Antara Cinta dan Tradisi yang Bertabrakan dalam Novel Kehilangan Mestika

Sabtu, 7 Juni 2025 15:35 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Cover Kehilangan Mestika
Iklan

Konflik antara cinta dan adat menjadi latar perjuangan tokoh Hamidah melawan tekanan sosial dan budaya patriarkal.

***

Kehilangan Mestika, novel karya Fatimah Hasan Delais yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1935, merupakan salah satu karya sastra awal yang memotret dilema perempuan dalam masyarakat tradisional. Melalui kisah tragis tokoh utamanya, Hamidah, novel ini menyuarakan benturan antara cinta, kebebasan individu, dan kekuasaan tradisi. Dalam tulisan ini, kita akan menganalisis konflik sosial dan budaya yang terangkat dalam novel, serta relevansinya terhadap isu perempuan dan adat di era kolonial Hindia Belanda

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hamidah digambarkan sebagai seorang perempuan cerdas, berani, dan penuh kasih sayang. Namun, kualitas-kualitas ini tidak cukup untuk menyelamatkannya dari tekanan adat dan kendali keluarga. Sejak kecil, Hamidah sudah hidup dalam bayang-bayang kehilangan baik orang tua, kasih sayang, maupun kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Ia kemudian dipingit dan dijodohkan oleh keluarganya, tanpa mempertimbangkan keinginannya sendiri.

Pingitan dalam novel ini bukan sekadar praktik budaya, melainkan simbol kuat dari pengekangan terhadap hak-hak perempuan. Ini mencerminkan struktur sosial patriarkal yang menempatkan perempuan sebagai objek yang harus "dilindungi", sekaligus dikendalikan.

Hamidah jatuh cinta pada Idrus, seorang pemuda yang juga mencintainya. Namun, cinta mereka tidak mendapat restu. Keluarga Hamidah lebih memilih calon suami yang dianggap lebih “pantas” menurut standar sosial dan adat setempat. Di sinilah konflik utama terjadi: ketika cinta yang tulus bertabrakan dengan keharusan untuk tunduk pada tradisi dan kehendak keluarga.

Ketegangan antara perasaan pribadi dan tuntutan sosial ini memperlihatkan bagaimana struktur budaya dapat memadamkan suara hati seseorang. Dalam konteks Hindia Belanda pada awal abad ke-20, keputusan seperti ini sangat umum, mencerminkan ketimpangan gender dan dominasi adat atas kehidupan individu.

Selain menjadi kisah pribadi Hamidah, novel ini juga merupakan kritik terhadap sistem sosial yang sarat dengan diskriminasi kelas dan gender. Perjodohan, pingitan, dan kontrol terhadap perempuan dalam novel ini menunjukkan bagaimana adat sering kali menjadi alat untuk mempertahankan status quo dan memperkuat posisi laki-laki dalam masyarakat.

Fatimah Hasan Delais melalui Kehilangan Mestika secara halus namun tegas memperlihatkan bagaimana perempuan dijadikan pion dalam permainan sosial dan politik keluarga. Bahkan cinta pun bisa dikorbankan demi kehormatan, gengsi, atau kesesuaian adat.

Meskipun berlatar belakang zaman kolonial, konflik yang dihadapi Hamidah tidak sepenuhnya asing bagi perempuan masa kini. Praktik kawin paksa, kontrol terhadap tubuh dan pilihan perempuan, serta stigma terhadap mereka yang melawan norma masih berlangsung di berbagai tempat. 

Melalui kisah Hamidah, Kehilangan Mestika menjadi cermin tajam atas konflik antara cinta dan tradisi, antara kehendak individu dan tekanan sosial. Fatimah Hasan Delais telah mewariskan kepada kita bukan sekadar karya sastra, tetapi juga dokumen sosial yang menggugah kesadaran akan pentingnya keadilan dan emansipasi.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler