Menggugat Efektivitas Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi Pekerja

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Menggugat Efektivitas Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi Pekerja Sektor Informal: Antara Kenyataan dan Harapan
Iklan

Tantangan penerapan K3 di sektor informal bersifat multidimensi.

***

Wacana ini ditulis oleh Al Khawarizmi, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Nadia Saphira, Amanda Aulia Putri, Naysila Prasetio, Winda Yulia Gitania Br Sembiring, dan Annisa Br  Bangun dari IKM 5 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perekonomian Indonesia sesungguhnya berdiri di atas bahu para pekerja sektor informal yang sering kali tidak terlihat dan tidak tercatat. Dari pedagang kaki lima yang setiap hari menantang panas dan debu di trotoar, hingga pekerja bangunan yang menegakkan dinding demi wajah modern kota, mereka adalah pahlawan ekonomi yang nyata. Namun di balik peran besar itu, tersembunyi kerentanan yang kerap diabaikan, yaitu rendahnya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Pertanyaan mendesak yang patut diajukan adalah seberapa efektif sebenarnya program K3 yang dirancang untuk melindungi mereka.

Data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa pekerja sektor informal masih mendominasi tenaga kerja Indonesia, hampir mencapai 60 persen dari total angkatan kerja. Sebagian besar dari mereka bekerja tanpa kontrak resmi, tanpa jaminan kesehatan, dan tanpa perlindungan hukum yang memadai. Risiko yang dihadapi sangat nyata, mulai dari cedera fisik, paparan polusi, hingga kelelahan kronis. Sayangnya, program K3 yang berjalan hingga kini masih berpusat pada sektor formal, meninggalkan mayoritas pekerja informal dalam bayang-bayang risiko yang sebenarnya dapat diantisipasi.

Tantangan penerapan K3 di sektor informal bersifat multidimensi. Dari sisi regulasi, hukum ketenagakerjaan sulit menjangkau hubungan kerja fleksibel yang tidak berlandaskan kontrak tertulis. Mandat penggunaan alat pelindung diri atau standar prosedur keselamatan praktis tidak memiliki pijakan kuat. Dari sisi ekonomi, pilihan untuk membeli helm atau masker N95 sering kali kalah oleh kebutuhan sehari-hari seperti membeli bahan dagangan atau membiayai pendidikan anak. Bagi pekerja bangunan harian, APD harus ditebus dari kantong sendiri, sesuatu yang tidak selalu terjangkau. Dari sisi pengetahuan, banyak pekerja belajar dari pengalaman atau meniru cara seniornya, yang sering kali sudah jauh tertinggal dari standar keselamatan terkini. Penyuluhan pemerintah masih sangat terbatas dan jarang menjangkau kelompok paling bawah.

Maka wajar bila efektivitas program K3 saat ini dipertanyakan. Program yang bersifat top down tanpa keberlanjutan mudah berakhir sebagai formalitas belaka. Penyuluhan satu kali tanpa tindak lanjut hanya menjadi catatan administrasi, bukan perubahan nyata di lapangan. Karena itu, pendekatannya harus direvisi menjadi lebih kolaboratif dan praktis. Pemerintah daerah dapat membuat aturan inovatif yang lebih lentur, misalnya mewajibkan kontraktor proyek kecil menyediakan APD gratis untuk pekerjanya, atau program insentif berupa pengurangan retribusi bagi pedagang kaki lima yang menjaga standar kebersihan dan keselamatan kiosnya.

Edukasi yang dekat dengan realitas pekerja juga mutlak diperlukan. Bahasa teknis perlu digantikan dengan pesan sederhana dan visual yang komunikatif. Video singkat di media sosial, poster bergambar di pasar, atau keterlibatan tokoh masyarakat dapat membuat pesan K3 lebih mudah diterima. Lebih dari itu, pemberdayaan komunitas harus menjadi strategi utama. Komunitas pedagang kaki lima atau kelompok arisan pekerja bangunan dapat menjadi agen perubahan yang menyebarkan praktik keselamatan. Bila rekan kerja sendiri yang saling mengingatkan, pesan K3 akan lebih dihargai dan dipatuhi.

Pedagang kaki lima menghadapi risiko unik. Mereka bekerja di jalanan dengan paparan polusi udara, teriknya matahari, dan ancaman penyakit menular. Posisi kerja yang tidak ergonomis, duduk terlalu lama, atau mengangkat beban tanpa teknik tepat berujung pada masalah tulang belakang dan pernapasan. Perlindungan nyata dapat diwujudkan dengan memperluas akses BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja informal melalui skema iuran ringan. Peran konsumen pun penting. Bila masyarakat hanya membeli dari pedagang yang menjaga kebersihan, budaya K3 akan tumbuh secara organik.

Pada akhirnya, K3 bukan sekadar kewajiban regulasi, melainkan pengakuan terhadap nilai kemanusiaan dan kontribusi ekonomi para pekerja. Mereka adalah tulang punggung yang menopang keluarga dan bangsa. Memberikan mereka perlindungan yang layak berarti membangun sumber daya manusia yang lebih sehat, produktif, dan berdaya saing. Program K3 baru bisa disebut efektif jika benar-benar melindungi mereka yang berada di garis depan, bukan hanya pekerja formal dengan seragam rapi.

Keselamatan dan kesehatan kerja adalah hak universal yang tidak boleh dibedakan berdasarkan kelas pekerjaan. Pekerja informal, baik di jalanan maupun di proyek pembangunan, adalah denyut kehidupan kota yang sesungguhnya. Regulasi yang indah di atas kertas tidak ada artinya bila tidak menyentuh realitas mereka. Efektivitas K3 harus diukur dari sejauh mana ia benar-benar memberi perlindungan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas pekerja itu sendiri, kita dapat membangun budaya kerja yang lebih manusiawi dan sehat. Saatnya kita memastikan tidak ada seorang pun yang harus menggadaikan keselamatannya demi sekadar bertahan hidup.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler