Kenapa Plagiarisme Kian Marak di Era Digital?

Sabtu, 5 Juli 2025 08:02 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Plagiarisme merujuk pada tindakan mengambil ide, tulisan, atau hasil karya orang lain dan mengakuinya sebagai milik sendiri.

Pendahuluan

Kemajuan teknologi informasi telah membuka akses terhadap pengetahuan tanpa batas. Dalam hitungan detik, kita bisa mendapatkan artikel ilmiah, jurnal, buku digital, hingga skripsi mahasiswa dari seluruh dunia. Namun, di balik kemudahan itu, muncul persoalan serius dalam dunia akademik: plagiarisme. Sayangnya, banyak mahasiswa maupun pelajar yang belum sepenuhnya memahami bahwa menjiplak karya orang lain—baik secara utuh maupun sebagian—adalah pelanggaran serius terhadap etika keilmuan.

Plagiarisme bukan hanya soal “copy-paste”. Ia adalah cerminan dari menurunnya rasa tanggung jawab dan krisis kreativitas. Artikel ini akan mengupas fenomena plagiarisme di era digital, mengapa hal ini terjadi, serta bagaimana cara mencegahnya melalui kesadaran literasi dan etika akademik.

Apa Itu Plagiarisme?

Plagiarisme berasal dari bahasa Latin plagiarius, yang berarti penculik. Dalam konteks akademik, plagiarisme merujuk pada tindakan mengambil ide, tulisan, atau hasil karya orang lain dan mengakuinya sebagai milik sendiri tanpa memberikan kredit yang layak. Bentuknya bisa beragam: menyalin teks tanpa mencantumkan sumber, menerjemahkan tanpa izin dan tanpa atribusi, atau menggunakan hasil penelitian orang lain sebagai milik pribadi.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 17 Tahun 2010, plagiarisme merupakan pelanggaran berat yang dapat dikenai sanksi akademik hingga pencabutan gelar.

Plagiarisme dan Era Digital

Internet seharusnya menjadi alat untuk memperluas wawasan dan mendorong kreativitas. Ironisnya, di tangan yang salah, internet justru menjadi ladang subur untuk tindak plagiarisme. Berikut beberapa penyebab mengapa plagiarisme makin marak di era digital:

  1. Kemudahan Akses Informasi
    Mahasiswa kini dapat mengakses ribuan karya ilmiah hanya dengan mengetikkan kata kunci di mesin pencari. Sayangnya, akses ini sering disalahgunakan untuk mengambil isi tulisan tanpa izin.

  2. Tekanan Akademik
    Tenggat waktu tugas, tuntutan nilai tinggi, dan minimnya waktu membuat sebagian mahasiswa memilih jalan pintas: menjiplak. Padahal, proses belajar sejatinya adalah proses berpikir, bukan sekadar menyelesaikan tugas.

  3. Kurangnya Literasi Akademik
    Tidak semua mahasiswa paham bagaimana cara mengutip yang benar, menyusun daftar pustaka, atau merujuk teori dari sumber yang sahih. Ketidaktahuan ini sering kali berujung pada plagiarisme tanpa disadari.

  4. Budaya Instan
    Di era media sosial, banyak orang ingin hasil cepat tanpa proses panjang. Mentalitas ini terbawa ke dunia akademik, di mana sebagian mahasiswa hanya ingin “hasil” tanpa menjalani proses berpikir dan menulis yang sebenarnya.

Plagiarisme: Krisis Kreativitas?

Plagiarisme bukan hanya masalah moral, tetapi juga menandakan krisis kreativitas. Dalam dunia akademik, kreativitas bukan berarti membuat sesuatu dari nol, melainkan kemampuan mengolah informasi, menganalisis, dan menyusun argumen berdasarkan referensi yang relevan.

Ketika seseorang melakukan plagiarisme, ia mematikan potensi berpikir kritis dalam dirinya. Padahal, berpikir kritis dan kreatif adalah inti dari pendidikan tinggi. Bayangkan jika semua mahasiswa hanya menyalin—tidak ada kemajuan ilmu, tidak ada inovasi, dan tidak ada pemikiran baru.

Mencegah dan Menanggulangi Plagiarisme

Untuk memutus mata rantai plagiarisme, diperlukan upaya dari berbagai pihak—mahasiswa, dosen, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas. Berikut beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan:

  1. Pendidikan Etika Akademik Sejak Awal
    Mahasiswa baru sebaiknya diberikan pemahaman sejak dini tentang pentingnya kejujuran akademik. Tidak cukup hanya menjelaskan “apa itu plagiarisme”, tapi juga “mengapa hal itu salah”.

  2. Pelatihan Penulisan Ilmiah
    Banyak plagiarisme terjadi karena ketidaktahuan. Pelatihan tentang teknik mengutip, parafrase yang benar, dan penyusunan daftar pustaka perlu diberikan secara berkala.

  3. Penggunaan Aplikasi Deteksi Plagiarisme
    Lembaga pendidikan bisa menggunakan perangkat lunak seperti Turnitin, Grammarly, atau PlagScan untuk mendeteksi kemiripan teks secara otomatis.

  4. Mendorong Orisinalitas dan Proses Berpikir
    Dosen perlu lebih menilai proses dibanding sekadar hasil akhir. Misalnya, dengan meminta outline, draf awal, revisi, dan jurnal refleksi selama penyusunan tugas akhir.

Kesimpulan

Plagiarisme adalah ancaman nyata dalam dunia akademik, terutama di tengah derasnya arus digital. Kemudahan akses informasi seharusnya menjadi kekuatan untuk memperkaya ide, bukan malah menjadi jalan pintas untuk mencontek. Lebih dari sekadar pelanggaran aturan, plagiarisme mencerminkan hilangnya nilai kejujuran dan kemalasan berpikir.

Sebagai mahasiswa dan bagian dari masyarakat intelektual, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menulis secara orisinal dan menghargai karya orang lain. Dengan demikian, kita tidak hanya menjaga integritas pribadi, tetapi juga berkontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan yang jujur dan bermartabat.

Daftar Pustaka

  1. Kemendikbud RI. (2010). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiarisme di Perguruan Tinggi.

  2. Wahyudi, R. (2021). “Plagiarisme Akademik dan Integritas Mahasiswa.” Jurnal Pendidikan dan Etika, 7(2), 55–64.

  3. Prasetyo, A. (2020). Menulis Ilmiah Tanpa Plagiarisme: Panduan Praktis bagi Mahasiswa. Yogyakarta: Deepublish.

  4. Sari, M. E. (2019). “Dampak Era Digital terhadap Etika Akademik Mahasiswa.” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 5(1), 22–31.

  5. Rahman, T. & Yulia, S. (2023). “Deteksi dan Pencegahan Plagiarisme Menggunakan Teknologi Digital.” Jurnal Teknologi Pendidikan, 9(1), 13–25.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Lita Agustin

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler