Putri yang Menolak Menjadi Hiasan Jendela

Rabu, 20 Agustus 2025 07:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Lukisan A Bar at the Folies-Berg\xe8re karya \xc9douard Manet
Iklan

Putri Ranting menolak jadi hiasan: ia buka mimbar, jendela bicara, Ministry of Silence terguncang, penyihir sejatinya adalah kebenaran bersama.!

***

Di negeri bernama Seribu Bisikan, jendela-jendela selalu menghadap ke jalan, tetapi suaranya tak pernah dibiarkan keluar. Kerajaan punya aturan rapi: perempuan baik tak perlu banyak bicara. Jika ingin bicara, cukup senyum di balik tirai, biar laki-laki yang menafsirkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di istana, berdiri gedung mentereng bernama Kementerian Ketenteraman. Orang menyebutnya Ministry of Silence . Tugasnya sederhana. Menjahit mulut orang dengan benang halus bernama Etika. Benangnya tidak sakit, hanya membuat kata-kata terasa seperti batu di tenggorokan.

Hiduplah seorang putri bernama Ranting. Rambutnya sehitam malam yang jujur, dan matanya seperti dua pertanyaan yang tak mau tidur. Sejak kecil, Ranting diajari tiga hal: menunduk, menata piring, dan menutup pintu. Ia menghafal semuanya, kecuali menunduk. Lehernya kaku jika disuruh mengingkari hati.

Pada ulang tahun ketujuh belas, Raja menghadiahinya Akta Nikah Kosong dengan pita emas. “Ini masa depanmu,” kata Raja. "Nanti tinggal terisi." Berkata-kata kasar mengangguk sopan, lalu bersembunyi akta itu di bawah kasur, di antara novel-novel terlarang.

Suatu malam, saat tertidur, Ranting mendengar ketukan di jendela. Ketukan itu seperti hujan yang punya rahasia. Berteriak membuka tirai. Ternyata, jendela bisa bicara.

"Aku bosan," kata jendela. "Kerjaanku cuma memajang wajahmu, Putri. Mereka tak pernah mendengar suaramu."

“Kalau begitu kita kabur,” jawab Ranting, setengah bercanda.

"Ke mana?"

"Ke mimbar."

Mimbar kerajaan ada di alun-alun. Katanya suci, hanya boleh dipakai untuk upacara dan khotbah moral. Konon, siapa pun yang bukan pejabat dan nekat naik, akan disambar halilintar Etika. Orang tidak mati, hanya lupa caranya marah.

Mencabut sebagian tirai, menjadikannya kerudung agar tidak dikenali. Ia menegaskan keluar bersama jendela. Ya, jendela ikut. Ia melepaskan diri dari kusen, berjalan dengan kaki kayu dari bingkainya. Dongeng tak perlu masuk akal, ia hanya perlu setia pada hati.

Di jalan, mereka bertemu seekor Gagak Tua. Paruhnya compang-camping, matanya terang. “Kau mau mimbar, Putri?” tanya Gagak.

"Kenapa semua orang selalu tahu rencana rahasia?" Ranting mengeluh.

Ranting mengangguk. Mereka bertiga lanjut berjalan. Kota gelap, tapi jendela menyala dari dalam. Lampu kecil di bingkainya membuat jalan tidak sesepi itu.

Sampai di alun-alun, mimbar berdiri seperti bukit pendek yang sombong. Di sebelahnya, papan peringatan: PEREMPUAN BAIK TAK PERLU NAIK. Tulisan kecil di bawah: Untuk kenyamanan bersama.

“Lucu,” gumam Ranting. “Kenyamanan siapa ya?”

Ia menapaki tangga. Gagak menunggu di bawah, jendela merapat di sisi mimbar. Penjaga Seragam bergerak, tiga orang, wajahnya datar. "Turun," kata yang pertama. "Ini tempat khotbah."

"Aku juga mau khotbah," jawab Ranting. “Tentang moral yang tidak menyentuh tubuh orang lain.”

Halilintar Etika menyambar. Tidak besar, hanya kilatan putih yang memecah udara. Ranting terhuyung, tapi tak jatuh. Kilat itu tak menemukan mulut yang bisa disegel, karena mulut itu sudah mengunyah luka bertahun-tahun. Kilat hanya mengenai papan peringatan, yang kemudian retak seperti kuku palsu.

Ranting menempelkan bibir ke mikrofon. Suaranya tak keras, tapi orang-orang bangun. Tirai-tirai jendela terbuka, satu per satu. "Kami bukan bunga di jendela," katanya. "Bukan nama di akta nikah. Kami manusia yang kalian ciptakan untuk diam, dan itu gagal."

Alun-alun berdesir. Penjaga Seragam saling melirik. Ranting melanjutkan. "Negeri ini suka berkhotbah tentang moral, tetapi membayar tangan-tangan yang meraba tanpa diundang. Katanya perempuan lemah. Lalu kenapa kalian gemetar setiap kali kami berdiri?"

Gagak tertawa pendek. Jendela bergetar bangga. Orang-orang bermunculan, membawa senter, anak, dan keberanian yang disimpan di bawah rak piring.

Di sudut alun-alun, muncul sosok abu-abu yang berkilauan. Warga menyebutnya Penyihir Bisik. Katanya dia jahat, suka mengutuk. Ia mendekati mimbar, mengangkat tongkat yang ujungnya bukan permata, melainkan pulpen tinta hitam.

"Aku datang untuk menghapus," katanya.

Penjaga seragam bersorak kecil. "Akhirnya. Hapus suaranya."

Penyihir menatap Ranting, lalu papan peringatan yang retak. "Bukan suara Putri yang kuhapus," katanya tenang. “Aku menghapus peraturan yang melarangnya.” Ia menggoreskan tinta ke papan. Tulisan pudar seperti bekas mimpi yang kehausan. Papan jatuh. Penjaga Seragam maju. Gagak mengembangkan sayap. Jendela menutup diri, memantulkan wajah mereka agar mereka melihat siapa yang berdiri di sana.

Kerumunan bersuara, tidak serempak, tapi cukup. Suara yang patah-patah tetap suara. Suara yang gemetar tetap hidup.

Raja mendengar keributan dari istana. Ia keluar dengan piyama sutra. Wajahnya bingung. "Ada apa ini?" tanyanya. Ia melihat Ranting di mimbar. "Nak, turun. Ini berbahaya."

"Yang berbahaya adalah diam," sahut Ranting. "Ayah bisa tidur lagi setelah ini. Kami tidak."

Raja melangkah, tetapi memutar gulungan kertas besar yang entah dari mana. Gulungan itu terbuka di kakinya. Ternyata itu peta kota, dengan titik-titik merah di tempat-tempat yang tidak ada di catatan. Pos ronda gelap. Ruang interogasi sewaan. Pintu samping kantor yang lupa diberi kamera.

Kerumunan menganga. Raja pucat. Penjaga Seragam mundur satu langkah. Hanya satu orang yang maju. Seorang pemuda berkemeja biasa, yang sejak tadi berdiri di antara warga. “Aku Bima,” katanya, suaranya tidak gemetar. "Anak Kepala Penjaga. Aku yang menggambar peta ini. Ayahku ada di titik terbesar."

Kerumunan terbelah. Gagak menunduk hormat. Jendela memantulkan wajah Bima yang mirip seseorang yang sering memerintah tanpa suara.

"Mengapa kamu melakukan itu?" tanya Raja.

"Karena ibuku belajar berbisik seumur hidup," jawab Bima. "Aku bosan mendengarnya. Aku ingin ia tertawa tanpa melihat pintu dulu."

Raja membayangkannya. Orang selalu kira twist adalah sihir dari langit. Padahal sering kali twist hanyalah anak seseorang yang membiarkan menyimpan rahasia.

Sihir Bisik mengangkat pulpen. "Saatnya mengubah ejaan negeri ini."

"Jangan," seru Penjaga Seragam.

"Terlambat," kata penyihir. "Ejaannya sudah berubah di mulut orang banyak."

Ia menulis di udara, kalimat mengambang: JIKA BICARA DIANGGAP DOSA, MAKA BIARKAN KAMI BERDOSA SETIAP HARI. Kalimat itu tidak jatuh, melainkan mendarat di bahu warga, menjadi jimat yang ringan.

Raja menghela napas. "Aku tidak pandai menangani ini," katanya jujur, untuk pertama kalinya.

“Tidak apa,” kata Ranting. "Belajar saja. Kami sudah lama kuliah dalam diam."

Malam itu, sebuah rapat darurat diadakan. Bukan di istana, melainkan di alun-alun. Kursinya kursi plastik. Pendinginnya angin. Notulennya Gagak. Agendanya doa. Satu, membuka mimbar untuk siapa pun setiap malam Selasa. Dua, menutup ruang-ruang terlarang, lalu membukanya kembali sebagai taman baca.

Keputusan diketok dengan sendok sayur. Dongeng memang tidak perlu palu resmi.

Seminggu kemudian, pengumuman keluar. Kementerian Keheningan dibubarkan . Suratnya pendek. "Kami salah." Di bawahnya, ada tanda tangan Raja yang agak miring, mungkin karena tangannya gemetar. Orang tidak langsung percaya, dan itu wajar. Kepercayaan tidak kembali hanya karena stempel. Percayalah pulang kalau ada kursi untuk duduk, mikrofon untuk berbagi, dan pintu yang bisa dikunci dari dalam.

Ranting menyimpan kembali Akta Nikah Kosong pemberian ayah. Ia tulis sendiri namanya di kolom yang seharusnya kosong, lalu tambahkan satu kalimat: AKU MENIKAH DENGAN SUARAKU SENDIRI. Ia tertawa saat menulis. Jendela ikut tertawa, suaranya seperti gelas beradu.

Orang-orang sering bertanya, "Ke mana penyihir Bisik setelah itu?" Ia tetap di kota, membuka perpustakaan kecil di gang sempit. Di papan namanya tertulis: ARSIP LUKA, RUANG TAWA. Anak-anak datang, meminjam buku, belajar menyusun kalimat. Setiap sore, Bima menjemput ibunya. Mereka pulang sambil bernyanyi pelan.

Putar terakhir? Baik. Suatu malam, Ranting duduk di mimbar yang sekarang jadi milik semua. Seorang bocah perempuan naik, memegang kertas berisi sajak. Ia membaca pelan-pelan, pecah sedikit, lalu kuat. Di akhir, bocah itu menatap Ranting. "Buku dulu dibuat diam," katanya. "Dia bilang kalau bicara dianggap dosa, kami berdosa bersama. Namaku Aisyah."

Ranting tersenyum. Gagak menulis namanya dengan tinta terbaik. Jendela memantulkan wajah semua orang. Dan negeri yang dulu disebut Seribu Bisikan mengganti namanya, pelan-pelan, tanpa rapat panjang: NEGERI YANG MENGUCAP.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fitri Rusandi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content

Doa

Jumat, 10 Oktober 2025 09:38 WIB

img-content
img-content
img-content
img-content

Harapan

Senin, 6 Oktober 2025 19:35 WIB

Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content

Doa

Jumat, 10 Oktober 2025 09:38 WIB

Lihat semua