Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya, ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Strategi Perang Nabi Muhammad: Melindungi Kehormatan dan Menjaga Perdamaian

Rabu, 5 Maret 2025 13:58 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
jamaah haji di masjidil haram
Iklan

Perang dalam Islam bukan sekadar konflik. Apa motivasi sejati Rasulullah menghadapi tantangan Quraisy? Temukan pelajaran di balik sejarahnya!

Pendahuluan

Perang, dalam perspektif Islam, tidak dipandang sebagai pilihan pertama atau tujuan utama. Islam mengajarkan bahwa perang adalah langkah terakhir yang diambil ketika semua upaya diplomatik dan perdamaian gagal untuk mencegah agresi.

Pandangan ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, yang menggambarkan perang sebagai tindakan yang harus ditujukan untuk mempertahankan diri terhadap serangan yang dilakukan oleh musuh. Dalam kajian singkat ini, kami mendasarkan pada buku Ahmad Mansur Suryanegara yang berjudul Api Sejarah Jilid I.[1]

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suryanegara dalam pemikirannya menguraikan bahwa perang dalam Islam bukan untuk menambah kekuasaan atau kekayaan, tetapi untuk menciptakan kedamaian dan menghindari fitnah, yang jauh lebih berbahaya daripada pembunuhan (QS Al-Baqarah ayat 191). Ayat ini menegaskan bahwa Islam melihat perang sebagai instrumen yang sah dengan tujuan untuk menjaga kehormatan, keamanan, dan kelangsungan hidup umat, tetapi tetap dengan prinsip-prinsip moral yang rigid.

Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu. Padahal, fitnah (fitnah dalam ayat ini berarti perbuatan yang menimbulkan kekacauan, seperti mengusir orang dari kampung halamannya, merampas harta, menyakiti orang lain, menghalangi orang dari jalan Allah Swt., atau melakukan kemusyrikan) itu lebih kejam daripada pembunuhan. Lalu janganlah kamu perangi mereka di Masjid Al-Haram, kecuali jika mereka memerangimu di tempat itu. Jika mereka memerangimu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. (QS Al-Baqarah: 191)

Latar Belakang Perang dan Tantangan yang Dihadapi

Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah ﷺ menghadapi tantangan besar dari kaum Quraisy di Mekah yang merasa terancam dengan berkembangnya ajaran Islam. Dengan kegagalan berbagai upaya untuk meredam pergerakan Islam, akhirnya kaum Quraisy memilih untuk menyerang Madinah dan menghancurkan komunitas Muslim yang sedang berkembang. Pada saat itulah Islam mengajarkan perang sebagai tindakan untuk membela diri.

Suryanegara menjelaskan bahwa konteks perang dalam Islam bukanlah agresi untuk menyerang, melainkan upaya untuk membela agama dan hak hidup umat Islam yang sedang terancam. Dalam hal ini, perang dijadikan sebagai respons terhadap serangan dan fitnah yang ditujukan kepada umat Islam.

Motivasi Perang dalam Islam: Meniadakan Fitnah

Dalam perang yang dilancarkan oleh Quraisy, Rasulullah ﷺ tidak hanya berperang untuk mempertahankan Madinah, tetapi untuk meniadakan fitnah yang dianggap lebih besar tingkat kebahayaannya daripada pembunuhan. Al-Qur’an mengajarkan bahwa, “Fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan,” (QS Al-Baqarah: 191).

Dalam konteks ini, Suryanegara berpendapat bahwa perang bukan hanya untuk mempertahankan diri, tetapi juga untuk mencegah penyebaran fitnah yang dapat merusak tatanan sosial dan ketenangan umat. Fitnah yang dimaksud adalah segala bentuk perpecahan, kebohongan, dan pencemaran terhadap agama yang dapat menggoyahkan iman umat Islam dan menimbulkan kerusakan sosial.

Islam menekankan bahwa tujuan perang adalah untuk menjaga kesejahteraan umat, bukan untuk menambah kekuasaan atau materi. Perang bertujuan untuk menjaga agar masyarakat tetap hidup dalam kedamaian dan keharmonisan tanpa adanya gangguan dari pihak luar yang berusaha merusak tatanan tersebut.

Perang untuk Mewujudkan Kemenangan Islam

Tantangan besar yang dihadapi oleh umat Islam di Madinah, terutama dari Quraisy, tidak menyebabkan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya menjadi gentar. Pada awalnya, kaum Muslimin hanya memiliki sedikit jumlah pasukan, sekitar 12 orang, yang kemudian berkembang menjadi 300 orang.

Meskipun jumlahnya tidak seimbang dibandingkan dengan pasukan Quraisy yang jauh lebih besar, pertolongan Allah datang melalui malaikat yang membantu pasukan Muslim dalam pertempuran. Dalam Al-Qur’an, disebutkan bahwa Allah menurunkan bantuan-Nya dalam bentuk tentara yang tak tampak secara fisik, tetapi mereka mampu memberikan kemenangan bagi pasukan Muslim.

Kemudian, Allah menurunkan ketenangan (dari)-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin, serta menurunkan bala tentara yang kamu tidak melihatnya, juga menyiksa orang-orang yang kafir. Itulah balasan terhadap orang-orang kafir. (QS At-Taubah: 26)

Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika bala tentara datang kepadamu, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan bala tentara (malaikat) yang tidak dapat terlihat olehmu. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Aḥzāb: 9)

Perang Badar yang terjadi pada 2 H/624 M adalah salah satu pertempuran besar yang menunjukkan bagaimana umat Islam tetap meraih kemenangan berkat bantuan Allah, meskipun dalam kondisi yang serbalemah. Perang ini menjadi simbol kemenangan bagi kaum Muslimin dan memperlihatkan betapa besar pengaruh iman dan keyakinan terhadap kekuatan umat dalam menghadapi musuh. Sejak pertempuran ini, kemenangan demi kemenangan terus diraih oleh pasukan Islam, meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pasukan lawan.

Sistem Pertahanan dan Strategi Perang yang Inovatif

Dalam menghadapi serangan dari Quraisy, Rasulullah ﷺ menunjukkan strategi perang yang tidak hanya bergantung pada jumlah pasukan, tetapi juga pada kecerdikan dalam merancang taktik pertahanan. Salah satu contoh cemerlang adalah penerapan sistem perang parit (khandaq) pada Perang Khandaq (5 H/627 M).

Sistem ini diperkenalkan oleh Salman Al-Farisi yang berasal dari Persia dan terbukti efektif dalam melawan pasukan Quraisy yang jauh lebih besar. Sistem ini kemudian diadopsi oleh pasukan Sekutu dalam Perang Dunia I (1914-1919), yang menunjukkan betapa relevannya strategi ini bahkan dalam konteks peperangan modern.

Selain itu, Perjanjian Hudaibiyyah yang dilakukan pada 6 H/628 M antara umat Islam dan Quraisy, meskipun tampaknya menguntungkan pihak Quraisy, justru membuka jalan bagi kemenangan Islam pada masa depan. Perjanjian ini menjadi titik balik yang memungkinkan umat Islam untuk memperluas pengaruh mereka dan semakin mengukuhkan kedudukan mereka di Madinah.

Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah: Fathu Makkah

Setelah Perjanjian Hudaibiyyah, umat Islam berhasil memperoleh kemenangan besar yang tidak hanya mencakup kemenangan militer, tetapi juga kemenangan moral dan spiritual. Pada tahun 630 M, Rasulullah ﷺ memimpin pasukan Islam untuk memasuki Mekah, yang akhirnya menyerah tanpa pertumpahan darah.

Kemenangan yang disebut Fathu Makkah ini menjadi simbol besar dari keberhasilan Islam dalam mengalahkan kekuatan Quraisy, yang sebelumnya sangat kuat. Namun, yang paling mencolok dalam peristiwa ini adalah kebijakan amnesti yang diberikan oleh Rasulullah ﷺ kepada kaum Quraisy yang dulu menjadi musuhnya. Meski Rasulullah ﷺ sering kali dianiaya oleh mereka, beliau tidak membalas dendam, tetapi memberikan pengampunan (amnesti massal) kepada penduduk Mekah (baik Islam maupun kafir). Hal ini kemudian mengarah pada banyaknya orang Quraisy yang masuk Islam (mualaf) dan menjadi pengikut setia Rasulullah Muhammad ﷺ.

Suryanegara menilai bahwa kebijakan amnesti massal ini adalah salah satu contoh kebijaksanaan besar dalam kepemimpinan Rasulullah ﷺ. Kemenangan dalam suatu konflik militer bukan hanya dilihat dari aspek kemenangan perang, tetapi juga dari aspek moral dan keadilan. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kemenangan bukan berarti membinasakan semua musuh, tetapi membawa mereka kepada kebenaran dan kedamaian.

Ajaran Islam yang Menyatu dengan Sejarah

Dari peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi selama masa Rasulullah ﷺ, Suryanegara menggarisbawahi pentingnya pemahaman bahwa ajaran Islam adalah kesinambungan dari ajaran para nabi sebelumnya, sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad ﷺ. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa tidak ada seorang pun nabi atau rasul kecuali yang membawa ajaran Islam (QS 2:136, 3:84).

Katakanlah (wahai orang-orang yang beriman), “Kami beriman kepada Allah, pada apa yang diturunkan kepada kami, pada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub dan keturunannya, pada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta pada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan (hanya) kepada-Nya kami berserah diri (Muslimun).” (QS Al-Baqarah: 136)

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kami beriman kepada Allah dan pada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub beserta anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa, serta para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah diri (Muslimun).” (QS Ali ‘Imran: 84)

Dengan demikian, Islam bukanlah ajaran yang terputus dari sejarah umat manusia, melainkan sebuah ajaran yang terus berkembang dan berkesinambungan dari zaman ke zaman. Semua kehendak Allah untuk mengutus para nabi dan rasulnya bertujuan untuk memberikan pembaharuan dalam tata hukum dan kehidupan sosial umat manusia.

Islam, dalam pandangan Suryanegara, adalah agama yang tidak hanya berlaku pada satu bangsa atau kelompok tertentu, tetapi untuk seluruh umat manusia. Hukum Islam tidak hanya relevan di dunia ini, tetapi juga berlaku hingga yaumil qiyamah, mengatur kehidupan dunia dan akhirat.

Kesimpulan

Perang dalam Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Mansur Suryanegara, bukanlah sebuah ajakan untuk melakukan kekerasan terhadap musuh, melainkan sebuah langkah pertahanan untuk menjaga perdamaian dan mencegah penyebaran fitnah yang lebih bahaya daripada pembunuha. Islam mengajarkan bahwa perang adalah upaya terakhir setelah semua cara damai tidak berhasil dan tujuannya haruslah untuk menghindari kerusakan yang lebih besar.

Sejarah perjuangan Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa pertolongan Allah akan selalu datang untuk memberikan kemenangan bagi mereka yang beriman (Muslim), meskipun jumlah dan kekuatannya tidak sebanding dengan musuh. Kemenangan Islam pun tidak hanya diukur dari aspek kemenangan dalam perang saja, tetapi juga dari aspek moral dan spiritual, di mana kebijakan amnesti dan pengampunan menjadi simbol dari kemenangan sejati yang membawa perdamaian bagi seluruh umat manusia.

Referensi

[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ed. oleh Nia Kurniawati, Anni Rosmayani, dan Rakhmat Gumilar, Rev., Api Sejarah (Bandung: Suryadinasti, 2014), https://books.google.co.id/books?id=0AMxDwAAQBAJ.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Lulusan Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta|Adil sejak dalam pikiran...

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler