Content writer sekaligus penikmat budaya digital. Blog ini saya buat sebagai wadah menulis opini, analisis, dan catatan pribadi tentang komunikasi, media, dan tren masyarakat.

Makna Kebaya Hitam dan Batik Slobog dalam Silent Protest Cucu Bung Hatta

Kamis, 21 Agustus 2025 22:37 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Gustika Jusuf Hatta Kenakan Kebaya Hitam berbalut Batik Slobog
Iklan

Di tengah perayaan HUT RI ke-80 di Istana Merdeka, perhatian publik justru tersedot pada sosok Gustika Jusuf Hatta.

***

Dalam dunia politik dan sejarah bangsa, simbol kerap kali lebih lantang berbicara daripada kata-kata.

Itulah yang tampak dari penampilan cucu Bung Hatta, Gustika Jusu-Hatta, ketika menghadiri upacara peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Merdeka.

Lewat unggahan di akun Instagram pribadinya, Gustika mengenakan kebaya hitam yang dipadukan dengan kain batik slobog—pilihan busana yang sarat makna kultural sekaligus isyarat protes politik.

“Walau bukan Kamisan, pagi ini aku memilih kebaya hitam yang sengaja kupadukan dengan batik slobog” demikia ia menulis dalam postingan @gustikajusuf (21/08/2025)

Bukan sekadar pilihan fesyen, penampilan Gustika menjadi bahan perbincangan karena ia menyebutnya sebagai bentuk silent protest. Lewat akun Instagram pribadinya, ia pun turut menuliskan refleksi panjang yang berisi simbolisme budaya sekaligus kritik politik tajam pada pemerintah.


Makna Batik Slobog Sebuah Simbol Duka dan Doa

Dalam tradisi Jawa, kain bukan sekadar penutup tubuh, melainkan bahasa simbol yang mengandung pesan. Dilansir dari batikprabuseno.com, mengungkap bahwa batik Slobog, yang berarti "longgar" atau "terbuka".

Motif batik ini umumnya dikenakan pada prosesi pemakaman. Ia menandakan keikhlasan melepas, doa agar perjalanan arwah dilapangkan, sekaligus simbol kesadaran akan batas antara yang hidup dan yang pergi.

Masyarakat pun kerap dihimbau agar selalu berhati-hati dalam memakai motif batik Slobog ini, agar tidak menimbulkan sebuah konflik. Hal ini karena motif batik Slobog memiliki makna khusus.

Dengan memilih batik slobog di momen peringatan kemerdekaan, Gustika seolah ingin menunjukkan bahwa kemerdekaan hari ini menyisakan ruang duka yang belum tuntas.

Ada luka sejarah dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus menghantui, seakan bangsa ini masih belum selesai merelakan dan mengikhlaskan masa lalu kelamnya.

Tuliskan Refleksi Antara Syukur dan Keprihatinan Terhadap Bangsa

Dalam unggahannya di Instagram, Gustika menulis, Di hari kemerdekaan tahun ini, rasa syukurku bercampur dengan keprihatinan atas luka HAM yang belum tertutup.” jelas Gustika dikutip dari Instagram (21/08/2025)

Ia tidak berhenti di situ. Dalam caption-nya lebih lanjut, Gustika menyinggung soal kepemimpinan hari ini, menyebut Presiden sebagai “penculik dan penjahat HAM” serta menyoroti militerisasi yang semakin masuk ke ruang sipil.

“Di hari kemerdekaan tahun ini, rasa syukurku bercampur dengan keprihatinan atas luka HAM yang belum tertutup. Bahkan kini kita dipimpin oleh seorang Presiden penculik dan penjahat HAM, dengan Wakil anak haram konstitusi. Militerisasi kian merasuk ke ruang sipil, dan hak-hak asasi rakyat Indonesia kerap dilucuti oleh penguasa yang tidak memiliki tepa selira, yang mau menulis ulang sejarah bangsa dengan memutihkan dosa-dosa penguasa beserta kroni-kroninya. Jujur tidak sampai hati merayakan hari kemerdekaan Indonesia ke-80 tanpa rasa iba, dengan peristiwa demi peristiwa yang mengkhianati nilai kemanusiaan yang datang bertubi-tubi, seperti kekerasan aparat yang baru saja mengorbankan jiwa di Pati minggu ini.” tulisnya

Kritik yang tajam itu dibungkus dalam simbol sederhana yakni, busana.

Silent protest ini berbicara lebih lantang daripada orasi di jalanan, karena bersandar pada simbol budaya yang sarat pesan.

Politik Simbol dalam Balutan Busana Tradisional

Sebagai cucu Bung Hatta—salah satu proklamator kemerdekaan yang dikenal dengan integritas dan kesederhanaannya—Gustika membawa pesan bahwa kecintaan pada republik tidak harus diwujudkan dengan euforia perayaan semata.

Ada kalanya cinta pada bangsa justru tampil dalam bentuk duka, kritik, dan keprihatinan.

Dengan busana itu, Gustika ingin menyampaikan bahwa merayakan tidak berarti menutup mata, dan berkabung bukan berarti menyerah. Seperti yang ia ungkap dalam postingannya.

Justru, dalam duka, kita diajak menatap sejarah dengan jujur, menjaga ingatan kolektif, dan menagih janji-janji konstitusi yang belum ditepati.

Ketika Simbol Menjadi Perlawanan

Kebaya hitam dan batik slobog yang dikenakan Gustika membuktikan bahwa perlawanan tak selalu perlu kata-kata lantang.

Dalam hening, simbol bisa menjadi senjata politik yang lebih tajam. Sebab, ia berbicara kepada hati nurani publik, menyinggung rasa keadilan yang terluka, dan menantang mereka yang ingin menulis ulang sejarah bangsa.

Pada akhirnya, penampilan Gustika di Istana bukan sekadar pilihan fashion saja, melainkan sebuah pengingat.

Bahwa kemerdekaan Indonesia yang ke-80 ini masih menyisakan duka, luka, dan pertanyaan besar: sejauh mana republik ini benar-benar merdeka untuk rakyatnya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Yasinka Amalia

Penulis Indonesiana

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler