Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Sosial Event: Memori Kolektif Bahasa

Kamis, 17 April 2025 10:45 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Jacques Derrida
Iklan

Peristiwa sosial—dari revolusi dan peperangan hingga pandemi dan bencana alam dari perayaan kolektif hingga tragedi nasional—tidak hanya terjadi

Jacques Derrida - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Peristiwa sosial—dari revolusi dan peperangan hingga pandemi dan bencana alam, dari perayaan kolektif hingga tragedi nasional—tidak hanya terjadi dalam ruang dan waktu fisik, tetapi juga dalam ruang linguistik yang membentuk dan dibentuk oleh memori kolektif suatu masyarakat. Bahasa, dalam pengertian ini, bukanlah sekadar medium pasif yang mencatat atau mendeskripsikan peristiwa, melainkan struktur aktif yang menyimpan, mengorganisasi, dan mentransmisikan pengalaman kolektif lintas generasi. Sosial event, dengan demikian, dapat dipahami sebagai kristalisasi memori kolektif dalam lapisan-lapisan bahasa yang terus berevolusi dan dinegosiasikan.

Maurice Halbwachs, sosiolog Prancis yang mengembangkan konsep "memori kolektif" pada awal abad ke-20, menekankan bahwa ingatan individual selalu dibingkai oleh struktur sosial dan kultural tempat individu tersebut berada. Dalam On Collective Memory (diterbitkan secara posthumous pada 1950), Halbwachs berargumen bahwa bahasa merupakan prasarana fundamental bagi memori kolektif—kerangka sosial primer yang memungkinkan pengalaman personal diartikulasikan dalam kategori-kategori yang dapat dibagi dan diakses secara kolektif. Sosial event, dalam perspektif ini, adalah titik nodal dalam jaringan memori kolektif yang distrukturkan oleh dan diungkapkan melalui bahasa.

Jan Assmann, mengembangkan pemikiran Halbwachs, membedakan antara "memori komunikatif" yang bertahan dalam ingatan hidup selama 3-4 generasi (sekitar 80-100 tahun) dan "memori kultural" yang dapat bertahan berabad-abad melalui objektifikasi dalam teks, ritual, monumen, dan praktik-praktik kultural lainnya. Dalam Cultural Memory and Early Civilization (1992), Assmann menunjukkan bagaimana sosial event penting—seperti Exodus bagi komunitas Yahudi atau Perang Troya bagi Yunani kuno—diawetkan dalam teks-teks formatif yang terus-menerus ditafsirkan ulang untuk memberikan makna dan identitas bagi komunitas dalam konteks yang berubah. Bahasa, dengan demikian, bukan hanya medium untuk mengingat peristiwa penting, tetapi juga struktur yang memungkinkan peristiwa tersebut menjadi mnemohistory—sejarah sebagaimana diingat dan dimaknai, yang sering kali lebih penting secara kultural daripada "apa yang sebenarnya terjadi".

Paul Ricoeur, dalam Memory, History, Forgetting (2000), mengeksplorasi hubungan kompleks antara pengalaman, memori, dan narasi. Bagi Ricoeur, bahasa naratif memainkan peran sentral dalam "menyintesis heterogenitas"—mengorganisasi multiplisitas pengalaman ke dalam struktur temporal yang koheren dan bermakna. Sosial event, dalam pengertian ini, selalu sudah dimediasi oleh "konfigurasi naratif" yang memberi makna pada peristiwa dengan menempatkannya dalam plot (emplotment)—urutan temporal dan kausal yang memberikan resolusi pada ketegangan dan konflik. Bahasa, dengan demikian, bukanlah sekadar representasi pasif dari peristiwa melainkan prinsip aktif yang mentransformasi kejadian (occurrence) menjadi peristiwa (event) melalui narativitasi.

Mikhail Bakhtin, dengan konsep "kronotop"—literalnya "waktu-ruang"—menawarkan lensa berharga untuk memahami sosial event sebagai memori kolektif bahasa. Dalam The Dialogic Imagination (1975), Bakhtin menunjukkan bagaimana kronotop dalam teks sastra mengkristalkan "waktu yang dapat dilihat" dan "ruang yang diisi dengan makna dan dimensi waktu", menciptakan "gambar waktu" yang konkret dan penting bagi pemahaman historis. Sosial event seperti Revolusi Prancis atau Perang Dunia tidak hanya berlangsung dalam waktu kronologis dan ruang geografis, tetapi juga dalam kronotop linguistik yang mengorganisasi pengalaman kolektif ke dalam bentuk yang dapat diingat dan ditransmisikan. Bahasa, dengan demikian, menciptakan "chronotope of memory" di mana waktu dan ruang disatukan dalam gambaran yang kuat dan persisten tentang peristiwa.

Pierre Nora, dalam proyek monumentalnya Les Lieux de Mémoire (1984-1992), mengembangkan konsep "sites of memory"—lokus-lokus fisik, simbolik, atau fungsional di mana memori kolektif mengkristal dan memperoleh referensi konkret. Nora berargumen bahwa modernitas ditandai oleh "akselerasi sejarah" di mana kontinuitas antara masa lalu dan masa kini terputus, menciptakan kebutuhan untuk "tempat-tempat memori" yang artifisial. Bahasa—khususnya istilah-istilah kunci, slogan, dan narasi formatif—menjadi "site of memory" yang krusial di mana sosial event diawetkan dan diakses. Ketika orang Indonesia mengatakan "G30S" atau "Reformasi", mereka tidak hanya merujuk pada tanggal atau periode historis, tetapi mengakses seluruh jaringan memori, makna, dan afek yang terkristalisasi dalam istilah-istilah tersebut.

Walter Benjamin, dalam "Theses on the Philosophy of History" (1940), mengajukan konsep "Jetztzeit" (waktu-kini) untuk menggambarkan bagaimana masa lalu dapat "disitasi" ke dalam momen sekarang, menciptakan koneksi meledak-ledak yang merusak kontinuitas naratif sejarah resmi. Sosial event, dalam perspektif Benjamin, tidak terkunci dalam masa lalu kronologis tetapi memiliki potensi "aktualitas" yang dapat diaktifkan dalam momen-momen krisis. Bahasa—khususnya bahasa revolusioner atau bahasa puitis—memainkan peran krusial dalam "menyelamatkan" masa lalu dari kooptasi kekuasaan dan menghadirkannya secara eksplosif dalam momen sekarang. Ketika aktivis kontemporer "mengutip" frasa atau mengadaptasi slogan dari perjuangan masa lalu, mereka menciptakan "konstelasi" antara masa lalu dan masa kini yang Benjamin sebut sebagai "waktu mesianik".

Dekonstruksi Derrida dalam Konteks Kekuasaan dan Konstruksi Sosial Halaman 1 - Kompasiana.com

Jacques Derrida, dalam Archive Fever (1995), mengeksplorasi bagaimana arsip—sebagai institusi yang menyimpan dan mengorganisasi dokumen masa lalu—selalu ditandai oleh tegangan antara kekuatan konservatif yang menjaga dan kekuatan destruktif yang menghapus. Sosial event, dalam perspektif Derrida, tidak pernah hadir dalam arsip sebagai entitas stabil atau tetap, melainkan sebagai jejak yang terus-menerus bergeser maknanya dalam konteks baru. Bahasa arsip, dengan demikian, bukanlah medium netral tetapi struktur yang simultan memungkinkan dan membatasi apa yang dapat diingat dan dilupakan tentang peristiwa. Ketika suatu sosial event diarsipkan dalam teks, dokumen, atau monumen, event tersebut distrukturkan oleh "logika arsip" yang simultan mempreservasi dan mengubahnya.

Dalam konteks Indonesia, konsep "memori kolektif bahasa" membantu kita memahami bagaimana peristiwa-peristiwa penting seperti proklamasi kemerdekaan, G30S, atau Reformasi 1998 tidak sekadar terjadi sebagai rangkaian kejadian empiris, tetapi juga sebagai kristalisasi linguistik yang terus-menerus ditafsir ulang dalam konteks politik yang berubah. Ketika generasi muda yang lahir setelah 1998 mengatakan "Reformasi dikorupsi" dalam demonstrasi 2019, mereka tidak hanya merujuk pada peristiwa historis tetapi mengakses dan memodifikasi seluruh jaringan makna dan afek yang terkandung dalam kata "Reformasi"—momen penuh harapan yang kini dipandang telah dikhianati.

Ariel Heryanto, dalam Identity and Pleasure (2014), menunjukkan bagaimana film-film tentang 1965-1966 seperti "Pengkhianatan G30S/PKI" telah membentuk memori kolektif generasi Indonesia yang tidak mengalami peristiwa tersebut secara langsung. Bahasa visual dan naratif film propaganda tersebut menciptakan apa yang Marianne Hirsch sebut sebagai "postmemory"—memori tentang peristiwa yang tidak dialami langsung tetapi diwariskan melalui representasi, narasi, dan jejak-jejak kultural. Sosial event G30S, dengan demikian, bertahan dalam memori kolektif Indonesia tidak hanya sebagai rangkaian kejadian historis melainkan juga sebagai konstruksi diskursif yang terus menerus diproduksi dan dikontestasi.

Goenawan Mohamad: Catatan Seorang Ayah | Melela

Goenawan Mohamad, dalam esai-esainya tentang bahasa politik Indonesia, secara konsisten menyoroti bagaimana terminologi-terminologi kunci seperti "Pancasila", "pembangunan", atau "kebhinnekaan" telah berfungsi sebagai apa yang William Connolly sebut sebagai "essentially contested concepts"—konsep-konsep yang definisi dan penerapannya secara inheren diperebutkan dalam medan politik. Sosial event seperti "pembantaian 1965" atau "kerusuhan Mei 1998" tidak hanya dikontestasi dalam hal "apa yang sebenarnya terjadi" tetapi juga dalam hal bagaimana peristiwa tersebut harus dinamai, dikategorikan, dan diposisikan dalam narasi nasional. Bahasa, dengan demikian, menjadi arena utama di mana pertarungan memori kolektif berlangsung.

Benedict Anderson, dalam Imagined Communities (1983), menunjukkan bagaimana nasionalisme Indonesia, seperti nasionalisme lainnya, tidak hanya dimungkinkan oleh bahasa sebagai medium komunikasi, tetapi juga oleh konsep waktu yang baru—apa yang disebutnya "empty, homogeneous time" di mana komunitas nasional dapat dibayangkan sebagai bergerak serentak melalui sejarah. Sosial event seperti proklamasi kemerdekaan tidak hanya penting sebagai moment pendiriannya negara, tetapi juga sebagai titik nol dalam kronologi nasional yang mengorganisasi pengalaman kolektif ke dalam narasi teleologis tentang perjalanan bangsa. Bahasa temporal—"zaman kolonial", "era Orde Baru", "pasca-reformasi"—menciptakan periodisasi yang membingkai bagaimana sosial event diingat dan dimaknai dalam memori kolektif.

Hilmar Farid, sejarawan dan direktur jenderal kebudayaan, dalam berbagai tulisan dan wawancaranya menekankan pentingnya "rekonsiliasi dengan sejarah" sebagai prasyarat keadilan dan demokrasi di Indonesia. Namun rekonsiliasi ini tidak hanya menyangkut rekonstruksi faktual "apa yang sebenarnya terjadi", tetapi juga pengakuan akan bagaimana trauma historis telah tertanam dalam bahasa dan struktur sosial. Sosial event traumatis seperti pembantaian 1965-1966 bertahan tidak hanya dalam ingatan individu-individu yang selamat, tetapi juga dalam lapisan-lapisan bahasa yang terus menerus mereproduksi ketakutan, kebisuan, dan pengucilan melalui terminologi seperti "bersih lingkungan" atau "eks-tapol".

Dalam era digital kontemporer, sosial event semakin difasilitasi dan dibentuk oleh teknologi komunikasi baru yang mentransformasi bagaimana memori kolektif dibentuk dan disirkulasikan. Hashtag seperti #ReformasiDikorupsi atau #PercumaLaporPolisi tidak hanya berfungsi sebagai alat koordinasi aksi kolektif, tetapi juga sebagai mnemonic devices yang mengkristalkan pengalaman dan afek kolektif ke dalam bentuk yang mudah disirkulasikan. Media sosial menciptakan apa yang Jeffrey Olick sebut sebagai "memori prostetik"—memori yang tidak berakar dalam pengalaman langsung tetapi diperoleh melalui konsumsi representasi mediatik. Sosial event seperti demonstrasi mahasiswa 2019 atau pandemi Covid-19 diingat tidak hanya melalui pengalaman langsung tetapi juga melalui lapisan-lapisan representasi digital yang membentuk bagaimana peristiwa tersebut dimaknai dan dinarasikan.

Sebagai kesimpulan, memahami sosial event sebagai memori kolektif bahasa membuka perspektif baru tentang bagaimana peristiwa-peristiwa penting tidak hanya "terjadi" secara empiris tetapi juga "bertahan" dan "bermakna" dalam kesadaran kolektif melalui mediasi linguistik. Bahasa bukanlah sekadar alat untuk mengingat peristiwa, melainkan struktur yang secara simultan mempreservasi, mentransformasi, dan memproduksi makna peristiwa tersebut lintas ruang dan waktu. Dalam konteks Indonesia yang ditandai oleh kontestasi tajam tentang bagaimana masa lalu harus diingat dan dinarasikan, analisis kritis terhadap lapisan-lapisan bahasa yang membentuk memori kolektif menjadi semakin penting—tidak hanya sebagai latihan akademis tetapi juga sebagai intervensi politik yang memungkinkan rekonfigurasi hubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler