Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Eksistensialisme: Menemukan Makna dalam Pertanyaan tentang Keberadaan

Senin, 17 Februari 2025 10:14 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Filsafat Mengawang Esaipun Terbang
Iklan

Eksistensialisme muncul sebagai aliran filsafat yang mempertanyakan hakikat keberadaan manusia di tengah kompleksitas realitas modern.

***

Eksistensialisme muncul sebagai aliran filsafat yang mempertanyakan hakikat keberadaan manusia di tengah kompleksitas realitas modern. Pemikiran ini berkembang pesat pada abad ke-20, terutama melalui karya-karya para filsuf seperti Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger, dan Søren Kierkegaard. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang keberadaan manusia yang masih relevan hingga saat ini.

Jean-Paul Sartre, dalam karyanya Being and Nothingness (1943), mengajukan konsep revolusioner bahwa existence precedes essence atau eksistensi mendahului esensi. Ini berarti manusia pertama-tama ada, kemudian menentukan esensinya melalui pilihan-pilihan yang diambil.

Berbeda dengan benda-benda yang memiliki esensi tetap, manusia harus menciptakan makna hidupnya sendiri. Kebebasan ini, menurut Sartre, bukan hanya anugerah tetapi juga beban, karena membawa tanggung jawab atas setiap pilihan yang diambil. 

Martin Heidegger memberikan kontribusi signifikan melalui karyanya Being and Time (1927), di mana ia memperkenalkan konsep Dasein atau Being-there. Heidegger melihat manusia sebagai makhluk yang "terlempar" ke dalam dunia dan harus memaknai keberadaannya. Ia mengidentifikasi tiga dimensi utama keberadaan: Being-in-the-world (keberadaan dalam konteks dunia), Being-with-others (keberadaan dalam relasi sosial), dan Being-towards-death (kesadaran akan kematian yang memberi makna pada hidup). 

Karl Jaspers, dalam Way to Wisdom (1951), menekankan pentingnya "situasi-situasi batas" (Grenzsituationen) dalam membentuk kesadaran eksistensial. Situasi-situasi seperti penderitaan, kematian, dan perjuangan mendorong manusia untuk menghadapi keterbatasan dan menemukan makna sejati kehidupan. Jaspers melihat filosofi sebagai jalan menuju kebijaksanaan melalui konfrontasi dengan realitas eksistensial ini. 

Albert Camus, meskipun menolak label eksistensialis, memberikan kontribusi penting melalui karyanya The Myth of Sisyphus (1942). Ia menghadirkan konsep absurditas - kesenjangan antara keinginan manusia akan makna dan ketidakmampuan alam semesta untuk memberikannya. Camus berpendapat bahwa penerimaan akan absurditas ini justru dapat membawa pada pemberontakan yang bermakna dan penciptaan makna personal. 

Pemikiran eksistensialis ini memiliki implikasi mendalam bagi kehidupan kontemporer. Di era digital yang semakin kompleks, pertanyaan tentang autentisitas, kebebasan, dan makna menjadi semakin relevan. Manusia modern dihadapkan pada pilihan-pilihan yang semakin beragam, sekaligus tekanan sosial yang semakin intensif. Eksistensialisme menawarkan kerangka untuk memahami dan menghadapi dilema-dilema ini. 

TERLEMPAR DALAM KEBERADAAN: MEMAHAMI KONSEP "THROWNESS" MARTIN HEIDEGGER. 

Konsep Throwness (Geworfenheit) yang diperkenalkan Martin Heidegger dalam magnum opusnya Being and Time (1927) merupakan salah satu gagasan paling mendasar dalam pemikiran eksistensialisme. Konsep ini menggambarkan kondisi fundamental manusia yang terlempar ke dalam eksistensi tanpa pilihan atau persetujuan sebelumnya. Heidegger memulai analisisnya dengan menggambarkan manusia sebagai Dasein (Being-there atau Ada-di-sana). Dasein bukanlah sekadar subjek yang terpisah dari dunia, melainkan entitas yang selalu sudah berada dalam dunia dengan segala keterbatasan dan kemungkinannya. Keterlemparannya mencakup berbagai aspek yang tidak bisa dipilihnya: waktu kelahiran, tempat lahir, kondisi sosial-ekonomi, budaya, dan bahkan karakteristik biologisnya. 

Dalam keterlemparannya, manusia menemukan diri dalam situasi yang sudah ada sebelumnya (facticity). Ia lahir ke dalam dunia yang telah memiliki struktur makna, nilai, dan aturan tertentu. Namun, berbeda dengan benda-benda yang sekadar "ada", manusia memiliki kesadaran akan keterlemparannya ini. Kesadaran inilah yang membuat manusia harus menghadapi dan memaknai situasinya. Heidegger menekankan bahwa throwness bukanlah kondisi yang hanya terjadi sekali pada saat kelahiran, melainkan aspek yang terus-menerus dari eksistensi manusia. Setiap saat, kita menemukan diri kita "terlempar" dalam situasi-situasi baru yang harus kita hadapi dan maknai. Ini berkaitan erat dengan konsep "Being-in-the-world" (In-der-Welt-sein), di mana keberadaan manusia selalu terkait dengan konteks dunianya. 

Aspek penting dari throwness adalah ketegangan antara keterbatasan situasi dan kemungkinan yang terbuka. Meskipun kita tidak bisa memilih situasi awal kita, kita memiliki kebebasan untuk merespons dan memaknai situasi tersebut. Inilah yang Heidegger sebut sebagai "projection" - kemampuan manusia untuk memproyeksikan diri ke dalam kemungkinan-kemungkinan masa depan. 

Konsep throwness membawa implikasi penting bagi pemahaman tentang kebebasan manusia. Kebebasan dalam perspektif Heidegger bukanlah kebebasan absolut, melainkan kebebasan yang selalu terikat pada situasi. Kita bebas untuk memaknai dan merespons situasi kita, tetapi tidak bebas untuk memilih situasi itu sendiri. Ini membedakan pemahaman Heidegger dari eksistensialisme Sartre yang lebih menekankan kebebasan radikal. 

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, pemahaman akan throwness dapat membantu kita menghadapi berbagai situasi dengan lebih bijak. Kita diajak untuk : 

  • Menerima keterbatasan situasi tanpa menyerah padanya 
  • Mengenali kemungkinan-kemungkinan yang tersedia dalam situasi tersebut 
  • Mengambil tanggung jawab atas cara kita merespons dan memaknai situasi 
  • Memahami bahwa perjuangan dengan keterbatasan adalah bagian integral dari eksistensi manusia 

  Throwness juga berkaitan erat dengan konsep "care" (Sorge) dalam pemikiran Heidegger. Karena keterlemparannya, manusia selalu berada dalam mode "kepedulian" - baik terhadap dirinya sendiri, orang lain, maupun dunianya. Kepedulian ini menjadi cara dasar manusia berada dalam dunia. 

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler