Jurnalis, pegiat komunitas warga, dan pengamat sosial perkotaan
Antara Tol, Kali, dan TPU: Dilema Warga Kebon Pala di Ujung Jalan
Kamis, 14 Agustus 2025 09:16 WIB
Pemilik lahan atas perjuangan pemerintah sudah menyiapkan kerohiman—kompensasi atas pengosongan lahan. Atau melawan dan tak mendapat kompensasi
Kalau melintas di Tol Jagorawi dari arah Cawang, mata Anda akan melihat deretan rumah di sebelah kiri yang berdiri seperti penonton setia di pinggir arena balap—berderet rapat di RT 013/05, RT 014/05, dan beberapa rumah di RT 002/05, 007/03.
Tak jauh dari sana, di seberang Kali Cipinang, ada RT 016/09—wilayah baru hasil pemekaran dari RT 008/09—yang berbatasan langsung dengan TPU Cipinang Asem, Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
Di dua bentang wilayah inilah cerita sedang panas-panasnya. Para penggarap lahan bersiap dipanggil dan dihadapkan pada "meja besar" yang akan diisi pemerintah tingkat RW, kelurahan, kecamatan, BPN, Kehakiman, Dukcapil, dan sederet pihak lain. Di antara mereka, juga akan hadir orang-orang yang pertama kali menginjakkan kaki di lahan ini dengan surat pernyataan penggunaan lahan—selembar dokumen yang di masa lalu mungkin hanya bermakna secarik kertas, tapi kini bisa jadi penentu nasib.
Pemilik lahan atas perjuangan pemerintah sudah menyiapkan kerohiman—kompensasi atas pengosongan lahan—yang nilainya tentu saja tidak sebesar harga pasar, tapi cukup untuk memulai hidup baru. Namun, sebagian warga masih menimbang: bertahan atau menerima? Bertahan berarti melawan. Melawan berarti mengandalkan pengacara. Dan pengacara berarti biaya. Ironisnya, melawan justru bisa membuat mereka kehilangan dua kali: kompensasi yang sudah disiapkan, dan uang untuk membayar jasa hukum.
"Kalau cuma dapat kerohiman, itu habis dalam hitungan bulan. Tapi kalau tanah ini hilang, kita ke mana?" Begitu kira-kira yang sedang berkecamuk di kepala para pengguna lahan.
Pemerintah, di sisi lain, melakukan langkah yang tak banyak dilihat: mereka menjaga agar KTP dan KK warga tetap sah. Status sebagai warga legal dipertahankan, agar tak terputus dari aliran bantuan sosial, KJP, KLJ, PKH, hingga hak memilih di pemilu. Dalam konteks Jakarta, ini langkah strategis—sebab kehilangan status domisili bisa lebih berat dari kehilangan rumah.
Namun, di balik itu semua, ada satu ironi yang tak bisa dibantah. Pinggir tol yang bising dan seberang kali yang rawan banjir ini, dulu mungkin dianggap tidak berharga. Kini, tanah yang sama menjadi tarik-menarik antara pemilik, dan penggarapnya.
Di akhir nanti, pilihan tetap di tangan warga: menerima kerohiman sambil mempertahankan identitas legal, atau mempertaruhkan segalanya di meja hijau. Jalan mana pun yang dipilih, satu hal pasti—deru kendaraan di Tol Jagorawi dan sunyi pohon-pohon di TPU Cipinang Asem akan menjadi saksi sejarah yang tak pernah berpihak.
Mahar Prastowo
untuk Indonesiana/Tempo

Penulis Indonesiana
5 Pengikut

Antara Tol, Kali, dan TPU: Dilema Warga Kebon Pala di Ujung Jalan
Kamis, 14 Agustus 2025 09:16 WIB
Skandal Penundaan Eksekusi Silfester Matutina
Rabu, 13 Agustus 2025 06:37 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler