Korupsi Menjadi Luka Dalam yang Membusuk di Tubuh Negara

Minggu, 13 Juli 2025 12:40 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kejati Jambi Turun Kelapangan, Lakukan Kampanye Anti Korupsi
Iklan

Korupsi ibarat luka dalam yang membusuk di tubuh negara, menggerogoti sendi-sendi pemerintahan dan merusak fondasi pembangunan secara perlahan.

Korupsi ibarat luka dalam yang membusuk di tubuh negara, menggerogoti sendi-sendi pemerintahan dan merusak fondasi pembangunan secara perlahan namun pasti. Luka ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga berbahaya karena tersembunyi dan sulit disembuhkan, sehingga dampaknya meluas ke seluruh aspek kehidupan bangsa. Metafora ini menggambarkan betapa korupsi telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti integritas dan vitalitas Indonesia dari dalam.
 
Dalam data terbaru menggaris bawahi urgensi masalah ini. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2024 naik tipis menjadi 37 dari skala 0-100, dibandingkan 34 pada tahun sebelumnya, namun angka ini masih jauh di bawah rata-rata global sebesar 44 poin. Peringkat ke-99 dari 180 negara menunjukkan bahwa korupsi tetap menjadi batu sandungan serius bagi kemajuan.
 
Lebih jauh, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ribuan kasus korupsi yang ditangani sepanjang 2024 hingga awal 2025, melibatkan beragam instansi dan level jabatan, dari penyelidikan hingga eksekusi. Ini mengukuhkan fakta bahwa korupsi bukan sekadar insiden sporadis, melainkan fenomena sistemik yang mengikis kepercayaan publik dan integritas lembaga negara. https://www.kpk.go.id/id/publikasi-data/statistik/penindakan-2.
 
Korupsi juga telah merambah berbagai lini penting negara. Di sektor legislatif, puluhan hingga ratusan anggota DPR dan DPRD tercatat sebagai salah satu profesi yang paling banyak terlibat korupsi selama dua dekade terakhir. Sektor eksekutif, mulai dari pejabat kementerian hingga kepala daerah, tidak luput dari jerat korupsi yang merusak tata kelola pemerintahan.
 
Bahkan sektor yudikatif, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, tercoreng oleh keterlibatan hakim dan jaksa dalam praktik korupsi, mengancam supremasi hukum. Tidak ketinggalan, perusahaan negara (BUMN/BUMD) dan sektor swasta juga menjadi ladang subur bagi korupsi yang menggerogoti aset dan kepercayaan publik.

Akar Korupsi dan Dampak Korupsi yang Menggerogoti Kepercayaan dan Pembangunan Nasional

Fenomena korupsi yang menyebar luas ini menunjukkan bahwa ia bukan hanya soal moral individu yang rendah, melainkan juga akibat faktor sistemik yang mengakar dalam birokrasi. Lemahnya sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal, menciptakan celah besar bagi penyalahgunaan anggaran dan proyek. Audit yang tidak efektif, birokrasi yang berbelit, dan minimnya transparansi dalam pengadaan barang dan jasa, semua ini memperparah kondisi dan memungkinkan korupsi berlangsung tanpa terdeteksi.
 
Di samping itu, budaya dan norma sosial yang permisif turut menjadi pemicu utama. Budaya gratifikasi, suap, dan keserakahan telah lama mengakar, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi praktik korupsi. Rendahnya integritas individu, seringkali diperburuk oleh kesejahteraan yang tidak memadai dan lemahnya penegakan hukum, mendorong banyak pejabat menyalahgunakan wewenang.
 
Lemahnya hukuman dan proses peradilan yang lambat juga gagal menciptakan efek jera yang memadai. Faktor sistemik dan budaya permisif ini saling memperkuat, membentuk lingkaran setan yang sulit diputus, membuat korupsi menjadi masalah yang sangat kompleks.
 
Korupsi membawa konsekuensi destruktif yang sangat luas terhadap negara dan rakyat. Dampak paling nyata adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Iklim investasi menjadi tidak sehat, membuat investor enggan menanamkan modal akibat tingginya risiko dan biaya ilegal. Ini berujung pada menurunnya produktivitas, berkurangnya lapangan kerja, dan terhambatnya pembangunan infrastruktur esensial. Negara juga kehilangan potensi pendapatan pajak yang besar, sebab dana yang seharusnya dialokasikan untuk pelayanan publik dan pembangunan malah dikorupsi.
 
Lebih lanjut, korupsi memperparah kemiskinan dan ketimpangan sosial. Sumber daya publik yang seharusnya dinikmati seluruh lapisan masyarakat dialihkan ke tangan segelintir orang. Akibatnya, kualitas layanan publik menurun drastis, jalan rusak, sekolah ambruk, dan fasilitas kesehatan yang tidak layak menjadi pemandangan umum. Ketimpangan pendapatan melebar karena hanya mereka yang berkuasa yang diuntungkan, sementara rakyat kecil harus menanggung beban dan kehilangan hak-hak dasar mereka.
 
Selain itu, korupsi secara fundamental mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara dan proses demokrasi. Ketika pejabat publik terlibat korupsi, legitimasi pemerintah dipertanyakan, dan partisipasi politik masyarakat menurun. Rakyat menjadi apatis, kehilangan kepercayaan pada sistem demokrasi, dan harapan akan perubahan memudar. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memicu instabilitas politik, protes sosial, dan bahkan konflik horizontal, karena masyarakat merasa keadilan hanya menjadi milik elit yang korup.

Agenda Anti-Korupsi antara Harapan dan Tantangan Berat

Pemerintah telah merespons dengan berbagai kebijakan anti-korupsi. Agenda terbaru seperti Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) 2025-2026 yang diinisiasi melalui Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), fokus pada perizinan, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi. KPK juga memperkenalkan indikator Monitoring Center for Prevention (MCP) 2025 untuk daerah, dan pemerintahan Prabowo-Gibran memasukkan penguatan KPK serta edukasi anti-korupsi sebagai bagian dari misi reformasi.
 
Namun, efektivitas program ini masih menjadi pertanyaan besar dan menuai kritik tajam. Transparency International Indonesia (TII) menilai Aksi PK 2025-2026 disahkan secara prematur dan kurang melibatkan partisipasi publik. Evaluasi Stranas PK sejak 2018 belum menunjukkan bukti ilmiah kuat mengenai dampak signifikan pada IPK. Kebijakan yang ada dinilai masih berkutat pada korupsi administratif kecil, sementara korupsi politik dan korupsi besar belum tersentuh serius. Kritik juga menyoroti bahwa agenda ini terlalu selebratif dan belum efektif membendung dominasi elit politik-bisnis dalam proses kebijakan dan penegakan hukum.
 
Tantangan terbesar dalam pemberantasan korupsi terletak pada potensi intervensi politik dan lemahnya implementasi. Tekanan politik terhadap lembaga penegak hukum, terutama KPK, seringkali menghambat penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus besar, bahkan mengancam independensi lembaga tersebut. Selain itu, implementasi kebijakan pencegahan kerap terhambat oleh kurangnya koordinasi, keterbatasan sumber daya, dan resistensi dari pihak-pihak yang diuntungkan oleh status quo. Tanpa penguatan independensi lembaga penegak hukum, keterlibatan aktif masyarakat sipil, dan komitmen politik yang konsisten, agenda anti-korupsi berisiko hanya menjadi slogan tanpa perubahan nyata di lapangan.

Mengobati Luka Korupsi

Korupsi memang benar-benar menjadi luka dalam yang membusuk di tubuh negara, luka yang tak hanya menimbulkan rasa sakit, tetapi juga perlahan menggerogoti vitalitas bangsa dari dalam. Jika tidak segera diobati, luka ini akan terus menginfeksi dan melemahkan sendi-sendi pemerintahan, menghambat pertumbuhan ekonomi, serta merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Korupsi bukan lagi sekadar masalah individu, melainkan penyakit sistemik yang mengancam masa depan anak bangsa dan kedaulatan Indonesia.
 
Penanganan korupsi secara tegas dan tuntas bukanlah pilihan, melainkan keharusan mutlak demi kelangsungan hidup negara. Setiap detik kebijakan dan program anti-korupsi tertunda, semakin besar pula risiko Indonesia kehilangan peluang untuk maju dan bersaing di kancah global. Masyarakat pun akan semakin apatis dan kehilangan harapan jika korupsi terus dibiarkan merajalela tanpa ada penegakan hukum yang nyata dan independen.
 
Oleh karena itu, seluruh elemen bangsa—baik pemerintah, lembaga penegak hukum, maupun masyarakat sipil—harus bersatu dan berkomitmen kuat untuk mengobati luka dalam ini. Hanya dengan tindakan nyata, transparansi, dan partisipasi aktif semua pihak, masa depan Indonesia bisa diselamatkan dari ancaman korupsi yang membusuk. Negara ini layak untuk bangkit dan tumbuh menjadi bangsa yang sehat, bermartabat, dan berintegritas.
 
oleh: Akedwina Nababan
Mahasiswa Fakultas Hukum UNIKA

Bagikan Artikel Ini
img-content
Akedwina Nababan

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler