Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Apakah Kita Akan Terus Membiarkan Aspal Buton Menjadi Pecundang?
1 jam lalu
Aspal Buton tidak boleh terus menjadi pecundang di tanahnya sendiri. Ia lahir sebagai pemenang, tetapi kebijakan membuatnya terus terpojok.
Aspal Buton adalah anugerah alam yang tidak dimiliki bangsa lain. Cadangannya mencapai ratusan juta ton, cukup untuk menopang seluruh kebutuhan Indonesia selama puluhan tahun. Namun hingga kini, potensinya dibiarkan terpendam. Negeri ini seolah takut pada kekayaannya sendiri.
Sejak era kolonial, darah dan keringat rakyat Buton sudah menetes demi menjaga warisan bumi itu. Mereka menjaga lokasi tambang, menahan kerusakan lingkungan, dan mengorbankan lahan demi harapan besar. Tetapi hadiah dari pusat kekuasaan tidak pernah datang. Yang tersisa hanya janji-janji yang menguap di udara.
Pemerintah silih berganti, rencana besar hilirisasi aspal Buton selalu diulang. Setiap periode menyebut “prioritas strategis,” namun tindakan nyata jarang terlihat. Jalan nasional masih diselimuti aspal impor. Dan devisa negara terus mengalir keluar seperti air dari keran bocor.
Petisi Aspal Buton daring, proposal investor, hingga seminar internasional sudah digelar. Rakyat Buton tidak tinggal diam. Mereka menggalang suara, menulis, dan melobi. Tetapi tembok kebijakan pusat terlalu tebal untuk ditembus.
Presiden Prabowo Subianto menjanjikan swasembada aspal 2030. Janji yang membuat rakyat Buton sempat menyalakan harapan. Namun setahun pemerintahan berlalu, tanda-tanda keberanian itu tidak juga terlihat. Waktu terus habis, dan rasa percaya mulai tergerus.
Sementara itu, mafia impor aspal disebut-sebut masih bercokol di balik layar. Jika benar, mengapa mereka dibiarkan? Apakah penguasa lebih nyaman bersama jaringan lama ketimbang memulai era kedaulatan? Pertanyaan ini menggantung tanpa jawaban.
Setiap ton aspal impor adalah bukti bahwa keringat rakyat Buton diabaikan. Mereka yang menambang di bawah terik matahari tidak pernah melihat hasil jerih payahnya jadi kebanggaan nasional. Sebaliknya, jalan-jalan megah di Jakarta dan kota besar dilapisi produk asing. Ironi ini menyesakkan dada.
Investor sebenarnya sudah siap menggelontorkan modal. Dari dalam negeri hingga mancanegara, proposal dan studi kelayakan berjejer. Namun lampu hijau dari pemerintah pusat tidak kunjung menyala. Tanpa restu itu, modal besar hanya menjadi kertas usang di laci.
Buton sendiri sudah menyiapkan “karpet hitam” kemerdekaan infrastruktur. Lahan tersedia, tenaga kerja siap, dan masyarakat mendukung. Mereka bahkan menyiapkan kebijakan lokal untuk mempercepat pembangunan. Tetapi pusat kekuasaan justru ragu dan diam.
Ketika berbicara soal Indonesia Emas 2045, pemerintah kerap menyanjung kemandirian. Namun tanpa aspal nasional, kemandirian itu hanya slogan. Bagaimana mungkin Indonesia emas jika jalannya masih bergantung pada aspal impor? Ini paradoks yang sangat menyakitkan.
Rakyat Buton sudah melewati babak “berdarah-darah” dalam perjuangan ini. Mereka menanggung biaya sosial, konflik lahan, dan kerusakan lingkungan demi harapan swasembada aspal. Mereka tidak meminta belas kasihan, hanya pengakuan dan dukungan. Tetapi pengakuan itu seakan tabu di pusat kekuasaan.
Kementerian Perindustrian bahkan sudah memiliki peta jalan hilirisasi aspal Buton. Targetnya jelas: swasembada aspal 2030. Namun tanpa komando presiden, peta itu hanyalah gambar di dinding. Sebuah mimpi yang menunggu tanda tangan keberanian.
Bayangkan jika cadangan aspal Buton dikelola serius: lapangan kerja baru, pendapatan daerah, dan devisa negara melonjak. Ini bukan mimpi kosong, semua hitungan ekonomi sudah jelas. Yang tidak jelas hanya kemauan politik. Di situlah masalah utama bersembunyi.
Sejarah akan menulis siapa yang membiarkan peluang emas ini hilang. Apakah kita ingin dikenang sebagai bangsa yang takut pada kekayaan sendiri? Atau sebagai generasi yang berani mengubah arah? Pilihan itu ada sekarang, bukan besok.
Rakyat Buton sudah melakukan bagiannya. Mereka menyiapkan tambang, mengedukasi para generasi muda, dan merawat warisan alam. Kini bola panas ada di tangan presiden dan kabinetnya. Diam berarti menyetujui status quo.
Aspal Buton tidak boleh terus menjadi pecundang di tanahnya sendiri. Ia lahir sebagai pemenang, tetapi kebijakan membuatnya terus terpojok. Jika tidak ada langkah berani, swasembada aspal 2030 hanya akan menjadi tahun kekecewaan. Indonesia akan kehilangan kesempatan emasnya.
Presiden Prabowo, bangsa menunggu keputusan Bapak. Apakah Bapak akan terus membiarkan Aspal Buton menjadi simbol kegagalan abadi, atau menjadikannya mahkota kedaulatan? Sejarah tidak pernah menunggu, dan rakyat Buton sudah terlalu lama berdarah. Jawaban ada di tangan dingin Bapak, dan waktu hampir habis.

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler