Mana yang Lebih Menantang, Menulis Resensi Film atau Buku?
Sabtu, 5 Juli 2025 08:05 WIB
Saya menemukan masing-masing menawarkan pengalaman berbeda.
Pendahuluan
Di era digital seperti sekarang, resensi menjadi bentuk tulisan yang semakin diminati. Mulai dari ulasan buku, film, hingga drama Korea, semua bisa kita temukan dengan mudah di blog, media sosial, maupun platform khusus seperti Goodreads dan Letterboxd. Namun, tahukah kamu bahwa menulis resensi buku dan resensi film membutuhkan pendekatan yang berbeda?
Artikel ini akan membandingkan pengalaman menulis resensi film dan buku, mengulas keunikan serta tantangannya masing-masing. Tujuannya adalah membantu pembaca, khususnya mahasiswa, untuk memahami perbedaan dan memilih pendekatan yang sesuai dengan minat serta gaya berpikirnya.
Apa Itu Resensi?
Resensi berasal dari bahasa Latin recensere, yang berarti menilai atau menimbang. Dalam konteks tulisan, resensi adalah ulasan atau penilaian terhadap suatu karya, baik berupa buku, film, musik, atau karya seni lainnya. Resensi tidak hanya menyampaikan ringkasan isi, tetapi juga mengkritisi, mengevaluasi, dan memberi sudut pandang pribadi penulis.
Secara umum, resensi mencakup:
-
Identitas karya (judul, penulis/sutradara, tahun terbit/rilis)
-
Sinopsis singkat
-
Penilaian subjektif dan objektif
-
Keunggulan dan kelemahan
-
Kesimpulan atau rekomendasi
Menulis Resensi Buku: Perlu Ketelitian dan Ketahanan Membaca
Menulis resensi buku bukanlah perkara mudah. Kita perlu membaca buku dari awal hingga akhir dengan cermat, memahami alur cerita, karakter, gaya bahasa, serta pesan yang ingin disampaikan penulis.
Tantangan utama dalam meresensi buku:
-
Membutuhkan Waktu Lebih Lama
Buku, terutama yang bersifat nonfiksi atau novel panjang, membutuhkan waktu dan fokus untuk dibaca. Jika tergesa-gesa, bisa saja penilaian menjadi dangkal. -
Menganalisis Gaya Bahasa dan Struktur
Penulis buku biasanya menyisipkan makna tersirat atau simbolisme yang memerlukan interpretasi. Resensi yang baik harus bisa menangkap hal-hal tersebut. -
Menjaga Objektivitas di Tengah Subjektivitas
Kadang, ketidaksukaan pribadi terhadap genre tertentu memengaruhi penilaian. Padahal, resensi harus tetap menimbang kualitas karya secara adil.
Meski begitu, resensi buku memberi peluang untuk memperluas wawasan dan memperkuat kemampuan analisis.
Menulis Resensi Film: Visual Menarik, Analisis Lebih Dinamis
Film lebih cepat dikonsumsi dibanding buku. Rata-rata satu film hanya berdurasi 1,5 hingga 2 jam. Ini menjadikan resensi film lebih praktis bagi banyak orang.
Kelebihan dan tantangan menulis resensi film:
-
Visual sebagai Penopang Cerita
Film menyampaikan pesan lewat gambar, warna, dan ekspresi aktor. Penonton bisa langsung merasakan emosi tanpa perlu membaca deskripsi panjang. -
Analisis Teknis Lebih Luas
Dalam meresensi film, kita tak hanya membahas alur cerita, tapi juga sinematografi, musik, tata cahaya, editing, hingga akting pemain. -
Risiko Terlalu Ringan
Karena durasi film singkat, beberapa resensi hanya berisi pendapat “suka atau tidak suka” tanpa analisis mendalam. Padahal, film sebagai karya seni juga layak ditinjau dari banyak aspek.
Menulis resensi film mengasah kepekaan visual dan keterampilan menilai elemen teknis secara cepat.
Perbandingan Berdasarkan Pengalaman Pribadi
Sebagai mahasiswa yang pernah menulis resensi buku dan film, saya menemukan bahwa keduanya menawarkan pengalaman berbeda. Ketika saya meresensi novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, saya merasa tenggelam dalam emosi tokoh-tokohnya dan terpacu untuk menelusuri sejarah reformasi yang menjadi latar cerita. Butuh waktu hampir seminggu untuk menamatkan dan menyusun resensinya secara mendalam.
Sebaliknya, saat saya menulis resensi film “Everything Everywhere All At Once”, saya lebih tertantang dalam memahami alur non-linier dan simbolisme visualnya. Film ini memaksa saya untuk menonton ulang beberapa adegan dan membaca wawancara sutradara agar mendapat pemahaman lebih utuh.
Dalam pengalaman saya:
-
Resensi buku lebih menguji konsistensi membaca dan pemahaman literasi.
-
Resensi film lebih menguji daya tangkap visual dan interpretasi simbolik.
Kesimpulan
Baik menulis resensi buku maupun film, keduanya membutuhkan ketajaman analisis dan kepekaan terhadap makna yang ingin disampaikan. Tidak ada yang lebih “mudah” atau “sulit” secara mutlak—semua tergantung pada preferensi dan keahlian masing-masing individu.
Jika kamu suka membaca panjang dan menikmati permainan kata, resensi buku bisa menjadi pilihan yang cocok. Namun, jika kamu tertarik pada visual, musik, dan emosi cepat, menulis resensi film bisa jadi lebih menantang dan menyenangkan.
Yang terpenting, apapun jenis resensi yang kamu tulis, lakukanlah dengan jujur, kritis, dan orisinal. Karena pada akhirnya, resensi bukan hanya soal menilai karya orang lain, tapi juga menunjukkan bagaimana cara berpikirmu sebagai pembaca atau penonton.
Daftar Pustaka
-
Sumardjo, J. & Saini, K. (2020). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
-
Prasetyo, A. (2021). Menulis Resensi Buku dan Film dengan Pendekatan Kritis. Yogyakarta: Deepublish.
-
Nurhadi, D. (2019). “Estetika Visual dalam Kritik Film.” Jurnal Ilmu Budaya, 15(2), 88–97.
-
Lestari, F. (2022). “Pengaruh Literasi Digital Terhadap Minat Menulis Resensi Mahasiswa.” Jurnal Pendidikan Bahasa, 8(1), 33–42.
-
Hidayat, A. (2023). “Analisis Perbandingan Gaya Resensi Buku dan Film di Kalangan Generasi Z.” Jurnal Komunikasi dan Media, 12(1), 56–65.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Mana yang Lebih Menantang, Menulis Resensi Film atau Buku?
Sabtu, 5 Juli 2025 08:05 WIBKenapa Plagiarisme Kian Marak di Era Digital?
Sabtu, 5 Juli 2025 08:02 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler