Perempuan Bernama Arjuna 2

Minggu, 13 Juli 2025 12:15 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Perempuan Bernama Arjuna 2
Iklan

Perempuan Bernama Arjuna 2 mendiskusikan tentang sinologi.

Judul: Perempuan Bernama Arjuna 2

Penulis: Remy Sylado

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun terbit: 2014

Penerbit: Nuansa Cendekia

Tebal: 312

ISBN: 978-602-7768-61-1

 

Perempuan Bernama Arjuna 2 ini membahas sinologi. Sinologi adalah ilmu yang mempelajari tentang budaya, termasuk bahasa, sastra, sejarah, dan filsafat. Remy Sylado menggambarkan kesemuanya tersebut dengan cukup rinci dan mudah dicerna. Tokoh utama novel ini tetap sama dengan novel pertama, yaitu Arjuna dan Jean-Claude van Damme, suaminya. Jika di seri pertama Remy Sylado menjelaskan filsafat barat melalui kehidupan Arjuna yang sedang kuliah teologi di Belanda, untuk menjelaskan sinologi, dia menggunakan masa bulan madu Arjuna dengan van Damme di Bandung. Arjuna dan suaminya bertemu dengan tiga tokoh Tionghoa selama di Bandung. Ketiga tokoh tersebut, yakni: Kan Hok Hoei (intelektual), Jan Liem (seorang pemusik dan seniman seruling) serta Yenyen (anak Jan Liem yang sarjana hukum). Remy Sylado menggunakan ketiganya untuk menjelaskan tentang berbagai aspek sinologi.

Dari Kan Hok Hoei Arjuna dan van Damme menyerap sinologi dari aspek budaya, musik dan bahasa. Kan Hok Hoei menjelaskan tentang konsep hubungan suami istri dari perspektif Tionghoa. Sebuah perspektif yang sangat sakral dan membawa kebahagiaan bagi kedua pasangan. Istilah xing jiao (hubungan suami istri) adalah konsep yang lebih sopan, terhormat, beradab, dan berbudaya, dibanding dengan konsep/kata yang dipakai di berbagai kebudayaan. Kan Hok Hoei membandingkan konsep xing jiao dengan berbagai istilah yang dipakai di berbagai etnik di Indonesia. Ia juga membandingkan konsep ini, yang menurutnya lebih menghargai perempuan dibanding apa yang dijelaskan dalam Alkitab. Konsep hubungan suami istri ini dibahas pertama dalam novel, karena konteksnya adalah suasana bulan madu Arjuna dan van Damme.

Melalui tuturan Kan Hok Hoei, Remy Sylado menjelaskan tentang konsep lukisan Tiongkok. Lukisan Tiongkok kuno membiarkan latar belakangnya kosong. Hal ini berbeda dengan konsep lukisan barat yang memberi detail latar belakang. Perbedaan cara melukis ini didasarkan pada perbedaan filsafat keindahan antara barat dan Tiongkok. Keindahan Tiongkok terletak pada obyek itu sendiri, sedangkan keindahan lukisan barat yang berhubungan dengan konteks.

Selain menjelaskan tentang hubungan suami istri dan lukisan, Kan Hok Hoei juga digunakan oleh Remy Sylado untuk menjelaskan tentang makanan dan musik. Tentu saja hubungan antara makanan dan musim negeri Tiongkok dan pengaruhnya di makanan dan musik di Indonesia. Umpamanya lagu Batak sing sing so mengambil nada-nada huang mei tiau (do re mi sol la). Sing sing so dalam bahasa Batak tak mempunyai arti khusus, sedangkan xing xing suo dalam Bahasa Mandarin berarti ”bintang-bintang bertali.” Demikian pula nada slendro yang mengadopsi laras musik Tiongkok. Disebut slendro karena adopsi terjadi di masa Dinasti Syailindra.

Dari Jan Liem yang ahli sejarah, Remy Sylado menjelaskan tentang keterkaitan sejarah Indonesia dan sejarah Tiongkok. Termasuk juga sejarah gerakan orang-orang Tionghoa di masa kolonial maupun di masa sekarang. Perjumpaan kerajaan Jawa dengan kekaisaran di Tiongkok jaman Kertanegara dan Majapahit (Cheng Ho), Pemberontakan orang Tionghoa di tahun 1740 dan eksesnya sampai perang Sepanjang (Tan Pan Tjiang), berdirinya Thiong Hoa We Kuan, peran tokoh Tionghoa di masa sebelum dan sekitar Kemerdekaan, peristiwa G30S 1965 dan bahkan sampai ke era Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta dibahas dengan tuntas.

Menarik bahwa Remy Sylado juga membahas tentang jamu. Menurut Remy Sylado yang menggunakan tokoh pengusaha jamu dari Semarang, jamu adalah hasil akulturasi budaya Tiongkok dengan Jawa. Argumennya adalah bahwa salah satu nakhoda kapal Ceng Ho yang sakit, terpaksa harus turun di Semarang dalam pelayarannya ke Majapahit. Nakhoda bermarga Wang – yang dikenal sebagai Dampo Awang oleh orang Semarang itulah yang kemudian meramu jamu menggunakan pengetahuan obat-obatan herbal Tiongkok dengan herbal lokal.

Sedangkan melalui sosok Yenyen, anak dari Jan Liem, kita disodori pergumulan Tionghoa dan kekristenan serta masalah Tionghoa yang kulminasinya pada peristiwa kerusuhan 1998. Yenyen yang menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum menulis skripsi tentang persoalan orang Tionghoa yang masih belum terurai. Remy Sylado juga mencuplik dua pendekatan tokoh Tionghoa dalam mengurai kekusutan masalah Tionghoa ini. Ia menyebut Siauw Giok Thjan yang menyarankan penyelesaian masalah Tionghoa melalui jalur sosialisme dan Ong Tjong Hay (Sindhunata) yang mendirikan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) yang menyarankan penyelesaian melalui jalur asimilasi. Sementara Remy Sylado, meminjam pemikiran Yenyen menyarankan penyelesaian melalui jalur politik, dimana orang Tionghoa harus berani masuk politik. Syaratnya orang Tionghoa yang masuk politik harus berani menyuarakan posisi orang Tionghoa dan tidak malah menjadi bagian dari politisi busuk.

Masih banyak detail lain tentang sinologi yang disajikan oleh Remy Sylado. Memang buku ini adalah rijsttafel sinologi. Kita bisa menikmati berbagai hidangan yang semuanya haujek. Sinologi yang bisa dinikmati sambil santai sambil mengikuti bulan madu Arjuna dengan Jean-Claude van Damme. 938

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler