Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.

Film Orwell: 2+2=5, Ketika Fiksi Menjadi Fakta Global

15 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Film Orwell 2 + 2 \x3d 5
Iklan

Distopia bukan imajinasi, fiksi karya George Orwell kini jadi kenyataan.

***

George Orwell, nama pena dari Eric Arthur Blair (1903–1950), adalah penulis, esais, dan jurnalis asal Inggris yang dikenal luas karena karya-karyanya yang tajam dalam mengritik otoritarianisme, imperialisme, dan ketidakadilan sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lahir di India kolonial, ia tumbuh di Inggris dan sempat bekerja sebagai aparat kolonial di Burma. Pengalaman yang kemudian membuatnya muak pada sistem imperialis. Orwell kemudian terjun dalam dunia jurnalisme investigatif, menulis tentang kemiskinan kelas pekerja di Inggris, dan secara langsung ikut serta dalam Perang Saudara Spanyol melawan fasisme. Pengalaman-pengalaman itu membentuk gaya tulisannya yang lugas, kritis, sekaligus sarat dengan dimensi moral.

Karya-karya besarnya, seperti Animal Farm (1945) dan 1984 (1949), menjadikannya salah satu penulis paling berpengaruh abad ke-20. Animal Farm adalah alegori satir tentang bahaya totalitarianisme yang menyamarkan Revolusi Rusia dalam kisah hewan ternak.

Sementara novel 1984 menghadirkan dunia distopia yang dikendalikan oleh pengawasan total, manipulasi bahasa, dan hilangnya kebenaran objektif. Kedua karya itu membuat namanya abadi sebagai simbol perlawanan terhadap tirani dan penyalahgunaan kekuasaan.

Hingga kini, istilah-istilah seperti “Big Brother”, “Newspeak”, dan “Thoughtcrime” masih sering digunakan untuk menggambarkan kondisi politik dan sosial yang mengekang kebebasan berpikir.

Dalam dokumenter terbarunya melalui film bertajuk Orwell: 2+2=5, sutradara Raoul Peck menghadirkan sebuah karya yang melampaui sekadar potret biografis seorang penulis legendaris. Film ini bukan hanya mengisahkan George Orwell dan pergulatannya melawan penyakit serta waktu ketika menulis 1984, melainkan juga menyandingkan gagasannya dengan realitas dunia kontemporer yang sarat dengan manipulasi informasi, propaganda digital, dan ancaman otoritarianisme modern.

Peck memilih jalur yang tidak lazim. Alih-alih menampilkan wawancara atau komentar para pakar, ia mengandalkan narasi suara aktor Damian Lewis yang membacakan potongan tulisan Orwell, disertai montase arsip sejarah, cuplikan film, dan rekaman peristiwa terkini.

Strategi ini menghasilkan pengalaman menonton yang lebih puitis dan reflektif, seakan-akan penonton dibawa masuk ke dalam imajinasi Orwell sendiri. Editing film kerap melarutkan batas antara fiksi, fakta, dan simbol, sehingga menegaskan pesan utama: dunia Orwell belum usai. Ia terus berulang dalam konteks baru.

Latar kisah berfokus pada tahun-tahun terakhir Orwell di Pulau Jura, Skotlandia. Dalam kondisi fisik yang rapuh akibat tuberkulosis, ia berpacu menyelesaikan 1984, sebuah karya yang kini dianggap sebagai peringatan abadi terhadap totalitarianisme. Dari titik itu, Peck menelusuri perjalanan intelektualnya: masa kecil Eric Arthur Blair di India, tugas kolonial di Burma yang meninggalkan luka moral, keterlibatan di Perang Saudara Spanyol, hingga karier jurnalistik yang membentuk pandangan kritis terhadap kekuasaan.

Peck tidak berhenti pada narasi sejarah. Ia mengaitkan tulisan George Orwell dengan fenomena masa kini: disinformasi yang diproduksi oleh algoritma media sosial, rekayasa gambar dengan kecerdasan buatan, hingga kekerasan dan perang di berbagai belahan dunia.

Saat kalimat Orwell bergema, “konsep kebenaran objektif mulai menghilang dari dunia,” layar menampilkan potongan konflik Gaza, Mariupol, hingga protes-protes politik mutakhir. Film ini menegaskan bahwa konsep “dunia alternatif” bukan sekadar jargon, tetapi kenyataan yang menantang batas akal sehat masyarakat global.

Meskipun tidak menyajikan biografi lengkap, Orwell: 2+2=5 dipuji karena kekuatan atmosfernya. Kritik menyebut film ini bukanlah dokumen akademis yang rinci, melainkan peringatan moral yang menyengat.

Di situlah nilai lebihnya: Orwell ditampilkan bukan hanya sebagai sosok masa lalu, tetapi sebagai “cermin keras” bagi zaman ini. Slogan-slogan distopia dalam 1984—“Perang adalah Damai”, “Kebebasan adalah Perbudakan”, “Ketidaktahuan adalah Kekuatan” diangkat kembali dengan kekuatan visual yang menohok, mengingatkan bahwa bahasa bisa menjadi alat kekuasaan paling berbahaya.

Film berdurasi 119 menit ini diproduksi oleh Velvet Film, Jigsaw Productions, Anonymous Content, Closer Media, serta Universal Pictures Content Group, dan didistribusikan oleh Neon. Tayang perdana di Festival Film Cannes 2025, dokumenter ini menuai pujian sebagai karya yang patut diperhitungkan pada masa ketika kebohongan sering kali lebih viral daripada kebenaran.

Bila ditinjau secara kajian sastra dan komunikasi, Orwell: 2+2=5 mengingatkan kembali fungsi utama literatur sebagai alat refleksi sosial. George Orwell menulis bukan sekadar untuk menciptakan fiksi, melainkan untuk membongkar mekanisme kekuasaan yang bekerja melalui bahasa, simbol, dan kontrol informasi.

Dalam konteks hari ini, film Peck menghidupkan konsep “Newspeak” dan “Big Brother” sebagai metafora bagi dominasi algoritma, sensor digital, dan rekayasa opini publik. Kajian teori media kontemporer, seperti yang diajukan oleh Neil Postman maupun Shoshana Zuboff, dapat memperkaya pemahaman film ini: masyarakat kini hidup dalam era surveillance capitalism. Dalam kaitan ini, data pribadi menjadi komoditas dan kesadaran publik diarahkan oleh logika pasar sekaligus politik.

Dari perspektif filsafat politik, dokumenter ini juga selaras dengan peringatan Hannah Arendt tentang banalitas keburukan dan ancaman totalitarianisme. Seperti Orwell, Arendt menekankan bahwa kebenaran bisa dihancurkan bukan hanya melalui kekerasan, tetapi melalui banjir kebohongan dan manipulasi bahasa. Peck berhasil menghadirkan resonansi ini secara sinematis, sehingga filmnya tidak hanya bernilai estetis, tetapi juga edukatif—mengajak penonton merenung sekaligus bertindak.

Dalam konteks Indonesia, Orwell: 2+2=5 memiliki gema yang tak kalah kuat. Fenomena disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian yang merebak di media sosial Indonesia dapat dilihat sebagai contoh nyata dari apa yang diperingatkan Orwell.

 “Newspeak” dan manipulasi bahasa hadir dalam bentuk narasi politik yang sengaja dibelokkan, slogan-slogan populis yang mengaburkan fakta, hingga framing berita yang memicu polarisasi. Seperti Orwell, masyarakat Indonesia menghadapi tantangan dalam membedakan antara kebenaran objektif dan “kebenaran” yang direkayasa oleh kepentingan tertentu.

Selain itu, isu pengawasan digital juga semakin relevan. Dengan maraknya penggunaan big data dan AI  masyarakat kini hidup dalam sistem yang tak ubahnya “Big Brother” modern.

Data pribadi warga dapat dilacak, preferensi politik direkam, dan opini publik diarahkan melalui algoritma media sosial. Kondisi ini sejalan dengan konsep surveillance capitalism—bahwa kehidupan manusia sehari-hari berubah menjadi komoditas yang dieksploitasi oleh kekuatan ekonomi dan politik.

Film ini juga dapat dibaca sebagai dinamika demokrasi Indonesia. Jika Orwell menentang dominasi tunggal yang meniadakan kebebasan berpikir, maka masyarakat Indonesia seharusnya memperkuat nilai musyawarah, gotong royong, dan penghargaan pada keberagaman.

Dengan demikian, perlawanan terhadap disinformasi dan otoritarianisme bukan hanya urusan politik, tetapi juga praktik kebudayaan dan pendidikan. Sekolah, misalnya, perlu mengembangkan literasi kritis agar generasi muda mampu membaca teks media dengan tajam dan tidak mudah terjerumus pada manipulasi.

Resepsi film ini di Indonesia, bila diputar di layar lebar atau platform digital, kemungkinan besar akan menimbulkan diskusi luas. Para akademisi bisa memanfaatkannya sebagai bahan ajar tentang literasi media, filsafat politik, dan kajian budaya. Aktivis masyarakat sipil akan melihatnya sebagai pengingat bahwa demokrasi memerlukan kewaspadaan konstan. Sementara itu, penonton umum mungkin akan merasakan getaran emosional—ketika menyadari bahwa distopia bukan sekadar kisah fiksi, melainkan realitas yang perlahan menghampiri jika kebenaran terus dipermainkan.

Film Orwell: 2+2=5 tidak hanya berfungsi sebagai dokumenter internasional, melainkan juga cermin bagi kita. Ia menuntut kita untuk kembali mempertanyakan: sejauh mana kita menjaga kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, dalam perbincangan politik, maupun dalam ruang digital yang kita huni?

Sutradara Peck, melalui suara Orwell, seolah berpesan bahwa demokrasi dan kebebasan berpikir bukanlah warisan yang statis. Ia perjuangan yang harus terus dirawat. ***

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler