Etika Profesi Hakim, Menjaga Keadilan di Tengah Skandal Suap
Minggu, 20 Juli 2025 07:34 WIB
Skandal suap yang melibatkan hakim tidak hanya merusak citra lembaga peradilan, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum
***
Profesi hakim merupakan elemen vital dalam sistem peradilan yang berfungsi sebagai penjaga keadilan, penegak hukum, dan pelindung hak asasi manusia. Dalam menjalankan tugasnya, seorang hakim tidak hanya dituntut cakap dalam hukum, tetapi juga memiliki integritas moral yang tak tergoyahkan. Mereka berperan sebagai tiang penyangga utama dalam menjamin tegaknya keadilan dan supremasi hukum dalam sebuah negara.
Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, wajah peradilan kita tercoreng oleh skandal suap yang melibatkan oknum hakim. Misalnya, kasus hakim dalam perkara minyak goreng, yang berakhir dengan pengembalian uang suap sebanyak Rp2 miliar. Di satu sisi, ada harapan akan adanya titik terang dan upaya pembersihan. Di sisi lain, ini juga menjadi pengingat pahit betapa etika profesi hakim seringkali tergerus di tengah godaan finansial dan kekuasaan. Mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan malah menjadi aktor dalam panggung ketidakadilan.
Skandal suap yang melibatkan hakim tidak hanya merusak citra lembaga peradilan, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Harapan publik seolah terkikis karena keadilan yang dibutuhkan dibutuhkan justru praktik gelap di balik meja hijau yang muncul ke permukaan. Publik merasa dikhianati oleh institusi yang seharusnya menjadi tempat berlindung.
Ancaman Kredibilitas dan Independensi Peradilan
Skandal suap di tubuh hakim telah mengoyak kredibilitas sistem peradilan. Berdasarkan pemantauan ICW, sejak tahun 2011 hingga tahun 2024, terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Mereka diduga menerima suap untuk “mengatur” hasil putusan. Mulai dari perkara kecil hingga mega-kasus, semua menunjukkan retaknya integritas.
Ironisnya, praktik suap seringkali melibatkan jaringan terorganisir. Ini bukan tentang pelanggaran individu semata, tetapi bagian dari sistem yang korup. Pengawasan internal dari Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) kerap lemah dan tidak proaktif. Praktik jual beli putusan, suap perkara, dan manipulasi bukti terus terjadi.
Dampak dari praktik ini meluas ke berbagai sektor. Investasi terhambat karena ketidakpastian hukum. Masyarakat kecil kehilangan kepercayaan terhadap pengadilan. Bahkan, negara bisa mengalami kerugian besar akibat putusan yang tidak adil. Ini menciptakan preseden buruk dalam kehidupan bernegara yang demokratis.
Kurangnya transparansi memperburuk situasi. Proses hukum yang rumit dan sulit diakses memberi ruang bagi suap. Publik kesulitan memantau jalannya perkara. Celah ini dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk meraup keuntungan pribadi. Akuntabilitas menjadi lemah sejak awal hingga akhir proses peradilan.
Budaya impunitas juga masih menjadi masalah serius. Oknum yang terlibat suap tidak jarang mendapat hukuman ringan. Proses hukum terhadap mereka lamban dan tidak transparan. Ini memberi sinyal bahwa pelanggaran etika bisa ditoleransi, bahkan dilindungi. Tanpa efek jera, praktik suap akan terus berulang.
Membangun Benteng Integritas dan Transparansi Peradilan
Sejatinya, profesi hakim adalah benteng terakhir keadilan. Di pundak merekalah harapan rakyat untuk mendapatkan putusan yang adil dan benar digantungkan. Mereka disumpah untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, berdasarkan fakta, dan nurani. Sangat penting penguatan etika profesi hakim secara fundamental. Ini bukan hanya soal sumpah jabatan, tetapi penanaman nilai-nilai moral dan integritas sejak dini, bahkan sejak pendidikan calon hakim. Kurikulum calon hakim wajib memuat materi etika, tanggung jawab sosial, dan independensi.
Pengawasan juga harus diperkuat. Mahkama Agung dan Komisi Yudisial perlu bersinergi dalam sistem pengawasan yang aktif dan transparan. Masyarakat harus bisa melaporkan pelanggaran tanpa takut. Ini juga berarti mempercepat proses pemeriksaan dan penjatuhan sanksi bagi hakim yang terbukti melanggar kode etik, bahkan hingga pemecatan tidak hormat dan pidana.
Demi memiminimalisir berbagai kemungkinan, peningkatan kesejahteraan hakim juga patut dipertimbangkan. Meskipun bukan jaminan mutlak untuk memberantas suap, gaji dan tunjangan yang layak dapat mengurangi tekanan ekonomi yang mungkin mendorong oknum hakim mencari jalan pintas. Dan patut diapresiasi kebijakan presiden Prabowo yang menaikkan gaji para hakim sebesar 280%. Kita tahu betul, negara-negara dengan tingkat korupsi rendah biasanya memberikan kompensasi yang adil bagi aparat hukumnya. Namun perlu diperhatikan bahwa kesejahteraan harus barengi dengan pengawasan dan sanksi ketat bagi yang menyimpang.
Selain itu, reformasi struktural dalam sistem peradilan harus dilakukan, termasuk mekanisme seleksi, promosi, dan rotasi hakim yang transparan dan berbasis kompetensi. Hal ini penting untuk memutus jaringan mafia peradilan dan menghilangkan pengaruh politik atau kepentingan non-profesional dalam penunjukan hakim. Keterlibatan lembaga negara lain dan masyarakat sipil dalam pengawasan juga harus diperkuat agar lembaga peradilan tetap independen namun akuntabel.
Oleh karena itu, untuk memulihkan kepercayaan publik dan menegakkan keadilan yang sejati, diperlukan reformasi menyeluruh yang mengedepankan penguatan mekanisme pengawasan, pendidikan etika profesi yang berkelanjutan, serta transparansi dalam proses peradilan. Penegakan hukum yang tegas terhadap hakim korup dan reformasi struktural dalam sistem peradilan menjadi langkah krusial untuk memutus rantai korupsi dan mafia peradilan. Hanya dengan komitmen kuat terhadap integritas dan tanggung jawab moral, serta dukungan pengawasan yang efektif, profesi hakim dapat kembali menjadi simbol keadilan yang dipercaya masyarakat, sehingga supremasi hukum dapat ditegakkan secara konsisten dan berkelanjutan demi masa depan bangsa yang lebih adil dan bermartabat.
Penulis:
1. Henny Melany seorang mahasiswa di universitas Katolik Santo Thomas. Kolaborasi dengan
2. Helena Sihotang Seorang Dosen di Universitas Katolik Santo Thomas

Penulis seorang mahasiswa di Universitas Katolik Santo Thomas
0 Pengikut

Dunia Menjadi Satu Pasar, Siapa yang Siap Bertarung?
Senin, 21 Juli 2025 19:47 WIB
Etika Profesi Hakim, Menjaga Keadilan di Tengah Skandal Suap
Minggu, 20 Juli 2025 07:34 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler