Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.

Kritik Bukan Kudeta, Kudeta Itu Kudet

9 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Demonstrasi Mahasiswa. Mahasiswa terlibat bentrok dengan kepolisian dalam aksi tolak kenaikan gaji anggota DPR di Jalan Gerbang Pemuda, Jakarta, 28 Agustus 2025. Tempo/Amston Probel
Iklan

Bangsa ini menyimpan sejarah panjang bagaimana kritik kerap disalahartikan sebagai kudeta.

 

Ahmad Wansa Al-faiz.


Bangsa ini menyimpan sejarah panjang bagaimana kritik kerap disalahartikan sebagai kudeta. Dari era Orde Baru hingga pasca-Reformasi, suara keras masyarakat sipil, mahasiswa, dan oposisi sering dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai ruang evaluasi. Padahal, dalam konteks ke-Indonesian, kritik adalah bagian dari cara menjaga dan mengarahkan pengelolaan aset bangsa yang bukan semata harta, tetapi sumber daya manusia, demografi, dan geografi yang menentukan posisi Indonesia di mata dunia.

Kritik sebagai mekanisme koreksi

Kritik keras hendaknya dipahami sebagai cara pandang progresif. Ia ibarat peringatan:

“Jangan lewat jalan itu, sedang ada perbaikan ; jika diteruskan, justru akan menunda kepentinganmu.”

Artinya, kritik bukan meruntuhkan jalan, melainkan memastikan perjalanan bangsa tidak tersesat. Dalam demokrasi, kritik memberi ruang untuk evaluasi, mengoreksi arah, dan menjaga agar potensi aktif bangsa tidak terkubur oleh kebijakan yang keliru.

Kekuasaan yang kudet

Kekuasaan selalu bersifat subjektif. Ia cenderung menutup telinga dari kritik, menegakkan tabir yang kokoh, hingga suara peringatan terlempar keluar dan dicap ancaman. Inilah yang justru berbahaya: kekuasaan yang tidak mau dikritik menjadi kudet (kurang update), terjebak dalam romantisme masa lalu, gagal membaca zaman, dan akhirnya melawan potensi bangsanya sendiri.

Menghukum bangsa sendiri

Pertanyaan besar muncul: apakah kita sedang menghukum bangsa sendiri dengan menindas kritik? Bukankah yang kita dera itu adalah sumber daya aktif bangsa sendiri—manusia-manusia yang seharusnya menjadi motor peradaban? Menghukum suara kritis sama saja dengan memundurkan kemajuan berpikir kita sebagai bangsa, padahal Indonesia bercita-cita menjadi nominator dari peradaban dunia.

Dimensi hukum: antara pelanggaran dan eksekusi

Hukum seharusnya jernih dalam melihat objek sasaran. Pelanggaran yang berujung pada penghilangan nyawa memang pantas diganjar hukuman berat, bahkan mati. Namun di luar itu, mestinya ada ruang penangguhan, pengampunan, dan koreksi agar demokratisasi Indonesia berjalan menuju stabilitas politik, hukum, dan ekonomi.


Dalam konteks ini, sebagai suatu motivasi komparasi konstelasi hukum di Indonesia adalah vonis mati terhadap Subandrio (baca, Marsekal TNI (Purn.) (Tit.) dr. Soebandrio). Pada vonis hasil Mahmilub Soebandrio dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa dengan tuduhan terlibat Gerakan 30 September, meskipun tidak ada bukti nyata bahwa ia mengetahui rencana tersebut atau memainkan peran apa pun di dalamnya (dia berada di Sumatera pada saat itu).

Hukuman ini kemudian dikurangi menjadi hukuman penjara seumur hidup atas permintaan pemerintah Britania Raya atas nama Ratu Elizabeth II, mengingat Soebandrio adalah duta besar pertama Indonesia untuk Britania Raya. Hal ini, menimbulkan pertanyaan serius: apakah ia dihukum karena pelanggaran yang terbukti, atau karena kekuasaan yang tidak memberi ruang bagi kritik ideologis?

Jika yang terjadi adalah yang kedua, maka vonis itu lebih mencerminkan kekuatan politik ketimbang kebenaran hukum.

Beliau akhirnya menerima grasi 2 Juni 1995, dari Presiden Soeharto dan dibebaskan 15 Agustus 1995 bersama Omar Dhani dan Soegeng Soetartotepat sehari sebelum perayaan 50 tahun kemerdekaan Indonesia.


Kritik bukanlah kudeta. Kritik adalah mekanisme sehat untuk menjaga bangsa tetap berada di jalan yang benar. Justru menolak kritik membuat kekuasaan menjadi kudet, kehilangan arah, dan berbalik menghukum bangsanya sendiri.

Dari pengalaman sejarah, termasuk kasus Subandrio, kita diingatkan bahwa demokrasi hanya bisa bertahan jika hukum jernih, adil, dan membedakan antara kritik dengan kejahatan. Sebab jika tidak, yang dihukum bukanlah pengkhianat, melainkan masa depan bangsa itu sendiri.


source : https://id.wikipedia.org/wiki/Soebandrio

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Jurnal Mitigasi Litigasi - Supervisi Sosial Dan Politik

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler