

Alam Sebagai Pengontrol Manusia dan Manusia Menjaga Alam 

Dari sini kita dapat ketahui bahwa, secara filosofis masih banyak sekali perdebatan yang sangat panjang terkait dengan apakah alam yang mempengaruhi kita ataukah sebaliknya ?, tetapi yang jelas adalah bahwa para filsuf tersebut (Pra-Socrates) bahwa alam ini juga memiliki peran sebagai pengontrol manusia.

Sekarang kita coba garis-bawahi kata "pengontrol manusia", kira-kira dalam hal apa kata pengontrol manusia itu bisa disematkan ?. Kita akan sedikit mempersempit kajian ini kepada ekologi manusia. Yang sudah disinggung di pembukaan artikel, bahwa ekologi manusia adalah kajian yang berfokus kepada interaksi kompleks antara manusia dengan lingkungannya. Kata pengontrol ini bisa disematkan kepada sebuah bentuk interaksi antara manusia dengan lingkungannya, dalam hal membangun peradaban.

Kita bisa lihat sejarah panjang peradaban manusia di masa lampau yang sangat bergantung kepada alam, seperti bertani, beternak, berburu dan lain sebagainya, yang terkadang beberapa dari mereka dulu sering kali berpindah-pindah (nomaden) untuk mencari sumber daya yang baru. Sehingga interaksi antara manusia dengan lingkungannya atau alam berlangsung sangat panjang bahkan sampai saat ini.

Peri-kehidupan manusia dan keberlanjutannya sangatlah bergantung kepada alam. Manusia tidak akan dapat hidup di alam yang rusak atau yang tercemar, karena kondisi alam yang rusak selain dapat mengganggu peri-kehidupan dan keberlanjutan, juga dapat mengganggu kesehatan manusia, rusaknya fungsi-fungsi organ tubuh (penyakit menular, keracunan, terpapar bahan kimia, dan lain sebagainya). Maka dari itu, kontrol ini atau interaksi ini haruslah dijaga, bahkan kita pun sesama manusia harus bisa menjaga interaksi dengan sesama manusia, apalagi dengan alam. 

Peran Alam Dalam Membentuk Sejarah Manusia 

Dalam prosesnya, ketika mereka membangun peradaban selama ribuan tahun lamanya dengan mencari, mengumpulkan serta memanfaatkan sumber daya yang ada, mereka juga membangun sebuah adaptasi baru (adaptive) dan ketahanan yang baru (resilience) untuk bisa menyesuaikan dengan tempat mereka menetap, sehingga mereka tidak terus-menerus berpindah-pindah (nomaden). Konsep adaptasi baru dan ketahanan baru ini memungkinkan mereka untuk dapat mengembangkan sebuah pengetahuan yang baru yang dapat mereka gunakan secara terus-menerus, kemudian berubah menjadi sebuah kebudayaan.

Manusia dalam proses panjangnya ini, membangun juga sebuah sistem, seperti sistem hukum, nilai-nilai, konsep, norma yang dapat menyatukan mereka dengan lingkungannya. Dengan sistem ini juga, selain mereka gunakan untuk kepentingan mereka dalam memanfaatkan alam, juga mereka gunakan sebagai penjaga bagi alam itu sendiri, sehingga fungsi kontrol itu yang ada pada alam bisa tetap berjalan sebagaimana mestinya dan manusia lah yang berperan agar fungsi kontrol itu tidak hilang. Karena jika alam itu tidak dijaga, maka fungsi kontrol itu sebagai bentuk komunikasi interaksi dengan manusia juga akan ikut hilang. Jika alam itu rusak sekaligus hilang, maka peradaban manusia pasti akan musnah, jadi jangan sampai kita meremehkan permasalahan terkait dengan alam ini. 

Jika kita kembali kepada konsep ekologi manusia sebelumnya, ada tiga aspek yang bisa kita lihat interaksi antara manusia dengan lingkungannya, yaitu

1. Aspek biotik mencakup semua makhluk hidup dalam ekosistem, termasuk manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme. Interaksi dengan komponen biotik sangat penting dalam menentukan dinamika suatu ekosistem, misalnya memperoleh makanan, beternak, bertani, dan lain sebagainya),

2. Aspek abiotik mencakup komponen non-hidup dalam lingkungan yang mempengaruhi kehidupan makhluk hidup, misalnya pemanfaatan material, alat-alat, mengelola sumber air, dan lain sebagainya),

3. Aspek kultural dalam ekologi manusia mencakup cara hidup, hukum, nilai-nilai, tradisi atau kebudayaan, ideologi dan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat. 

Ketiga aspek ini, biotik, abiotik, dan kultural saling berinteraksi  satu dengan yang lain dalam membentuk peradaban umat manusia, baik pada masa lampau maupun masa kini (zaman modern). Pemahaman yang mendalam tentang hubungan ini sangat penting untuk pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan untuk menjaga keseimbangan ekosistem di tengah tekanan dari aktivitas manusia. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Feryl Ilyasa

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler