Sejarah Milik Siapa? Menolak Distorsi dan Pengingkaran Negara

Kamis, 19 Juni 2025 21:51 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
BUNG TOMO DAN PERTEMPURAN SURABAYA 1945: PENGOBAR SEMANGAT REVOLUSI INDONESIA
Iklan

Ketika sejarah ditulis demi kekuasaan, yang hilang bukan hanya kebenaran, tapi juga luka, ingatan, dan masa depan bangsa.

Dalam sejarah panjang kekuasaan, yang berkuasa bukan hanya mengatur ekonomi dan hukum, tetapi juga memegang kuasa atas memori. Ingatan kolektif bukanlah ruang bebas nilai, melainkan medan yang diperebutkan, dan sejarah, sebagai bangunan besar dari ingatan itu, kerap ditulis ulang demi menyesuaikan arah angin kekuasaan.

Di Indonesia, belakangan pembahasan soal sejarah menjadi titik kritis ketika Kementerian Kebudayaan menggagas proyek penulisan ulang sejarah nasional dalam sepuluh jilid. Dalihnya: menghilangkan bias kolonial dan menciptakan sejarah yang lebih “Indonesia-sentris.” Namun di balik jargon itu, publik justru melihat potensi pengulangan sejarah gelap, ketika sejarah kembali ditundukkan menjadi alat kekuasaan.

Penulisan ulang sejarah bukan hal baru. Ia sering muncul dalam fase-fase ketidakstabilan atau ambisi rekonsolidasi kekuasaan. Di masa Orde Baru, manipulasi sejarah menjadi salah satu alat utama untuk mengokohkan legitimasi Soeharto. Kini, ketika Kementrian Kebudayaan dibawah rezim Prabowo mengklaim sedang menyusun narasi baru sejarah Indonesia, banyak yang membaca ini bukan sekadar proyek kultural, tetapi proyek politik yang dibungkus dengan bahasa ilmiah.

Penolakan terhadap keterlibatan publik yang luas, pengunduran diri akademisi terlibat seperti Harry Truman Simanjuntak, hingga pernyataan-pernyataan problematik seperti menyangkal kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998, semuanya memperlihatkan satu pola: kuasa ingin menentukan apa yang layak diingat dan apa yang harus dilupakan.

Penulisan Sejarah dan Strategi Penghapusan Kekerasan Negara

Proyek Kementerian Kebudayaan ini tampak tidak berdiri dalam kehampaan ideologis. Ada arus besar yang menyertainya: penguatan narasi nasionalisme konservatif, glorifikasi peradaban purba, dan penghapusan bab-bab sejarah yang menyinggung kekuasaan militer. Penolakan Fadli terhadap istilah “penjajahan 350 tahun”, misalnya, bukan sekadar semantik. Terlihat ada upaya mengganti kerangka sejarah perjuangan dengan kerangka sejarah kejayaan, agar narasi masa lalu tidak lagi berbasis pada penindasan, tetapi pada keagungan. Ini adalah bentuk baru dari ahistorisisme: menjadikan masa lalu sebagai mitos, bukan proses.

Sikap Fadli Zon yang menyangkal keberadaan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 juga bukan sekadar komentar pribadi. Itu adalah bentuk aktif dari "politik pengingkaran" (politics of denial), sebuah strategi yang lazim digunakan dalam rezim yang enggan bertanggung jawab atas kekerasan negara. Dalam laporan resmi Komnas Perempuan dan pelapor khusus PBB, kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan tersebut telah dicatat, dilaporkan, dan diperjuangkan selama lebih dari dua dekade. Dengan menyebutnya "rumor", Fadli Zon bukan hanya menyakiti korban, tetapi juga mengingkari kerja panjang para pembela HAM, aktivis perempuan, dan sejarawan yang selama ini bekerja menjaga ingatan kolektif.

Di sinilah letak bahayanya proyek sejarah versi pemerintah, bukan sekadar memoles, melainkan menghapus luka. Ketika sejarah tidak lagi memuat episode kelam seperti Tragedi 1965–1966, penculikan aktivis, dan kerusuhan Mei 1998, maka generasi mendatang akan tumbuh tanpa kesadaran kritis tentang kekerasan struktural yang pernah, dan bisa kembali terjadi. Ingatan pada tempat yang seharusnya adalah benteng terakhir dari perlawanan. Menghapusnya berarti membuka pintu bagi represi yang berulang.

Bagi masyarakat awam, sejarah mungkin tampak seperti buku usang. Tapi bagi penguasa, sejarah adalah blueprint masa depan. Dengan menulis sejarah yang meniadakan kekejaman negara, kekuasaan memberi pesan bahwa luka tidak penting, pelanggaran HAM adalah kebetulan, dan negara tidak pernah salah. Ini adalah bentuk canggih dari legitimasi: ketika tidak bisa lagi membantah, maka hapuskan saja dari buku pelajaran.

Historiografi, Kekuasaan, dan Ilusi Objektivitas

Klaim bahwa sejarah Indonesia harus lebih "Indonesia-sentris" mengandung kontradiksi mendalam. Apa yang disebut "Indonesia" di sini? Apakah sejarah para korban dianggap tidak "Indonesia"? Apakah peristiwa pelanggaran HAM dianggap asing bagi narasi kebangsaan? Di sinilah kita melihat bahwa proyek sejarah ini sesungguhnya tidak netral. Ia sedang membentuk subjektivitas politik baru yang ingin menghidupkan kembali glorifikasi kekuasaan, menyamarkan represi, dan membangun “memori yang patuh.”

Antonio Gramsci menyebutkan bahwa dominasi kultural merupakan salah satu alat hegemoni paling kuat. Dalam konteks ini, sejarah sebagai wacana budaya menjadi sarana untuk membentuk kesadaran publik. Sejarah yang diciptakan oleh negara, terutama dalam sistem pendidikan nasional, tidak pernah netral. Ia mengajarkan siapa yang menjadi pahlawan, siapa yang dikhianati, siapa yang pantas dikenang, dan siapa yang layak dihapus. Maka ketika kekuasaan mulai menulis sejarah, pertanyaan utama bukan lagi “apa yang ditulis,” tetapi “mengapa yang lain dihapus?”

Jika Pemerintah benar-benar ingin membangun sejarah yang adil dan utuh, seharusnya yang pertama ia lakukan adalah membuka ruang partisipasi akademik dan masyarakat sipil. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: proyek dijalankan secara tertutup, waktu penyusunan tergesa-gesa, dan bahkan para pakar yang kritis disingkirkan. Maka tidak heran jika publik menaruh curiga: apakah ini sejarah atau propaganda? Apakah ini ilmu atau kekuasaan yang menyamar sebagai ilmu?

Pengalaman Indonesia sudah terlalu pahit dengan narasi-narasi tunggal yang dibuat untuk melanggengkan kekuasaan. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) pada era Orde Baru membentuk generasi yang dibesarkan dalam ketakutan terhadap “komunisme”, tetapi buta terhadap pembantaian massal. Kini, kita menghadapi ancaman serupa dengan kemasan yang berbeda: bukan lagi indoktrinasi terang-terangan, tapi penghilangan diam-diam atas kekejaman masa lalu. Lebih licik, lebih sistematis, dan karena itu lebih berbahaya.

Penutup: Sejarah Sebagai Medan Perebutan Kesadaran

Ketika sejarah disusun untuk menyenangkan telinga penguasa, maka yang kita hadapi bukan masa lalu, melainkan mitos. Dan mitos, seperti kita tahu, tidak menuntut kebenaran, hanya pengulangan. Apa yang sedang dilakukan oleh Pemerintah adalah upaya menjadikan sejarah Indonesia sebagai lahan kosong yang bisa diisi ulang sesuai arah kekuasaan hari ini. Ia ingin menjadikan sejarah sebagai cermin bagi elite politik, bukan jendela bagi rakyat untuk memahami asal-usul luka mereka.

Proyek ini tidak bisa dilihat sebagai urusan sejarawan semata. Ia adalah medan politik yang menentukan bagaimana sebuah bangsa memandang dirinya sendiri. Dan bangsa yang tidak mengenali lukanya, adalah bangsa yang akan terus mengulangi kekejamannya.

Karena itu, menolak penulisan ulang sejarah yang menyingkirkan kekerasan negara bukan berarti anti-nasionalis. Justru sebaliknya, itu adalah bentuk keberpihakan pada masa depan yang tidak dibangun di atas kebohongan. Kita berutang pada para korban, pada generasi muda, pada bangsa ini sendiri untuk menulis sejarah dengan jujur, seberat apa pun itu.

Kalau sejarah memang ditulis oleh pemenang, maka tugas kita hari ini adalah menolak kemenangan yang dibangun di atas kebungkaman. Karena sejarah bukan milik penguasa, melainkan milik mereka yang masih percaya bahwa kebenaran tidak bisa dikubur, bahkan oleh sepuluh jilid buku tebal yang ditulis di meja kekuasaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler