Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Apakah Rakyat Masih Menyimpan Trauma? Reaksi Sosial atas Demonstrasi 25 Agustus
9 jam lalu
Gelombang demonstrasi pada 25 Agustus 2025 menyulut kembali memori kolektif akan perlawanan sipil terhadap elit politik.
Ahmad Wansa Al-faiz.
Gelombang demonstrasi pada 25 Agustus 2025 menyulut kembali memori kolektif akan perlawanan sipil terhadap elit politik. Berawal dari protes terhadap tunjangan perumahan anggota DPR senilai Rp50 juta per bulan, aksi itu berkembang cepat menjadi simbol kebencian terhadap ketimpangan dan ketidakpedulian elit negara.
Namun ketika harapan berubah menjadi tragedi, seperti kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tertabrak mobil taktis Brimob, rakyat tidak hanya marah, tetapi juga trauma.
1. Trauma Teritorial: Kendaraan Militer Menjadi Simbol Ketakutan.
Momen ketika Affan tertabrak menjadi bukti menyakitkan bagi publik bahwa sekadar berada di ruang publik bisa menjadi ancaman. Tragedi itu memperkuat rasa takut: ruang demokrasi terasa terbatas oleh kekuatan aparat yang tak terduga.
2. Impiannya Masih Bisa Terulang Lagi.
Reformasi menjanjikan demokrasi terbuka, tetapi tragedi kekerasan ketika rakyat menuntut keadilan menunjukkan bahwa zona aman publik masih rapuh. Trauma bersifat kolektif ketika rakyat merasa, meski secara konstitusional bebas, kebebasan itu tetap bisa dibungkam secara fisik.
Luka Sosial Mendalam: antara Kepercayaan dan Ketakutan
Setelah 25 Agustus, muncul ketidakpercayaan: apakah pemerintah sebagai pelindung, atau sebagai ancaman laten? Penangkapan massal, represi, dan penghilangan (setidaknya 20 orang dilaporkan hilang) memperdalam luka sosial dan memperkuat skeptisisme terhadap janji demokrasi sejati.
Kesimpulan Sederhana.
Ya, rakyat masih menyimpan trauma—bukan hanya tentang kekerasan fisik, tapi juga tentang ketidakpastian bahwa suara dan eksistensi mereka aman di mata negara. Demonstrasi 25 Agustus bukan hanya momen protes; itu adalah alarm keras yang menyorot pentingnya reformasi sistematis dalam demokrasi kita.
Opini Sources.
[reuters.com](https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesian-police-clash-with-protesters-against-parliamentarians-salaries-2025-08-25/?utm_source=chatgpt.com)
[theguardian.com](https://www.theguardian.com/world/2025/sep/02/indonesia-protests-twenty-missing-rights-group-says?utm_source=chatgpt.com)
[reuters.com](https://www.reuters.com/world/asia-pacific/whats-fuelling-rage-indonesia-2025-09-02/?utm_source=chatgpt.com)

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Kritik Bukan Kudeta, Kudeta Itu Kudet
9 jam lalu
Fungsi Sosiologis Hukum dan Pertahanan Sipil
8 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler