Jurnalis, pegiat komunitas warga, dan pengamat sosial perkotaan
Langkah Kecil di Champs-Élysées: Catatan dari Parade Bastille Day 2025 Paris
Senin, 14 Juli 2025 07:22 WIBHari Bastille merayakan, memeringati, hari di mana rakyat Prancis menyerbu penjara Bastille, 14 Juli 1789.
Oleh Mahar Prastowo
Ada saat di mana sebuah langkah kaki tak sekadar berpindah tempat. Ada saat di mana seragam tak hanya kain dengan lambang pangkat. Di sebuah jalan yang dulu dibangun Raja Louis XIV, yang kemudian jadi simbol perlawanan dan kebebasan rakyat Prancis, langkah kaki pasukan Indonesia menjadi sesuatu yang lebih dari defile: ia adalah pernyataan.
Parade Bastille Day, 14 Juli 2025, di Avenue des Champs-Élysées, Paris. Jalan sepanjang 1,9 kilometer itu, yang bermuara di Place de la Concorde, menampung sejarah panjang Eropa — dari kejayaan istana Bourbon, revolusi, invasi Nazi, hingga parade pembebasan. Tahun ini, di jalan itu, sejarah kita — yang jauh dari Paris, dari tropis, dari tanah basah padi dan tebu — hadir juga.
Sejarah dan Ingatan
Hari Bastille merayakan hari di mana rakyat Prancis menyerbu penjara Bastille, 14 Juli 1789. Itu bukan hanya penjara. Bastille adalah simbol absolutisme yang menindas. Saat itu, rakyat tak hanya meruntuhkan batu, melainkan merobohkan rasa takut.
Sejak itu, setiap tahun, Bastille Day menjadi pengingat tentang kebebasan: Liberté, Égalité, Fraternité.
Dan tahun ini, Indonesia hadir sebagai tamu kehormatan. Sebuah negara muda — kalau dibandingkan Prancis — dengan sejarah revolusi sendiri. Dengan ingatan tentang penjajahan, perang kemerdekaan, dan keringat pendiri bangsa yang dulu menulis Proklamasi di sehelai kertas.
Langkah Tegap dan Simbol
451 personel: pasukan upacara dan taruna drumband gabungan Akmil, AAL, AAU, dan Akpol. Mereka adalah Satgas Patriot II.
Mereka bukan sekadar memikul senjata tiruan, bukan hanya memukul drum dan meniup terompet. Mereka memikul simbol: bahwa Indonesia adalah bangsa yang berdiri setara, yang diundang bukan hanya untuk mengisi panggung, tetapi karena dihormati.
Ketua Umum Senkom Mitra Polri, Katno Hadi, menyebut partisipasi ini sebagai wujud kesiapan komponen bangsa. Pernyataan itu sederhana, nyaris birokratis. Namun maknanya lebih luas: kita, bangsa dengan luka-luka sejarah, hadir di panggung internasional bukan sebagai penggembira, tapi sebagai mitra yang diundang hormat.
Antara Senjata dan Gamelan
Diplomasi militer selalu keras: derap langkah, barisan rapi, kilau medali. Tapi di Bastille Day, ada ruang untuk yang lembut: gamelan yang ditabuh pelan, tarian tradisional, paviliun yang menyajikan rendang dan sate ayam.
Di Paris, dua wajah Indonesia hadir: wajah tentara yang gagah, dan wajah rakyat yang menari.
Inilah diplomasi ganda: keras dan lunak. Tangan yang mengepal dan tangan yang merangkul.
Kota dan Ingatan
Paris, di hari itu, berubah jadi museum terbuka. Pesawat Rafale membelah langit, jejak asapnya membentuk bendera Prancis. Di jalan, ribuan warga dan turis memenuhi trotoar.
Malam harinya, di Champ de Mars, kembang api meledak di atas Menara Eiffel. Semua orang menengadah, mengabadikan momen di ponsel mereka.
Ada ironi: perayaan kebebasan dirayakan dengan ritual yang diulang setiap tahun. Kebebasan, yang dulu lahir dari kemarahan spontan, kini jadi acara resmi dengan protokol.
Tapi mungkin, itulah cara sejarah bertahan: sebagai peringatan yang diulang, agar kita tak lupa.
Dari Jakarta ke Paris
Di Jakarta, seminggu sebelumnya, di Lanud Halim Perdanakusuma, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin melepas kontingen dengan pidato singkat. "Ini kebanggaan," katanya.
Bagi prajurit muda yang baru pertama kali ke luar negeri, mungkin ada rasa gugup, ada juga bangga. Mereka tak hanya membawa nama TNI. Mereka membawa nama Indonesia.
Seorang taruna mungkin sempat melirik Menara Eiffel dari bus, membayangkan bahwa seragamnya, yang berat di pundak, juga berisi tanggung jawab: menampilkan Indonesia yang damai, modern, dan profesional.
Kata yang Tertinggal
Goenawan Mohamad pernah menulis: sejarah bukan hanya tentang apa yang terjadi, tetapi juga tentang apa yang tertinggal sebagai ingatan.
Mungkin, bagi rakyat Prancis, langkah kaki pasukan Indonesia hanya fragmen kecil. Tapi bagi kita, ia akan tertinggal sebagai satu bab dalam sejarah: bahwa kita pernah hadir, di Champs-Élysées, sebagai tamu yang dihormati.
Bukan sebagai koloni. Bukan sebagai bangsa yang dijajah.
Tapi sebagai sahabat.
Dan mungkin, suatu hari, saat parade itu hanya tinggal rekaman video dan catatan, ada anak muda Indonesia yang menonton ulang — dan berbisik pelan: "Kami juga pernah di sana."
-
Feature ini ditulis untuk Indonesiana | Tempo

Penulis Indonesiana
5 Pengikut

Antara Tol, Kali, dan TPU: Dilema Warga Kebon Pala di Ujung Jalan
Kamis, 14 Agustus 2025 09:16 WIB
Skandal Penundaan Eksekusi Silfester Matutina
Rabu, 13 Agustus 2025 06:37 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler