Keganjilan Logika Keagamaan dalam Fatwa Haram Sound Horeg oleh MUI
Selasa, 29 Juli 2025 09:15 WIB
Alih-alih mengharamkan secara sepihak, seharusnya MUI merumuskan aturan teknis yang proporsional: berapa batas volume maksimal, jam operasi dll
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang menyatakan haram penggunaan sound horeg dalam konteks tertentu telah memantik perdebatan serius di tengah masyarakat. Di Jawa Timur —daerah dengan populasi muslim terbesar di Indonesia dan masyarakat Nahdiyin yang dikenal aktif merawat tradisi keislaman— penggunaan sound system dalam hajatan, shalawatan, hingga maulid adalah bagian dari kehidupan sosial dan keagamaan yang mengakar. Maka ketika muncul fatwa haram, masyarakat pun terhenyak. Angel, geleng-geleng kepala!
Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 yang dirilis MUI Jawa Timur memang menyebutkan bahwa penggunaan sound system menjadi haram jika menimbulkan mudarat: mengganggu kesehatan, merusak fasilitas, atau menyertai kegiatan bermuatan maksiat. Namun, fatwa ini secara eksplisit memusatkan perhatian pada jenis sound horeg, yaitu parade audio keliling yang sering dipakai dalam arak-arakan hajatan. Sekilas, ini terlihat masuk akal. Tapi bila ditelisik lebih dalam, ada keganjilan dalam penerapan logika keagamaannya.
Dalam Islam sebuah perkara tidak bisa serta-merta dihukumi haram kecuali ada dalil yang kuat dan jelas. Di sinilah kaidah Al-ashlu fil asy-ya’i al-ibahah hatta yadulla dalil ‘ala tahrimiha” segala sesuatu itu mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Maka, sebelum mengharamkan sound system, terlebih dahulu harus dibuktikan apakah alat tersebut memang intrinsik mendatangkan maksiat? Ataukah hanya sekadar sarana yang bisa digunakan untuk kebaikan atau keburukan, tergantung niat dan pengelolaannya?
MUI dalam fatwanya menyebut soal kemaksiatan yang menyertai penggunaan sound system. Namun, ini mengandung problem besar. Sebab, indikator maksiat itu sangat relatif dan rentan terhadap bias tafsir. Bahkan, perlu ditanyakan: ”Dan meskipun diukur dari segi maksiat, memang di Jawa Timur harus tertutup semua, memang Islam semua, ..?”
Apakah logika syariat itu adil ketika digunakan untuk menghakimi secara sepihak satu bentuk ekspresi sosial keagamaan, padahal masyarakat di wilayah tersebut sendiri belum tentu menjalani Islam secara total? Apakah hukum harus dibenturkan kepada masyarakat dengan satu pendekatan moral tunggal yang rigid?
Yang lebih menyakitkan, pengharaman ini terasa timpang. Mengapa MUI begitu sigap dan tegas mengharamkan sound system rakyat, tapi tetap diam terhadap suara speaker masjid yang lima kali sehari bisa terdengar sampai radius 1 km tanpa kendali volume? Bukankah azan dan murottal juga menggunakan pengeras suara? Kalau ukurannya gangguan kenyamanan dan kesehatan, maka bukankah ini juga berpotensi sama? Mengapa yang rakyat kecil dikejar dengan hukum haram, sementara yang institusional seolah diberi karpet merah?
Kritik ini bukan berarti menolak prinsip ketertiban dan etika sosial dalam Islam. Justru sebaliknya. Tapi menuntut keadilan dan konsistensi dalam penerapan hukum. Jika logika fatwa hanya berdiri pada “jika ada kemaksiatan, maka haram”, maka bagaimana jika konser musik digunakan untuk dakwah? Bagaimana jika parade sound disertai pembacaan shalawat dan tausiah? Apakah hanya karena volumenya tinggi dan berada di jalan raya, langsung berubah jadi haram?
Tampak bahwa fatwa ini berpotensi menimbulkan diskriminasi. Mengapa saat shalawatan diperbolehkan, tapi saat konser atau budaya rakyat dilarang? Apakah karena shalawatan dianggap ibadah, sementara musik dan hiburan rakyat dianggap lebih rendah? Apakah penilaian ini tidak jatuh pada asumsi bahwa hanya satu bentuk ekspresi keagamaan yang suci, sementara yang lain najis?
Logika semacam ini tak jauh beda dari cara berpikir kalangan garis keras yang gemar memonopoli syariat. Jika tidak dikontrol, pendekatan seperti ini bisa menyeret ruang publik ke dalam tafsir syariah yang sempit, represif, dan seragam. Apakah ini cermin moderasi Islam Indonesia, atau justru pertanda bahwa tafsir keagamaan sedang bergerak menuju totalitarianisme tafsir seperti konsep khilafah?
Yang perlu diingat, kaidah fiqh lain menyebut: al-‘adah muhakkamah—bahwa kebiasaan yang mengakar dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah bisa menjadi sumber hukum. Tradisi masyarakat nahdiyin di Jawa Timur dalam menggunakan sound system untuk pengajian, haul, hingga pernikahan adalah bagian dari urf yang sudah mentradisi. Jika tidak ada unsur yang jelas-jelas maksiat, maka pengharaman terhadap alatnya adalah tindakan berlebihan.
Alih-alih mengharamkan secara sepihak, seharusnya MUI merumuskan aturan teknis yang proporsional: berapa batas volume maksimal, jam operasi, jarak dari pemukiman, dan tata cara izin. Jika ini dilakukan, maka hukum Islam akan menjadi rahmat, bukan vonis; menjadi solusi, bukan senjata pemukul rakyat.
Fatwa itu semestinya membimbing, bukan menakut-nakuti. Apalagi kalau akhirnya hanya menjadi alat kontrol moral yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Angel, Geleng-geleng kepala kita dibuatnya. Bukan karena rakyat membangkang, tapi karena yang dipersoalkan justru bukan niat maksiat—melainkan alat suara yang dipakai buat gembira, silaturahmi, dan syiar budaya. Maka berhati-hatilah, jangan sampai atas nama syariah, yang dibungkam justru ekspresi sosial Islam rakyat sendiri.

Penulis Indonesiana, komisaris dpk gmni up45 Yogyakarta,
2 Pengikut

Keganjilan Logika Keagamaan dalam Fatwa Haram Sound Horeg oleh MUI
Selasa, 29 Juli 2025 09:15 WIB
Kegagalan ASEAN dan Supremasi Hukum dalam Konflik Thailand‑Kamboja
Sabtu, 26 Juli 2025 06:12 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler