Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.

Fobia Buku Kiri dan Keberanian Franz Magnis-Suseno

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Arina.id Polisi Sita Buku Marx karya Magnis Suseno, YLBHI: Aparat Gagal Baca Kebebasan Berpikir
Iklan

***

ahmad wansa al-faiz

Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz.


Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Fobia Buku Kiri Dan Keberanian Franz Magnis-Suseno

Ada yang terasa janggal di negeri ini: membaca Karl Marx bisa dianggap ancaman, padahal di ruang-ruang akademik dunia, Marx hanyalah salah satu nama dalam daftar panjang filsuf modern. Indonesia, dengan segala traumanya terhadap peristiwa 1965, memang punya alasan historis untuk berhati-hati. Tetapi, sampai hari ini, kita sering melihat trauma itu menjelma menjadi fobia, bahkan terhadap buku yang sejatinya justru berisi kritik terhadap Marxisme.

Kasus yang menimpa Franz Magnis-Suseno pada 2019 menjadi contoh terang-benderang. Bukunya ikut dirazia oleh Brigade Muslim Indonesia (BMI) di Makassar karena dianggap menyebarkan ajaran komunis. Ironisnya, buku tersebut sama sekali bukan manifesto propaganda, melainkan kajian akademis yang berkesimpulan bahwa Marxisme adalah teori yang gagal. Dengan kata lain, isi bukunya justru selaras dengan semangat TAP MPRS XXV/1966 yang melarang penyebaran ajaran komunisme.

Magnis dengan tenang menjawab :

  •  “Membicarakan secara kritis suatu teori itu tidak sama dengan menyebarkan teori itu.”

Jawaban sederhana ini seharusnya cukup untuk menutup polemik. Sayangnya, trauma lama seringkali lebih kuat daripada logika sehat.

Dialektika Yang Hilang

Di banyak negara, Marx dibaca bukan untuk dijadikan kitab suci, melainkan untuk diperdebatkan. Di Eropa, Marx adalah pintu masuk menuju kritik kapitalisme. Bahkan banyak ekonom liberal yang menempatkannya sebagai batu loncatan intelektual. Indonesia justru kebalikannya: membaca Marx kerap diidentikkan dengan ingin menghidupkan kembali PKI.

Padahal, belajar Marx sama sekali tidak otomatis berarti menjadi Marxis. Sama seperti membaca Machiavelli tidak otomatis membuat seseorang jadi penguasa licik, atau membaca filsafat Nietzsche tidak serta-merta menjadikan orang “manusia super”. Kalau begitu logikanya, membaca buku masakan bisa membuat seseorang tiba-tiba jadi chef bintang Michelin.

Revisi Yang Diperlukan

Justru dalam kacamata dialektika, tindakan Magnis dapat dibaca sebagai bentuk revisionisme : menguji Marx dengan nalar, menemukan kelemahannya, dan mengingatkan generasi baru bahwa utopia komunisme pernah gagal secara nyata. Alih-alih menebar bahaya, kajian seperti ini berfungsi sebagai vaksin intelektual—membuat masyarakat kebal dari godaan ideologi totalitarian.

Namun, sebagian orang tampaknya lebih percaya pada sampul buku ketimbang isinya. Seperti orang yang menilai novel horor hanya dari judulnya lalu berteriak “setan!”, padahal belum membuka halaman pertama. Inilah tragedi literasi kita: kritik terhadap Marx malah disita, sementara gosip politik murahan bebas beredar tanpa sensor.

Menutup Catatan

Kasus razia buku Magnis menunjukkan bahwa demokrasi kita masih gamang. Kita ingin bebas, tapi masih sering menakuti bayangan masa lalu. Kita ingin maju, tapi kadang masih tergelincir pada prasangka. Franz Magnis-Suseno, dengan keberanian akademiknya, mengingatkan bahwa "kritik terhadap Marx bukanlah ancaman, melainkan bagian dari proses menjadi bangsa yang dewasa. Toh, takut baca Marx itu ibarat takut makan cabai karena pernah sekali kepedasan : berlebihan, tidak produktif, dan hanya membuat kita kehilangan selera untuk mencoba rasa baru.

Jika, membahas kritik terhadap pemikiran Karl Marx melalui pembacaan Franz Magnis-Suseno, khususnya mengenai transisi dari sosialisme utopis ke sosialisme revisionis. Bahwa, Pemikiran Marx yang berlandaskan determinisme ekonomi dan optimisme historis terbukti rapuh ketika berhadapan dengan realitas kapitalisme modern yang lentur. Franz Magnis-Suseno menegaskan bahwa kelemahan Marx bukan hanya terletak pada kegagalan praksis komunisme di abad ke-20, tetapi juga pada cacat teoretis internal dalam filsafat sejarah Marx. Dengan demikian, revisionisme sosialisme yang dikembangkan tokoh seperti Eduard Bernstein menjadi bukti dialektika filsafat terhadap Marx : bukan menolak sepenuhnya, tetapi merevisi dan memperbaiki.

Karl Marx merupakan salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah modern, dengan gagasannya tentang perjuangan kelas, determinisme historis, dan cita-cita masyarakat tanpa kelas. Namun, realitas abad ke-20 memperlihatkan kegagalan sistem komunisme yang mengklaim diri berakar pada ajaran Marx. Hal ini melahirkan berbagai kritik, termasuk dari Franz Magnis-Suseno, yang menyoroti kelemahan konseptual Marx.

Artikel ini bertujuan menelaah - kasus kritik terhadap Marx -, khususnya melalui konsep - revisionisme sosialisme - yang menjadi bentuk dialektika filsafat atas kelemahan ide komunisme.

Sosialisme Utopis Dan Janji Emansipasi

Dalam - Manifesto Komunis, Marx dan Engels menolak sosialisme utopis ala Saint-Simon, Fourier, dan Owen, dengan alasan tidak ilmiah.1 Namun, ironisnya, Marx sendiri jatuh ke dalam jebakan utopia: ia membayangkan suatu masyarakat tanpa kelas sebagai keniscayaan sejarah, tanpa memberi mekanisme transisi yang jelas.

Sejarah kapitalisme kemudian menunjukkan daya tahannya. Alih-alih runtuh, kapitalisme bertransformasi melalui reformasi politik dan welfare state, yang justru meredam potensi revolusi.2

Kritik Franz Magnis-Suseno : Kerapuhan Internal Marx

Franz Magnis-Suseno menegaskan bahwa pemikiran Marx mengandung beberapa kelemahan fundamental :3

  • Determinisme ekonomi : Marx mereduksi politik, hukum, dan agama sebagai cerminan basis ekonomi. Padahal, relasi antara basis dan suprastruktur bersifat timbal balik.
  • Optimisme historis   : Marx yakin sejarah pasti menuju komunisme. Kritik Magnis menekankan bahwa sejarah bersifat kontingen, penuh ketidakpastian.
  • Absennya etika        : Marx menolak etika normatif, menganggapnya ideologi borjuis. Padahal, tanpa etika, sosialisme kehilangan legitimasi moral.

Dengan demikian, komunisme bukan hanya gagal secara praksis, melainkan juga - gagal secara teoretis.

Dari Komunisme ke Revisionisme

Revisi terhadap Marx muncul sejak akhir abad ke-19. Eduard Bernstein, misalnya, menolak tesis revolusi proletariat dan menawarkan sosialisme melalui jalur demokratis.4 Revisionisme ini menandai pergeseran dari komunisme utopis ke sosialisme realistis.

Dalam perspektif dialektika, revisionisme bukanlah pengkhianatan terhadap Marx, melainkan - kelanjutan kritis - dari semangat Marx sendiri—yaitu semangat kritik.5

Dialektika Kritik Sebagai “Penyitaan” Atas Marx

Jika komunisme pernah menjadi ideologi yang "membeku", maka kritik Magnis-Suseno dan tradisi revisionis dapat dilihat sebagai upaya “penyitaan” terhadap Marx: melepaskannya dari klaim absolut, lalu menempatkannya kembali sebagai inspirasi kritis, bukan dogma.

Dengan demikian, Marx tetap relevan bukan sebagai nabi komunisme, melainkan sebagai penggerak dialektika filsafat yang membuka ruang bagi revisi dan reinterpretasi terus-menerus.

Kesimpulan.

Franz Magnis-Suseno berhasil menunjukkan bahwa kelemahan Marx terletak pada determinisme ekonomi, optimisme historis, dan ketiadaan etika. Hal ini menjelaskan kegagalan komunisme, sekaligus membuka ruang bagi revisionisme sosialisme. Dengan membaca Marx secara dialektis, kritik justru menjadi cara menjaga relevansi filsafat Marx. Sosialisme mungkin gagal sebagai utopia, tetapi tetap hidup sebagai koreksi etis terhadap kapitalisme.

Catatan Kaki.

  1. Karl Marx & Friedrich Engels, Manifesto Komunis (Jakarta: Progress, 2003), hlm. 45–50.
    2. Eric Hobsbawm, Age of Extremes: The Short Twentieth Century, 1914–1991 (London: Abacus, 1995), hlm. 23–24.
    3. Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 112–118.
    4. Eduard Bernstein, Evolutionary Socialism (New York: Schocken Books, 1961), hlm. 154–160.
    5. Jürgen Habermas, Theory and Practice (Boston: Beacon Press, 1973), hlm. 95–97.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Jurnal Mitigasi Litigasi - Supervisi Sosial Dan Politik

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler