Dosen, Tutor, Aktivis dan Pengamat Masalah Sosial.
Ketika Nasionalisme Hanyalah Retorika dan Simbolisme Kosong
Senin, 18 Agustus 2025 11:51 WIB
Nasionalisme seharusnya terwujud menjadi keberanian melawan kekuasaan yang menindas tanah dan rakyatnya sendiri.
Oleh : Serfina Hoar Klau, M. Pd
Setiap tanggal 17 Agustus, masyarakat Indonesia larut dalam euforia kemerdekaan di berbagai pelosok dari Sabang sampai Merauke. Upacara bendera, lomba panjat pinang, lomba tarian, lomba baris-berbaris, dekorasi merah-putih, hingga orasi-orasi pejabat yang mengatasnamakan semangat patriotik menjadi pemandangan rutin dan membudaya. Namun, menjelang HUT RI ke-80, patut dipertanyakan: apakah nasionalisme benar-benar hidup, atau justru telah direduksi menjadi sekadar seremoni simbolik tanpa keberpihakan nyata pada rakyat?
Nasionalisme sebagai Invention dan Imagined Community
Dalam kajian teori politik klasik, nasionalisme dipahami bukan sebagai suatu entitas yang muncul secara alami, melainkan sebagai “rekayasa sosial”. Ernest Gellner (1983) menyatakan bahwa bangsa diciptakan oleh negara, bukan sebaliknya. Sementara Benedict Anderson (1983) menyebut bangsa sebagai imagined community — komunitas yang dibayangkan oleh anggota-anggotanya yang bahkan tidak pernah saling bertemu, tetapi merasa satu identitas melalui simbol, narasi, dan ritual nasional. Hal ini memperlihatkan suatu kesatuan yang hakiki namun, Pertanyaannya: apakah simbol dan narasi tersebut masih memiliki makna substantif bagi masyarakat? Ataukah kita sedang menyaksikan proses “kekosongan simbolik”, di mana simbol digunakan tanpa menghadirkan realitasnya?
Retorika Nasionalisme di Tengah Ketidakadilan Struktural
Jika ditinjau dari perspektif teori hegemoni Antonio Gramsci (1971), negara membangun “konsensus” melalui supremasi ideologis untuk melanggengkan struktur kuasa. Di Indonesia saat ini, nasionalisme sering tampil sebagai alat hegemoni untuk menutupi ketimpangan sosial dan kegagalan negara menjamin kesejahteraan rakyat, kemiskinan, pengangguran yang sudah menggunung ibarat tumpukan es yang kian membatu.
Harga kebutuhan pokok meningkat, tetapi pejabat tampil di podium berbicara tentang “bangga jadi bangsa besar” dan berlindung dibawah payung kebijakan yang semakin mencekik.
Rakyat kecil kehilangan tanah karena proyek strategis nasional yang semakin menambah angka statistik pengalihan fungsi lahan produktif menjadi lahan produksi, sementara pemerintah menggaungkan slogan “cinta tanah air”.
Ruang sipil semakin menyempit, namun setiap Hari Kemerdekaan kita dipaksa merayakan “kebebasan”. Demokrasi seolah menjadi panggung game yang terus dikebiri.
Inilah bentuk klasik dari alienasi ideologis (false consciousness, Marx, 1844) — di mana rakyat diyakinkan untuk mencintai negara walaupun negara tidak hadir membela kepentingan mereka.
Simbolisme tanpa Substansi
Upacara dan lomba bisa terus dilakukan, tetapi nasionalisme tidak akan pernah hidup selama:
Korupsi dianggap sebagai human error.
Perampasan ruang hidup atas nama investasi dianggap sebagai “kemajuan”.
Kekritisan mahasiswa dianggap “anti-nasional”.
Aparat menindak rakyat lebih keras dibanding penjahat berdasi.
Dalam kondisi ini, simbol-simbol nasional hanya berfungsi sebagai “ornamen depolitisasi” untuk membungkam kritik melalui romantisasi masa lalu.
Penutup: Nasionalisme Harus Radikal atau Tidak Usah Sama Sekali
Pada HUT RI ke-80 kita tidak butuh parade dan jargon “merdeka!”. Kita butuh nasionalisme yang berpihak. Sebuah komitmen politik untuk memutus mata rantai ketimpangan sosial dan ekonomi yang selalu menjadi persoalan substansial di Bangsa Indonesia.
Nasionalisme seharusnya tidak berhenti pada cinta tanah air, tetapi harus mewujud sebagai keberanian melawan kekuasaan yang menindas tanah dan rakyatnya sendiri. Jika tidak, lebih baik kita mengatakan dengan jujur: nasionalisme telah mati yang tersisa hanyalah retorika dan simbolisme kosong.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Ojol Tewas di Jalan, Kompol Kosmas Tewas di Sistem; Negara Menindas Dua Kali
Jumat, 5 September 2025 10:53 WIB
Tabolabae: Pemerintah Berdendang, Rakyat Digilas Realitas
Selasa, 19 Agustus 2025 15:22 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler