Ketika Tuntutan Demonstran Tenggelam oleh Narasi Dalang
2 hari lalu
Narasi siapa dalang di balik kerusuhan berhasil menggeser fokus publik dari tuntutan utama.
Publik saat ini digiring pada dua versi. Satu yang mengatakan aksi kemarin murni jeritan rakyat, dan satu lagi yang menyebut ada operasi elit politik.
Yang jelas narasi ini membuat fokus masyarakat bergeser. Alih-alih mendalami tuntutan soal gaji DPR dan kritik terhadap kebijakan, energi habis untuk memperdebatkan siapa dalang kerusuhan.
Kalau kita tarik ke belakang, alasan orang turun ke jalan kemarin jelas sekali. Rakyat kesal sama DPR yang sibuk ngurusin gaji dan tunjangan sendiri di tengah situasi ekonomi yang makin sulit. Tapi gara-gara kerusuhan yang keburu meledak di mana-mana, fokus besar itu jadi kabur.
Dampaknya, tuntutan soal kebijakan DPR ketiban debu. Publik sibuk oleh narasi siapa dalang, aparat sibuk dengan urusan keamanan, dan pemerintah bilang kalau demo sudah tidak sehat, demo sudah kearah makar. Kalau dilihat lebih dalam, kerusuhan ini memberi celah rezim cuci tangan.
Akhirnya pembahasan inti soal gaji dan tunjangan tinggi hilang dari pembahasan publik. Yang paling dirugikan siapa? Ya, rakyat sendiri. Aspirasi yang tadinya kuat-kuatnya jadi kehilangan taring.
Kalau kita lihat sejarah demo besar di Indonesia, selalu ada pola yang sama. Gerakan awalnya jelas, tuntutannya jelas. Tapi begitu massa sudah ngumpul dalam jumlah banyak, ada saja pihak lain yang masuk. Penunggang gelap ini bukan cuma ikut nimbrung, tapi mereka punya agenda sendiri yang beda jauh dari aspirasi rakyat.
Akhirnya tujuan yang seharusnya jadi pusat perjuangan malah tertutup oleh kegaduhan yang sengaja mereka ciptakan. Pada demo kemarin juga sama. Rakyat datang dengan tujuan tunjangan DPR yang enggak masuk akal. Tapi muncul narasi kalau demo ditunggangi asing, ditunggangi kelompok tertentu, sampai disebut-sebut ada pihak asing.
Narasi seperti ini bikin publik bingung. Orang jadi sibuk memikirkan siapa yang main di balik layar, bukan lagi fokus pada tuntutan yang seharusnya terus diangkat. Inilah strategi klasik penunggang gelap, yaitu mengaburkan isu utama, alihkan fokus, dan biarin rakyat kehabisan energi di debat kusir soal siapa yang jadi dalang.
Kalau ditelaah lebih jauh, penunggang gelap ini punya keuntungan besar yaitu bikin gerakan rakyat kehilangan arah. Orang yang tadinya kompak nuntut soal kebijakan, lama-lama pecah konsentrasi. Ada yang fokus lawan aparat, ada yang sibuk debat soal siapa aktor penyusup, ada juga yang akhirnya mundur karena merasa gerakan udah enggak jelas lagi. Di titik ini, penunggang gelap berhasil. Tuntutan rakyat redup, sementara agenda mereka jalan terus.
Makanya penting banget buat masyarakat sadar penunggang gelap itu selalu ada dan mereka selalu nyari celah dari setiap momentum. Kalau kita ke bawah arus narasi mereka, perjuangan buat nuntut DPR soal gaji dan tunjangan bakal makin tenggelam. Fokus harus dijaga biar suara rakyat tetap utuh, bukan jadi alat permainan pihak lain.
Salah satu hal yang kelihatan banget dari demo kemarin adalah bagaimana kemarahan publik akhirnya jatuh ke orang-orang tertentu aja. Nama kayak Ahmad Saroni, Uya Kuya, Eko Patrio sampai Nafa Urbach jadi sasaran. Orang ribut di media sosial sampai serang sisi personal mereka.
Padahal kalau ditarik ke akar, yang diprotes itu bukan soal pribadi perseorangan, tapi soal sistem DPR yang dianggap rakus dan enggak peka sama kondisi rakyat. Di titik ini ada bahaya besar yang sering enggak disadari. Begitu fokus beralih ke individu, perlawanan terhadap kebijakan melemah. DPR sebagai lembaga yang seharusnya disorot jadi aman. Mereka bisa bersembunyi di balik drama personal itu.
Seakan-akan tuntutan rakyat cuma masalah suka atau enggak suka sama beberapa figur. Padahal keputusan soal gaji, tunjangan, dan fasilitas bukan ditentukan satu dua orang artis politik, tapi keputusan kolektif yang melibatkan semua anggota DPR. Kalau publik cuma sibuk serang individu, sistemnya enggak pernah benar-benar tersentuh.
Kenapa hal ini berbahaya? Karena DPR jadi punya alasan gampang buat mengabaikan tuntutan rakyat. Mereka bisa bilang serangan yang muncul bukan kritik substansial, tapi sekadar sentimen emosional terhadap beberapa anggota.
Hasilnya energi publik habis di tempat yang salah, sementara masalah utama enggak pernah selesai. Kita harus ingat DPR itu lembaga kolektif. Semua keputusan lahir dari mekanisme internal mereka, bukan kemauan personal individu tertentu aja. Kalau rakyat mau perubahan, arahkan kritik ke sistemnya.
Fokus ke individu juga bikin gerakan gampang dipecah. Orang jadi ribut sendiri, ada yang setuju ada yang enggak setuju. Akhirnya solidaritas luntur. Sementara kalau tuntutan diarahkan ke sistem DPR sebagai lembaga, rakyat bisa lebih solid karena musuh yang dihadapi jelas: kebijakan yang tidak adil, bukan sekadar figur.
Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya diuntungkan kalau semua perhatian publik digeser dari substansi ke tontonan? Di sinilah letak kelicikan penyusup dan dalang di belakangnya. Mereka ngerti betul kalau publik gampang kedistrak.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Worldcoin dan Ilusi Uang Digital Gratis
Senin, 5 Mei 2025 18:55 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler