Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.

Christopher Marlowe Menolak Terkubur oleh Bayangan William Shakespeare

8 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Christopher Marlowe
Iklan

Christopher Marlowe: rival Shakespeare yang kini bersinar.

***

Nama Christopher Marlowe mungkin tidak setenar William Shakespeare, tetapi warisan intelektualnya dalam sastra Elizabethan semakin menggema di era kontemporer.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lahir sebagai anak tukang sepatu di Canterbury, ChristopherMarlowe menembus batas sosial lewat beasiswa di Cambridge, kemudian meraih gelar magister berkat campur tangan Dewan Kerajaan karena ia dianggap berjasa dalam pelayanan negara. Dari sanalah ia memulai perjalanan yang membentuk wajah baru drama Inggris, sebuah jejak yang meski berakhir tragis, justru meninggalkan pengaruh yang masih terasa hingga kini.

Christopher Marlowe adalah pencetus utama penggunaan blank verse, gaya puitis tanpa rima yang ritmis dan fleksibel. Ia memperlihatkan pada dunia bahwa bahasa Inggris dapat bernyanyi dengan bebas di panggung drama. Karya-karyanya seperti Tamburlaine the Great, Doctor Faustus, dan The Jew of Malta tidak hanya menampilkan tokoh-tokoh ambisius dan pemberontak.

Drama yang ditulisnya pun melahirkan suara dramatik yang menggetarkan penonton. Shakespeare sendiri, yang kemudian menguasai panggung global, diyakini banyak belajar dari inovasi Christopher Marlowe dalam struktur dan musikalitas bahasa.

Hidup Marlowe selalu dipenuhi kontroversi. Ia disebut ateis, dituduh hidup bebas, bahkan diduga bekerja sebagai mata-mata rahasia Ratu Elizabeth I. Catatan sejarah memperlihatkan bahwa ia bergaul dengan lingkaran intelektual berbahaya yang memadukan politik, spionase, dan seni.

Pandangan radikalnya membuat banyak pihak resah, hingga akhirnya pada usia 29 tahun ia tewas ditikam di Deptford pada 1593. Peristiwa itu sering dianggap sebagai perkelahian sepele. Akan tetapi,  banyak sejarawan curiga bahwa kematiannya adalah eksekusi terselubung terhadap seorang pemikir yang terlalu berbahaya bagi rezim.

Kematian Marlowe membuka jalan bagi Shakespeare. Hanya beberapa minggu setelahnya, karya Venus and Adonis diterbitkan, menandai kemunculan Shakespeare sebagai suara utama Renaisans Inggris. Meskipun demikian, bayangan Marlowe tidak pernah benar-benar hilang.

Di balik setiap naskah awal Shakespeare, para peneliti modern menemukan gema gaya dan keberanian Marlowe. Bahkan sebagian teori menyebutkan kemungkinan ia ikut menulis beberapa bagian drama Shakespeare.

Warisan kontemporer Marlowe kini semakin diakui. Biografi terbaru Stephen Greenblatt berjudul Dark Renaissance menggambarkannya bukan hanya sebagai dramawan, tetapi juga simbol dari keberanian intelektual dalam menghadapi dunia yang keras. Greenblatt menegaskan bahwa Marlowe-lah yang lebih dulu menggerakkan semangat Renaisans Inggris.

Sementara Shakespeare kemudian membangunnya di atas fondasi yang telah disediakan. Pandangan ini memaksa dunia modern untuk melihat kembali bukan hanya “Bard of Avon”, tetapi juga rival yang meninggalkan bara dalam setiap karyanya.

Kajian akademis turut menegaskan relevansi Marlowe hari ini. Peneliti seperti Christopher McKeen menyoroti bagaimana blank verse Marlowe dalam Tamburlaine tidak sekadar alat puitis. Namun, juga mesin dramatis yang mampu menggerakkan atau menghentikan alur dengan intensitas emosional tinggi.

Sementara itu, analisis formalistik pada Doctor Faustus menyingkap kompleksitas konflik manusia modern: antara pengetahuan dan moralitas, ambisi dan kehancuran, kebebasan dan takdir. Tema-tema itu masih terasa segar di era digital saat manusia berhadapan dengan teknologi, batas etika, dan kekuasaan global.

Warisan ini juga hidup kembali di panggung teater. Di Canterbury, kota kelahirannya, digelar The Marlowe Sessions yang menampilkan pembacaan lengkap karya-karya Marlowe, disertai rekaman audio dan video untuk generasi baru.

Proyek ini berusaha mengembalikan Marlowe ke tempat yang layak dalam sejarah teater Inggris. Meskipun beberapa kritikus metropolitan meremehkannya. Inisiatif tersebut membuktikan bahwa nama Marlowe tetap memantik rasa ingin tahu publik dan penggemar sastra.

Media modern turut mempertegas kebangkitan ini. The New Yorker menilai bahwa keberanian Marlowe dalam menantang agama dan otoritas politik menjadikannya figur berbahaya yang relevan hingga kini. Washington Post menambahkan, dengan gaya new historicism, Greenblatt tidak hanya menulis biografi, melainkan juga menghadirkan kembali dunia kelam Renaisans dengan segala represi, kecemasan, dan pengawasan.

Di ranah akademik, bahkan muncul diskusi mengenai kemungkinan Christopher Marlowe ikut menulis naskah The Taming of the Shrew Ini  menandai bahwa ia bukan sekadar bayangan, tetapi bagian integral dari tradisi Shakespearean.

Nama Christopher Marlowe di era digital juga hidup dalam percakapan daring. Forum sastra dan komunitas penggemar Shakespeare kerap memuji kekuatan blank verse Marlowe sebagai lebih orisinal dan inventif dibanding Shakespeare. Komentar-komentar ini, meski lahir di ruang santai internet, mencerminkan sebuah kesadaran baru bahwa sejarah perlu dibaca ulang dengan lebih adil.

Warisan kontemporer Christopher Marlowe adalah tentang keberanian untuk menembus batas. Ia menulis dengan api yang terlalu terang untuk zamannya, sehingga ia harus dipadamkan. Tetapi cahaya itu tetap tersisa, menyinari jalan generasi berikutnya.

Kini, di ruang-ruang kuliah, panggung teater, hingga forum digital, Marlowe terus hidup sebagai suara yang menantang konvensi, mengajarkan bahwa kata-kata bisa lebih tajam daripada pedang, dan gagasan yang berani bisa menembus waktu lebih jauh daripada umur seorang manusia.

Shakespeare mungkin menguasai panggung dunia, tetapi tanpa percikan Marlowe, mungkin tak pernah ada kobaran api sastra yang membakar imajinasi kita hingga kini. Di tengah upaya mengenang, mengkaji, dan memroduksi ulang karyanya, Christopher Marlowe bukan lagi hanya bayangan Shakespeare, melainkan simbol abadi dari kreativitas, keberanian, dan warisan yang tak dapat dikubur sejarah. ***

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler