Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan
Ketimpangan Keadilan bagi Rakyat Kecil
Kamis, 17 Juli 2025 20:54 WIB
Pemerintah minim dalam mengatasi ketimpangan keadilan inklusif, terutama bagi rakyat kecil.
***
Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Menegaskan bahwa hukum diatas segalanya dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, bernegara yang harus dipatuhi oleh semua orang termasuk penguasa. Selain sebagai dasar kepentingan hidup, hukum berperan sebagai panglima yang menjamin keadilan terhadap harkat dan martabat semua orang. Namun bagi beberapa orang terkhusus rakyat miskin fungsi hukum tidak sejalan dengan tujuan regulasi. Hukum bukan lagi sebagai pelindung, ia telah berubah menjadi ancaman. Hukum yang berubah peran membawa ketidakadilan dan penderitaan terhadap kehidupan rakyat kecil.
Penyebab inkonsistensi antara tujuan hukum dan penegakannya antara lain aturan hukum yang tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat secara inklusif, oknum penegak hukum yang bias menangani perkara, sistem peradilan yang tidak berpihak kepada keadilan. Tujuan pembentukan Undang-Undang kini dipertanyakan, apakah rakyat kecil turut dirangkul untuk disejahterakan haknya dalam hukum, atau Undang-Undang dibuat untuk meringankan beban penguasa atau para elit saat melakukan penyimpangan hukum.
Sungguh ironis jika melihat dari kasus-kasus yang terjadi, mulai dari kasus pidana, sengketa perdata, sengketa tanah dan lain-lain, orang miskin selalu menjadi tumbal keserakahan penguasa. Kelemahan mereka dijadikan tangga oleh para elit demi kepuasan pribadi. Berteriak dalam diam sudah menjadi kewajiban si miskin. Mereka enggan buka suara karena tahu tidak ada yang memihaknya dalam membantu menuju keadilan yang sebagaimana selalu dielu-elukan sebagai esensi tertinggi dari penegakan hukum. Meskipun sudah berusaha untuk pendapat perlakuan hukum, meminta kepastian hukum di instansi para penegak hukum, si miskin selalu pulang dengan wajah lesu dan harus menunggu dalam waktu yang lama. Setiap waktu rakyat kecil berharap keadilan segera menghampiri walaupun tahu hasilnya selalu nihil. Pada akhirnya mereka dipaksa diam diselimuti kesedihan dan ketakutan karena keadilan tidak kunjung datang, sedangkan ancaman dan pelanggaran hukum bertindak bebas terhadap mereka.
Dalam kasus pidana kita sering menemukan ketidakadilan hukum melalui penerapan sanksi, dimana “orang-orang berduit” mendapatkan sanksi pidana yang tidak sesuai dengan aturan hukum, sehingga menjadi trauma tersendiri bagi mereka yang menjadi korban. Ironisnya jikalaupun si miskin tidak mendapat permintaan maaf tulus dari pelaku, setidaknya hukum harus mengadili pelaku dengan mempertimbangkan kerugian korban secara menyeluruh, agar korban yang dirampas haknya bisa melanjutkan hidup dengan baik. Namun lagi-lagi korban yang merupakan rakyat kecil dan lemah menurut hukum kalah dan tertunduk lesu di pengadilan karena kecewa dengan putusan pengadilan yang tidak mencerminkan keadilan.
Beberapa kasus viral belakangan ini, siswa SMAN Bandung yang ditabrak sampai meninggal, masih hangat dibicarakan. Hasthag di media sosial masih ramai pengunjung, kerinduan membuat netizen berpegang tangan online untuk membantu keluarga korban mencapai keadilan secara hukum dan mental. Namun sampai saat ini pihak keluarga masih dihantui kesedihan yang mendalam, bukan hanya karena kehilangan sosok tersayang untuk selamanya, tetapi juga terluka perasaannya karena hukum tidak membela sesuai dengan prinsip keadilan yang mereka harapkan. Perbuatan pelaku mengakibatkan korban meninggal dunia, dan sepenuhnya melanggar aturan lalu lintas.
Hukum menetapkan pidana denda 12 juta dan pidana penjara 6 tahun kepada pelaku. Keluarga korban tidak puas dengan penetapan sanksi, uang 12 juta bahkan tidak bisa memperbaiki motor sang anak terlebih lagi membayar mental mereka, pidana 6 tahun terlalu sedikit dibandingkan cita-cita sang anak. Ironisnya saat ini pelaku sudah jadi tahanan rumah dan diperbolehkan berkumpul bersama keluarganya. Tersangka yang merupakan seorang pengusaha terkenal di Bandung diringankan sanksi pidananya dengan dalih kelalaian, usia lanjut, kesehatan dan lain sebagainya. Tapi pihak korban dipaksa untuk mengikhlaskan takdir, dan penegak hukum tidak mengindahkan perasaan keluarga korban. Yang paling menderita bukanlah tersangka, tapi korban dan keluarganya. Maka benarlah jika hari ini ingin mencari keadilan, carilah di kuburan. Karena keadilan sudah lama mati.
Peristiwa ini merupakan potret nyata betapa lamban dan tumpulnya penegakan hukum di negeri ini. Masyarakat ataupun netizen yang geram sistem hukum negara ini kerap melontarkan sindiran-sindiran. Sindiran-sindiran keras yang diutarakan rakyat tidak membuat penguasa malu dan tahu diri. Kondisi seperti inilah yang memicu lahirnya hubungan buruk rakyat dengan pemerintah. Akibat fatalnya masyarakat tidak berkenan mematuhi produk-produk hukum yang dikeluarkan lembaga pemerintah dan cenderung melawan kekuasaan pemerintah.
Dalam sengketa perdata, kita dapat menemukan kasus-kasus yang dimenangkan secara bias dalam sistem peradilan. Dikalangan masyarakat “orang miskin dilarang mencari keadilan” sudah menjadi rahasia umum. Beberapa faktor yang mendukung hal ini yaitu, akses terhadap keadilan yang sangat terbatas, biaya yang tinggi untuk berperkara, kurangnya pemahaman hukum, minimnya penyediaan bantuan hukum gratis, akibatnya orang miskin seringkali kesulitan untuk memperjuangkan hak-hak mereka di pengadilan bahkan ketika mereka berada dipihak yang benar. Dengan hal demikian, orang miskin terpaksa mundur sebelum bertarung melihat beratnya beban yang akan mereka hadapi didepan sana, bahkan berpotensi melukai dirinya sendiri sebab ada intimidasi dari pihak lawan.
Sengketa tanah merupakan fenomena hukum yang sering terjadi di negara ini. Demi tanah orang-orang rela mengorbankan raga dan nyawa untuk mengantongi surat kepemilikan. Masyarakat miskin seringkali menjadi korban sengketa tanah karena kurangnya bukti kepemilikan atau karena ancaman dari pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Tanah miliknya dirampas oleh orang yang punya kekuasaan menduplikat bukti-bukti kepemilikian hak atas tanah. Lebih lanjut rakyat kecil tidak diberikan ganti rugi jikalau adapun ganti rugi tidak sesuai dengan kerugian mereka. Penjanjian utang-piutang, sengketa warisan, sengketa ketenagakerjaan juga tidak luput sebagai beban hukum yang berat bagi si miskin. Masyarakat kurang mampu dituntut untuk menerima ketidakadilan tanpa hak untuk bersuara. Dalam beberapa kasus, ketidakadilan juga terlihat dari penetapan orang miskin sebagai tersangka atau tergugat, penjatuhan sanksi yang berat, lebih berat dibandingkan sanksi pejabat-pejabat yang korupsi dan pejabat yang menyimpang menjalankan fungsinya demi menimbun uang di brankas pribadinya.
KESIMPULAN
Rakyat kecil pantas mendapatkan perlindungan dan penegakan HAM. Tetapi banyak diantara mereka yang kehilangan hak-hak yang dijanjikan. Hak untuk kesetaraan dimata hukum dan peradilan yang adil, hak tanpa ada diskriminasi, dan hak-hak lainnya sesuai dengan prinsip keadilan, kesetaraan, dan keadaban. Sila ke-5 Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Menegaskan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menolak adanya ketimpangan dalam hal apapun. Semua rakyat berhak atas perlindungan hukum dan keadilan demi kehidupan rakyat yang adil, stabil dan sejahtera.
Regulasi, hukum, keadilan dirancang sebaik mungkin untuk menyempurnakan kekurangan sistem kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Rakyat menjadi alasan utama pembentukan undang-undang, agar hidup lebih tertata dalam aturan. Namun bagi rakyat miskin, hukum dan keadilan bukan sesuatu yang patut diagung-agungkan. Bagi mereka keadilan adalah cerita fiksi, suatu hal yang abstrak, bagi mereka keadilan sebatas bunga tidur yang sulit ditemukan dalam realitas. Hukum seperti duri dalam sekam, apabila mereka berurusan dengan hukum maka bersiaplah untuk menderita. Bagi mereka regulasi adalah tulisan diatas tumpukan kertas yang tidak artinya.
Keadilan inklusif tidak dapat terwujud dengan sistem hukum yang kacau ini. Penegak hukum yang menyimpang dan regulasi yang tidak responsif semakin membuat rakyat kecil jauh dari keadilan. Apabila tidak ada upaya pemberantasan penyimpangan dan pembaharuan penegak hukum dan struktur hukum, rakyat kecil semakin jauh tertinggal dan menjadi alat kesejahteraan penguasa. Jerat kemiskinan jerat ketidakadilan, menjadi potret nyata penderitaan rakyat kecil, dan pemerintah yang seharusnya mengayomi berubah peran menjadi sumber penderitaan bagi rakyat kecil.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Ketimpangan Keadilan bagi Rakyat Kecil
Kamis, 17 Juli 2025 20:54 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler