Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Revisionisme, Kontradiksi Logis terhadap Plato, Sir Thomas More dan Utopia
6 jam lalu
Tulisan ini berusaha menelaah posisi revisionisme dalam filsafat politik sebagai suatu antitesis logis terhadap gagasan negara ideal Plato
Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz.
Tulisan ini berusaha menelaah posisi revisionisme dalam filsafat politik sebagai suatu antitesis logis terhadap gagasan negara ideal Plato (Politeia) dan visi utopis Sir Thomas More (Utopia). Dengan menggunakan pendekatan historis-filosofis, artikel ini menyoroti bagaimana revisionisme sebagai tradisi kritik internal dalam sosialisme maupun dalam teori politik modern menjadi respons dialektis terhadap utopia yang bersifat statis. Revisi ideologi bukan sekadar pergeseran strategis, melainkan suatu pengakuan terhadap sifat dinamis masyarakat, yang bertolak belakang dengan ilusi kesempurnaan abadi sebagaimana digambarkan dalam tradisi utopis.
Utopia telah lama menjadi horizon imajiner filsafat politik. Plato dalam Republic membayangkan negara yang diperintah oleh raja-filsuf, sementara More dalam Utopia (1516) menyusun gambaran masyarakat harmonis tanpa konflik, kesenjangan, maupun egoisme. Namun dalam realitas politik, proyek utopis ini lebih sering menjadi kritik sastra ketimbang cetak biru negara. Di sinilah revisionisme muncul sebagai bentuk dialektika yang menegaskan: masyarakat tidak dapat direduksi menjadi skema tunggal yang abadi, melainkan selalu bergerak dan perlu ditinjau ulang secara historis.
Plato dan Arsitektur Negara Ideal
Dalam Politeia, Plato mengandaikan sebuah polis yang sempurna dengan struktur kelas yang rigid: penguasa, penjaga, dan produsen.¹ Konsep ini menempatkan filsuf sebagai penguasa ideal karena dianggap paling memahami - eidos - kebaikan. Namun, kelemahan mendasar terletak pada sifat ahistoris rancangan tersebut. Negara yang digambarkan Plato tidak menyediakan ruang bagi perubahan, padahal sejarah menunjukkan bahwa masyarakat senantiasa berada dalam arus transformasi.²
Sir Thomas More dan Ironi Utopia
Thomas More menghadirkan "Utopia" sebagai kritik terhadap praktik sosial-politik Inggris abad ke-16.³ Ironinya, banyak pembaca kemudian menafsirkan karya itu sebagai rancangan serius suatu masyarakat ideal. Dalam "Utopia", keseragaman dipaksakan: pakaian, rumah, dan pola kehidupan bersifat seragam. Dengan demikian, "Utopia" tidak hanya problematis secara praktis, tetapi juga meniadakan kebebasan individu. Dari perspektif revisionisme, gagasan ini menjadi contoh klasik dari bahaya idealisasi yang mengabaikan pluralitas manusia.⁴
Revisionisme: Dialektika terhadap Utopia
Revisionisme dalam tradisi sosialisme mula-mula lahir melalui kritik Eduard Bernstein terhadap Marxisme ortodoks.⁵ Ia menekankan bahwa sosialisme tidak perlu dicapai melalui revolusi tunggal, melainkan melalui reformasi bertahap dan demokratis. Dari titik ini, revisionisme dapat dipahami sebagai paradigma politik yang menerima realitas historis dan menolak finalitas utopia.
Kontradiksi logis dengan Plato dan More dapat dirumuskan sebagai berikut :
- Plato mengandaikan kesempurnaan abadi; revisionisme menekankan keterbatasan historis.
- More membayangkan harmoni statis; revisionisme menerima konflik sebagai motor perubahan.
- Utopia adalah peta statis; revisionisme adalah kompas dinamis yang bergerak sesuai konteks.
Kesimpulan
Revisionisme, baik dalam konteks sosialisme maupun dalam refleksi politik kontemporer, berfungsi sebagai koreksi terhadap warisan utopis yang terlalu idealistik. Jika Plato dan More menghadirkan model yang statis, revisionisme menegaskan sifat dinamis masyarakat dan kebutuhan untuk selalu memperbarui teori maupun praktik politik. Dengan demikian, revisionisme tidak hanya merupakan antitesis terhadap utopia, tetapi juga menjadi paradigma metodologis yang lebih realistis dalam memahami sejarah manusia.
a

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler