Sejarah Kota Pekanbaru: dari Senapelan hingga Metropolitan

Selasa, 24 Desember 2024 16:49 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Foto Pekanbaru Tempo Dulu
Iklan

Pekanbaru berkembang dari pemukiman kecil menjadi pusat perdagangan, ekonomi, dan budaya Melayu. Dengan sejarah panjang, kota ini kini menjadi metropolitan modern yang kaya akan tradisi, infrastruktur, serta sumber daya alam.

***

Kota Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau, merupakan salah satu kota yang kaya akan sejarah dan budaya. Terletak di tepi Sungai Siak, kota ini memiliki perjalanan panjang yang menjadikannya pusat perdagangan, kebudayaan, dan ekonomi di Pulau Sumatra.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Awal Mula Kota Pekanbaru

Pada mulanya, Pekanbaru dikenal sebagai Senapelan, sebuah pemukiman kecil yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Daerah ini memiliki letak strategis di tepi Sungai Siak, yang menjadi jalur penting untuk transportasi dan perdagangan. Sultan Siak memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaan ke wilayah ini demi memaksimalkan potensi ekonomi dan perdagangan.

Asal Usul Nama Pekanbaru

Nama “Pekanbaru” berasal dari kata “pekan” yang berarti pasar dan “baru” yang berarti baru. Pada 23 Juni 1784, Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah mendirikan pasar baru di wilayah ini untuk menggantikan pasar lama. Pasar ini segera menjadi pusat perdagangan yang ramai, sehingga nama “Pekanbaru” digunakan secara luas untuk menyebut kawasan tersebut.

Keputusan nama Pekanbaru diambil dalam musyawarah datuk-datuk empat suku yang meliputi wilayah pesisir, Limapuluh, Tanah Datar, dan Kampar. Lalu tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi kota ini.

Peran Penting di Era Kolonial

Pada masa penjajahan Belanda, Pekanbaru menjadi salah satu jalur perdagangan utama di wilayah Sumatra. Sungai Siak, yang merupakan jalur air terdalam di Indonesia, menjadi akses strategis untuk transportasi barang, seperti karet, kopi, tembakau, dan hasil bumi lainnya.

Belanda memanfaatkan letak geografis ini dengan membangun infrastruktur penting, termasuk pelabuhan, gudang penyimpanan, dan jalur kereta api yang menghubungkan Pekanbaru dengan wilayah sekitarnya.

Salah satu proyek besar Belanda adalah pembangunan jalur kereta api Pekanbaru-Muaro yang dirancang untuk mengangkut hasil tambang dan perkebunan. Namun, proyek ini juga diwarnai kisah kelam kerja paksa romusha yang menyebabkan banyak korban jiwa.

Di masa itu, Pekanbaru berkembang menjadi pusat perdagangan yang ramai dan menjadi bagian penting dalam perekonomian kolonial Belanda.

Status di Masa Penjajahan

Pada masa kolonial Belanda Pekanbaru menjadi bagian dari Kesultanan Siak sesuai ketentuan dalam Besluit van Het Inlandsch Zelfbestuur van Siak No. 1 tanggal 19 Oktober 1919. Kemudian, pada 1 Mei 1932, melalui Staatsblad Tahun 1932 Nomor 135, Pekanbaru dimasukkan ke dalam wilayah Onderafdeeling Kampar Kiri dan dijadikan sebagai ibu kota distrik tersebut di bawah kendali seorang kontrolir.

Selanjutnya, mulai 1 Januari 1941, sesuai Staatsblad Tahun 1940 Nomor 565, Pekanbaru dimasukkan ke dalam wilayah Residentie Riouw (Keresidenan Riau) setelah sebelumnya berada di bawah Residentie Oostkust van Sumatra (Keresidenan Sumatra Timur). Saat masa pendudukan Jepang, Pekanbaru menjadi ibu kota Rio Shū yang dikepalai oleh seorang shūchōkan.

 

Setelah Kemerdekaan

Pasca kemerdekaan Indonesia, Pekanbaru terus berkembang pesat. Pada 1959, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Desember 52/I/44-25 kota ini ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Riau, menggantikan Tanjung Pinang. Pemindahan ini dilakukan karena Pekanbaru dinilai lebih strategis untuk mendukung perkembangan ekonomi dan administrasi wilayah Riau.

Pada era 1980-an hingga 1990-an, Riau, termasuk Pekanbaru, mengalami pertumbuhan pesat di sektor perkebunan kelapa sawit, yang juga mengangkat perekonomian kota. Pekanbaru berkembang sebagai pusat perdagangan regional, khususnya untuk perdagangan hasil bumi dan komoditas.

Saat ini, Pekanbaru dikenal sebagai salah satu kota metropolitan yang menjadi pusat industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Sebagai daerah penghasil migas terbesar, kota ini menarik banyak investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Kehadiran perusahaan minyak, seperti PT Caltex (sekarang Chevron), memberikan dampak besar terhadap pembangunan kota.

Pertumbuhan ini juga didukung dengan dibangunnya Jalan Lintas Timur Sumatera dan Bandara Sultan Syarif Kasim II yang membantu mobilitas barang dan orang. Pembangunan infrastruktur yang masif ini mendorong Pekanbaru terus berkembang menjadi kota metropolitan dengan munculnya gedung-gedung tinggi, kawasan perbelanjaan modern, dan kawasan bisnis.

Budaya dan Tradisi di Pekanbaru

Selain itu, Pekanbaru juga menjadi pariwisata dan budaya Melayu di Sumatra. Kota Pekanbaru memiliki warisan budaya Melayu yang sangat kental. Tradisi dan adat istiadat Melayu tercermin dalam seni, musik, tarian, dan arsitektur bangunan.

Bangunan-bangunan berciri khas Melayu, seperti Anjungan Seni Idrus Tintin dan Balai Adat Melayu, mulai didirikan untuk memperkuat nilai budaya lokal.

Selain itu, Pekanbaru juga merupakan kota multikultural yang dihuni oleh beragam etnis, seperti Minangkabau (37,96%), Melayu(26,1%), Batak (11,04%), Tionghoa (2,5%), dan Jawa (15,7%), yang hidup berdampingan dengan harmonis.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Harrist Riansyah

Penulis Indonesiana

80 Pengikut

img-content

Strategi Pertumbuhan Konglomerat

Senin, 25 Agustus 2025 08:46 WIB
img-content

Riwayat Pinjaman Anda dalam BI Checking

Kamis, 21 Agustus 2025 22:45 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler