Waspadai Gejala Anemia pada Remaja Putri

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Anemia pada Remaja Putri: Tantangan Kesehatan untuk Menyelamatkan Generasi Bangsa
Iklan

Kondisi anemia yang juga disebut sebagai kurang darah sering dijumpai di kalangan masyarakat khususnya pada remaja putri.

***

Wacana ini ditulis oleh Aisyah Umaira. Pembimbing Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kondisi anemia yang juga disebut sebagai kurang darah sering dijumpai di kalangan masyarakat khususnya pada remaja putri. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, persentase pengidap anemia pada usia 5-14 tahun sebanyak 26,8%, pada usia 15-24 sekitar 32%, dan pada ibu hamil sebanyak 48,9%. Survei Kesehatan Nasional juga menunjukkan prevalensi anemia di daerah pinggiran kota lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan (Kemenkes, 2007). Anemia sendiri merupakan suatu keadaan terjadinya penurunan massa sel darah merah atau eritrosit dari kondisi normal yang menyebabkan rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dalam darah seseorang, yang mengganggu proses pengangkutan oksigen pada sistem peredaran darah (WHO, 2015).

Kurangnya kadar oksigen dalam darah dapat memicu munculnya gejala anemia. Gejala anemia yang terjadi memiliki kategorinya masing-masing. Penderita anemia ringan umumnya sering mengalami 5L (Lesu, Letih, Lemah, Lelah, dan Lalai) setelah melakukan aktivitas yang berat. Pada tahap anemia sedang mulai timbul gejala yang lebih nyata, seperti sering merasakan jantung berdebar lebih cepat dari biasanya, mudah lelah setelah beraktivitas biasa, sesak napas, dan terlihat pucat dari biasanya. Saat seseorang telah menderita anemia berat, gejala yang muncul berupa kelelahan yang berkepanjangan, menggigil, jantung berdebar terlalu cepat, lebih terlihat pucat, nyeri dada, sesak napas, hingga gangguan pada fungsi organ lain. Hal-hal ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan daya tahan tubuh yang kemudian mudah terserang penyakit dan menghambat aktivitas serta sulit berkonsentrasi.

Angka penderita anemia pada anak usia sekolah dan remaja hampir tiga kali lipat (Linder, 1958). Faktor penyebab tingginya angka kejadian anemia pada kalangan remaja di antaranya tidak terpenuhinya kebutuhan  asupan zat besi dan zat gizi lainnya, misalnya vitamin A, vitamin C, folat, riboflavin dan B12, terjadi kesalahan dalam mengonsumsi zat besi misalnya konsumsi zat besi bersamaan dengan zat lain yang dapat mengganggu proses penyerapan zat besi tersebut (Julaecha, 2020). Secara umum, Anemia disebabkan oleh beberapa faktor utama.

Pertama, kekurangan asupan zat gizi, seperti zat besi, asam folat, vitamin, dan protein sehingga mengganggu proses pembentukan hemoglobin dalam tubuh.  Kedua, Kebiasaan pola konsumsi masyarakat yang tidak benar, memicu risiko menderita anemia. Ketiga, mengalami pendarahan baik akut maupun kronis. Pendarahan akut umumnya disebabkan oleh kecelakaan, sedangkan pendarahan kronis disebabkan oleh menstruasi yang berlangsung lama dan banyak, pendarahan akibat malaria yang menyebabkan sel darah merah pecah atau rusak (hemolysis), pendarahan akibat cacingan di mana cacing menghisap darah dan merusak dinding usus. Keempat, faktor keturunan, seperti penyakit thalassemia.

Anemia berdasarkan penyebabnya dan karakteristik, anemia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Anemia defisiensi zat besi, yang disebabkan kekurangan zat besi dalam tubuh, yang sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin dalam darah. Jenis anemia ini merupakan penyebab utama anemia di dunia dan sering ditemui khususnya pada remaja putri.

Anemia defisiensi besi pada remaja putri berisiko lebih tinggi karena dapat menyebabkan seseorang mengalami penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena masalah kesehatan. Kondisi ini dipicu oleh kebutuhan zat besi yang meningkat akibat menstruasi bulanan dan masa pertumbuhan, serta ketidakseimbangan asupan gizi. Menstruasi berlebihan lebih dari 3–4 hari disertai pucat dan hampir pingsan dapat memperburuk risiko anemia, sehingga perlu segera diperiksakan ke dokter (Herwandar & Soviyati, 2020). Cara mengobatinya dengan mengonsumsi suplemen zat besi, perubahan pola makan yang lebih kaya zat besi (seperti daging merah, sayuran hijau, dan kacang-kacangan) serta mengatasi penyebab perdarahan (Sukmawati & Yulianti, 2020; WHO, 2015).

Jenis anemia berikutnya Anemia defisiensi vitamin, kondisi yang disebabkan oleh pola makan yang tidak memenuhi kebutuhan vitamin. Misalnya kekurangan asupan vitamin C, vitamin C berfungsi membantu penyerapan zat besi. Jika terjadi kondisi kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang dapat diserap juga akan terganggu sehingga dapat menyebabkan anemia menjadi lebih kompleks. Dalam kehidupan sehari-hari vitamin C mudah untuk ditemukan, seperti pada buah-buahan, brokoli, cabai, hingga sayuran hijau. Adapun alternatif lain, yaitu dengan melakukan suntik vitamin C, dan mengonsumsi suplemen oral.

Berikutnya anemia makrositik, kondisi yang ditandai dengan ukuran sel darah merah yang lebih besar dari keadaan normal, disebabkan karena kekurangan vitamin B12 dan asam folat. Misalnya kekurangan vitamin B12 yang sering dialami oleh vegetarian karena mereka tidak mengonsumsi protein hewani yang banyak mengandung vitamin B12. Cara mengatasinya dapat melalui pemberian vitamin baik suntikan maupun oral, serta melalui perbaikan pola makan dengan mengonsumsi ikan, daging, telur, dan produk olahan susu. Sedangkan, kekurangan asam folat dapat diatasi dengan meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung folat, yaitu sayuran hijau, buah-buahan, kacang-kacangan, dan biji-bijian (Departemen Kesehatan RI, 2008; Allen, 2005). Dan masih banyak jenis-jenis anemia lainnya.

Strategi penanggulangan anemia pada kalangan remaja putri berfokus pada kegiatan promosi serta pencegahan. Terdiri dari strategi berbasis pangan, peningkatan pelayanan kesehatan dan sanitasi, serta pemberian suplemen zat besi folat melalui sebuah program yang dikenal dengan pemberian tablet tambah darah (TTD) (WHO, 2011).  Dalam penerapannya negara kita memiliki kebijakan untuk warganya, dimulai dari program perbaikan pola makan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dengan pendidikan gizi menggunakan Pedoman Gizi Seimbang (PGS).

Pemberian suplementasi gizi berupa TTD (Permenkes 51 Tahun 2016 Pasal 1 Ayat 2). Pemberian suplementasi sangat krusial terutama jika tidak terpenuhinya zat gizi mikro dari makanan pada tubuh seseorang. Kemudian, upaya fortifikasi merupakan upaya meningkatkan mutu gizi makanan dengan menambah satu atau lebih zat mikro tertentu. Fortifikasi nasional yang telah dilakukan adalah fortifikasi tepung terigu. Terakhir, pengobatan penyakit dan pencegahan anemia yang dilakukan bersamaan dengan pencegahan dan pengobatan penyakit lain, seperti cacingan, malaria, TBC. Pengobatan dapat dilakukan di Puskesmas atau RS, yang sesuai dengan tata  cara penanganan anemia dan penyakit yang sesuai dengan anjuran dokter.

Pencegahan dan penanggulangan anemia pada remaja putri sangat penting untuk menjaga masa depan bangsa. Dengan prevalensi anemia yang tinggi, upaya edukasi gizi, suplementasi zat besi dan folat, serta perbaikan pola makan harus menjadi prioritas. Kerja sama antara pemerintah, tenaga kesehatan, keluarga, dan masyarakat diperlukan agar remaja putri mendapatkan perhatian penuh. Langkah ini tidak hanya menjaga kesehatan individu, tapi juga membangun generasi bangsa yang lebih sehat dan produktif.

 

Corresponding Author, Aisyah Umaira (email: [email protected])

Bagikan Artikel Ini
img-content
Aisyah Umaira

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler