Demo Bubarkan DPR Gagal Total, Pimpinan DPR Hanya Berikan Putusan Receh

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Membubarkan DPR : Jalan Reformasi atau Awal Otoritarianisme
Iklan

Tak dipungkiri jika demo besar menuntut pembubaran DPR gagal. Rekayasa pengalihan isu sukses memutuskan mata rantai kebencian rakyat .

***

Indonesia sedang menghadapi proses transisi kepemimpinan dari Jokowi ke Prabowo. Presiden terpilh Prabowo mengembang misi besar untuk memimpin 5 tahun ke depan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tantangan yang begitu rumit dan sulit bagi Prabowo lo melewati kepemimpinannua di tengah-tengah beredar  dan berproses masalah besar di pemerintahan sebelumnya. Setidaknya prabowo diwariskan beban hutang nyaris Rp 800 T atau hampir tembus 2 kali APBN Indonesia

 

Di dunia politik, Prabowo harus mampu beberes residu politik peninggalan Jokowi. Perlu diketahui jika Patologi politik Indonesia sudah akut dan seram banget. Diagnosis penyakitnya sangat jelas dan fundamental, kerusakan bangsa dan negara ini sudah kronis di segala bidang dan jajarannya hingga memicu terjadinya krisis kepercayaan menyeluruh baik vertikal atau horisontal. 

 

Puncak tercabik-cabiknya krisis kepercayaan berawal dari kelalaian pemerintah melaksanakan janji politik dan juga amanat konstitusi. Mereka lalai dengan jabatan dan wewenangnya hingga dengan sengaja melukai, hidup hedonis, tidak ada rasa empati dan bahkan sudah merugikan kepentingan masyarakat.

 

Tidak hanya pemerintah jadi sasaran ketidakpercayaan masyarakat, Secara umum semua anggota DPR saat ini dianggap sebagai musuh bersama, bukan lagi mitra atau bahkan disebutkan sebagai pelayanan atau wakil rakyat. Mereka justru yang mencederai tugas dan fungsinya dan bahkan ketiadaan empati, simpati hingga melukai hati hingga menghancurkan harapan hidup masyarakat. 

 

Paradoks Demokrasi Hingga Demo Melanda

 

DPR menjadi institusi negara paling dihormati, tetapi justru sebaliknya menjadi institusi yang fenomenal. Awalnya dari dipilih tidak langsung memilih gambar partai hingga mencoblos foto caleg dan keterpihannya langsung sebagai mandat suara rakyat. 

 

Namun pada akhirnya hanya menjadi simbol yang dimanfaatkan maksimal oleh DPR mencari keberuntungan. Ini adalah Paradoks dalam demokrasi Indonesia. Bangunan demokrasi berbayar mahal dan lumpuh total secara fungsi dan esensinya. Fondasi demokrasi yang dibangun paska Reformasi akhirnya harus tenggelam dan dibangunkan kembali oleh suara rakyat. 

 

Demo bergerak, bergejolak awal sebuah kemarahan yang dibarengi ketidakpercayaan pada wakil mereka. DPR dianggapnya sudah berkhianat, bukan hanya itu justru melawan rakyatnya sendiri yang telah memberikan mandat kekuasaannya. 

 

Pergeseran harapan masyarakat atas kerja-kerja DPR terus berlangsung dan akumulasi frustasi kian menjadi. Ledakan dekonstruksi kepercayaan kian lebat dan merata 

 

Titik persoalan sudah jelas dan sudah bulat satu suara dalam demo besar di berbagai daerah. Gerakan demi kian masih digelar tanggal 25-31 Desember 2025 adalah bukti autentik marahnya rakyat secara kolosal.

 

 Demo besar tersebut semakin kencang ketika Massa juga menuntut pembubaran DPR diperparah dengan pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR RI periode 2019-2024, Ahmad Sahroni, yang menyebut bahwa pendemo sebagai 'orang paling bodoh di dunia'.

 

Aktor Pembuat Tuntutan Rakyat

 

Perlu dicermati dan dianalisis kemunculan tuntutan 17+8. Diketahui jika Ungguhan bertuliskan '17+8 Tuntutan Rakyat' ramai diserukan warganet melalui media sosial (medsos). 

 

Para peserta demo dan para aktor-aktor pembuatan tuntutan rakyat berbeda. Muncul para aktor utama pembuat tuntutan adalah para penggiat media, diaspora bukan aktivis gerakan mahasiswa atau tokoh masyarakat. 

 

Konon, Tuntutan itu muncul dan berseliweran setelah diskusi online yang dilakukan beberapa pemengaruh seperti Jerome Polin, Cheryl Marcella, Salsa Erwina Hutagalung, Andovi Dalopez, Abigail Limuria, Fathia Izzati Malaka, dan Andhyta F Utami. 

 

Mereka mengklaim telah merangkum tuntutan dari berbagai organisasi masyarakat dan suara rakyat yang kemudian menghasilkan "17+8 Tuntutan Rakyat".  

 

Bagi Mereka, Tuntutan tersebut diadopsi dari berbagai organisasi seperti YLBHI yang menghimpun aspirasi dari 211 organisasi masyarakat sipil, siaran pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pernyataan sikap Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan UI, dan Center for Environmental Law & Climate Justice Universitas Indonesia. 

 

Kemudian mereka juga memasukkan tuntutan demo buruh pada 28 Agustus 2025 dan 12 tuntutan rakyat menuju reformasi Transparansi & Keadilan oleh Reformasi Indonesia . 

 

Tuntutan Rakyat 17+8

 

Mencermati Tuntutan 17+8 yang banyak diklaim sebagai rangkuman berbagai aksi dan isi tuntutan masyarakat diambil dari big data media sosial. Sepertinya adanya rekayasa terstruktur yang didanai dan diarahkan untuk maksimalkan kegagahan isu utama bubarkan DPR. 

 

Awalnya terdapat 17 Tuntutan Rakyat Dalam 1 Minggu'-'8 Tuntutan Rakyat dalam 1 Tahun. Adapun 17 tuntutan pertama merupakan tuntutan jangka pendek yang harus diselesaikan dalam 1 minggu. Tuntutan ini ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, DPR, Ketum parpol, kepolisian, TNI, dan kementerian sektor ekonomi dengan batas waktu penyelesaian hingga 5 September 2025.

 

Penulis fokus menyoal isu bubarkan DPR hingga tersisa tuntutan yang sifatnya administratif. Mereka hanya menyoal Tugas Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan tindakan bekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiunan).

 

Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR). Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah (termasuk selidiki melalui KPK).

 

Kemudian Mereka Menyoal Tugas Ketua Umum Partai Politik dengan merekomendasikan pemecatan atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang tidak etis dan memicu kemarahan publik. Umumkan komitmen partai untuk berpihak pada rakyat di tengah krisis. Libatkan kader dalam ruang dialog publik bersama mahasiswa serta masyarakat. 

 

Awas Penumpang Gelap

 

Secara pribadi Saya tidak mengenal mereka, namanya unik dan kekinian. Tidak kenal baik secara personal atau kelembagaan. 

 

Mereka berhasil mendompleng dan bahkan mendominasi ruang media sosial hingga viral dan isi serta isu menumpang aksi demo hingga menjadi manusia-manusia terkenal dadakan. Mungkin saya yang salah persepsi karena kurang gaul atau koneksi.

 

Tapi, rasa penasaran dan kecurigaan justru kian membara, fenomena unik yang melibatkan banyak aktor-aktor diaspora Indonesia, memberikan kisah dan kiprahnya hingga tersohor seantero Indonesia. 

 

Siapakah Mereka? Apakah mereka dalam para pejuang demokrasi organik atau hanya influencer online yang tiba -tiba mengambil manfaat sesaat dari panggung demonstrasi yang betul-betul murni gerakan Masyarakat sipil. Keraguan hingga dugaan keterlibatan mereka sebagai agen spionase atau bahkan aktor lapangan memungkinkan terjadi pula. Hanya dugaan semoga salah. 

 

Tuntutan Yang Tertukar

 

Penulis fokus menyoal isu bubarkan DPR hingga tersisa tuntutan yang sifatnya administratif. Mereka hanya menyoal Tugas Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakuan tindakan bekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiunan).

 

Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR). Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah (termasuk selidiki melalui KPK).

 

Kemudian Mereka Menyoal Tugas Ketua Umum Partai Politik dengan merekomendasikan pemecatan atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang tidak etis dan memicu kemarahan publik. Umumkan komitmen partai untuk berpihak pada rakyat di tengah krisis. Libatkan kader dalam ruang dialog publik bersama mahasiswa serta masyarakat. 

 

DPR Gagal Dibubarkan

 

Justru hal yang mendasar tuntutan masyarakat DPR dibubarkan diletakkan dalam rangkuman tuntutan 8 dan diberlakukan sebagai pasal tuntutan jangan panjang, bukan diletakkan skala prioritas utama yang harusnya menjadi sasaran utama dalam waktu sesingkat-singkatnya. Lebih khuauat, tuntutan DPR dibubarkan hilang dan hanya sifatnya upaya revitalisasi DPR dan Parpol beserta Sistem Pemilunya. 

 

Akhirnya DPR gagal dibubarkan, tidak ada klausul pembubaran DPR lagi. Ketika Pimpinan DPR ( 5/09/2025) telah memberikan jawaban apa yang dituntut dalam beberapa pasal 17, sejatinya adalah keputusan receh dan tidak subtansi. 

 

Kita bukannya disuguhi oleh keputusan fenomenal tetapi justru hanya hadir kesepakatan administrasi, urusan gaji dan fasilitas dpr yang dikurangi, kunjungan luar negeri ditiadakan dan penghentian sementara DPR yang jadi pelawak saat gelaran resmi MPR.

 

Tetapi, ketika demo mulai landai, adanya upaya Damai kedua pihak baik rakyat dan pemerintah justru terjadi kudeta bergeser subtansi tuntutan rakyat. Manipulasi dan rekayasa yang sangat cerdas dan penuh strategis. 

 

Pembauran cipta kondisi yang rapi hingga rakyat tidak paham sesungguhnya apa yang sedang terjadi hingga pada akhir drama tuntutan demo bubarkan DPR dibayarkan oleh secuil keputusan Pimpinan DPR, itu pun masih bisa dan tidak jelas ketepatan dan realisasikan. Lagi-lagi terkesan manipulatif dan tensius melemparkan isi dan isu krusial. 

 

 Ini adalah mungkin kegagalan parah yang disengaja dan sistematis. Apakah teman -teman yang ngotot untuk pembubaran DPR harus puas dengan jalan Damai sementara yang ditawarkan oleh DPR? 

 

Tuntutan bubarkan DPR yang kandas bisa jadi merupakan konspirasi dan elaborasi sebuah kecerdasan politik yang amat dahsyat dan sangat sesat.

 

 Penulis curiga ada pihak yang sengaja menjadi aktor dibalik gagalnya tuntutan bubarkan DPR. Bukannya hanya menuduh , Penulis semakin yakin jika ada dalang, aktor perantara dan juga pihak sebagai pion.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler